Oleh: Achmad Taurus
(TAPM P3MD-PID Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara)
Desa Lantowonua terletak disekitar kaki Gunung Kahar yang setiap saat diselimuti halimun. Desa ini memiliki wilayah seluas 17,99 km2 dan secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Rumbia, Kabupaten Bombana.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (Kecamatan Rumbia Dalam Angka, 2017) jumlah penduduk Desa Lantowonua tahun 2016 sebanyak 1.051 jiwa, dengan rincian laki-laki sebanyak 526 jiwa dan perempuan sebanyak 525 jiwa. Jumlah rumah tangga sebanyak 244 jiwa dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang.
Letak Desa Lantowonua yang berada di bawah kaki gunung memberikan keunggulan tersendiri, karena memiliki jenis tumbuhan beragam yang berbunga sepanjang tahun.
Selain itu, lereng pegunungan yang bersuhu dingin merupakan tempat yang disukai lebah untuk berkembang biak, karena dengan kondisi seperti ini lebah dapat beraktifitas dengan normal dan didukung dengan tumbuhan berbunga yang dijadikan pakan.
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) pada daerah kaki gunung, telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara dan tahun 2016 melakukan ‘Pelatihan Pengembangan Budidaya Lebah’.
Desa Lantowonua adalah salah satu desa yang terpilih dalam pelatihan tersebut dan Amris, 48 tahun, yang bermukim tidak jauh dari lereng Gunung Kahar sebagai peserta mewakili Desa Lantowonua.
Dari dana dan ilmu yang diperoleh dalam pelatihan tersebut, Amris dengan dibantu sang istri mulai mempraktekan dengan memilih lokasi budidaya disamping rumah mereka.
Lebah yang dibudidayakan dari jenis Trigona sp yang menghasilkan madu dan propolis. Hewan ini tidak memiliki sengat (stingless bee) dan bersifat nocturnal (aktif pada malam hari).
Ciri morfologi lebah trigona sp berwarna hitam dan berukuran kecil, panjang tubuh kurang lebih 3 – 4 mm dan rentang sayap kurang lebih 8 mm. Perilakunya cenderung mencari lubang dan bulu rambut dan ketiak ketika seseorang mendekat.
Budidaya madu dilakukan dalam kotak kayu (stup) berukuran 20x15x15 cm, yang bagian dalamnya tidak bersekat. Dibagian luar kotak pada disisi kiri atau kanan dibuat lubang sebagai tempat keluar dan masuknya lebah.
Stup disusun rapi pada tempat yang telah disiapkan, dengan cara digantung dan diletakan pada tempat yang teduh. Masa panen dilakukan selama 3-4 bulan setahun.
Selama melakukan kegiatan budidaya, Amris baru melakukan panen sekali yang menghasilkan enam botol madu dengan harga Rp.100 tiap botolnya. Amris dan istri tidak menjajakan madu tersebut, tetapi konsumen sendiri yang langsung datang membeli dan untuk panen berikutnya beliau sudah memiliki banyak pesanan.
Menurut Pendamping Desa Pemberdaya Kecamatan Rumbia Tengah, Idham, mengatakan, “Dengan banyaknya pesanan madu, maka kegiatan ini akan lebih dikembangkan dengan memberi bantuan kepada Pak Amris melalui Dana Desa Tahun Anggaran 2018”.
Dana Desa diberikan untuk pembuatan stup dan rehabilitasi tempat budidaya madu. Selain itu, untuk memperluas pembelajaran akan diadakan pelatihan kepada masyarakat terkait aspek budidaya madu.
Arah perubahan yang dapat dilakukan untuk pengembangan dan perluasan pembelajaran adalah: 1) Menjaga ketersediaan tumbuhan berbunga disekitar lokasi budidaya madu; 2) Peningkatan kualitas pasca panen dan 3) Mendorong pengembangan HHBK lainnya.
Sedangkan langkah-langkah strategis yang diimplementasikan sebagai solusi penguatan penangkaran madu antara lain: melindungi dan melestarikan tumbuhan berbunga melalui pembelajaran sosial kepada masyarakat agar perspektif ekonomi, sosial dan ekologi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan;
Selain itu, peralatan yang memadai untuk peningkatan kualitas pasca panen seperti penggunaan sealer (alat segel mulut botol) dan dehumi difier untuk menghilangkan kelembapan; serta peningkatan nilai komersial HHBK.
Manfaat yang dari proses intervensi program adalah: 1) Ketersediaan pakan yang diperoleh dari tumbuhan berbunga akan menentukan keberhasilan budidaya lebah; 2) Pasca panen dengan menggunakan sealer dapat memberikan higienisasi kemasan dan pengunaan dehumi difier untuk menurunkan kadar air dan mencegah munculnya bakteri; 3) Pengusahaan HHBK berdampak pada lingkungan hutan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan pembalakan hutan (pemanenan kayu), sehingga memberikan model pengelolaan hutan yang lebih menunjang upaya pelestarian dan dapat menyediakan berbagai kebutuhan untuk menunjang kehidupan masyarakat lokal. (**)