Sabtu, 21 Juni 2025, Kota Kendari diselimuti awan teduh. Seolah langit ikut menunduk, menyambut jejak-jejak kecil yang hari itu melangkah dalam langkah besar—perpisahan, harapan, dan perubahan. Bertempat di *Hotel Qubah 9*, satu peristiwa penuh makna menjadi catatan emas dalam perjalanan TK Yurefi: Launching AISY dan Penerimaan Ijazah Siswa Angkatan 6 Tahun Pelajaran 2024/2025.
Acara dimulai dengan pembukaan yang sederhana namun sarat makna. Tak butuh gemerlap panggung, karena kemilau sesungguhnya terpancar dari wajah-wajah mungil yang bersinar—anak-anak yang telah menapaki jalan Al-Qur’an di usia belia. Saat Ustadzah Tenriani Putri Juliani Hafid, S.Pd. menyampaikan sambutannya, suara beliau mengalun lembut namun penuh ketegasan, “Belajar di Yurefi bukanlah akhir, tapi awal dari perjuangan menjaga hafalan. Jadikan Al-Qur’an sebagai pelita hidupmu, anak-anak…”
Ada yang berbeda tahun ini. Anak-anak mengenakan seragam putih-putih, bak lembaran suci yang masih kosong dari noda dunia. Simbol kesucian hati dan beningnya jiwa. Di sisi lain, para orang tua duduk bersahaja dengan pakaian dominan warna gelap—mungkin simbol beratnya perpisahan, atau pertanda kedewasaan menyaksikan buah hati mereka tumbuh dan siap menapaki babak berikutnya dalam kehidupan.
Tapi tak hanya tentang perpisahan. Hari itu, TK Yurefi juga menorehkan sejarah penting dengan launching AISY (Academic Information System Yurefi). Sebuah inovasi yang tak sekadar simbol kemajuan teknologi, namun juga refleksi dari kesungguhan untuk terus adaptif dan progresif di tengah perubahan zaman. Bukan hanya nama, tapi juga jiwa baru dalam sistem pendidikan Yurefi. Dalam momen tersebut, sebuah penghargaan pun disematkan kepada salah satu ustadzah sebagai pencetus nama AISY—sebuah bentuk apresiasi bagi insan yang berpikir, mencipta, dan bergerak demi kemajuan pendidikan.
Tak ketinggalan, suara hangat dari Ibu Andi Ghebi Win, S.T, mewakili para orang tua siswa, menggema dengan rasa syukur. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan betapa TK Yurefi telah mengukir perbedaan besar dalam jiwa anak-anak. Dari yang tak mampu membaca Al-Qur’an menjadi fasih melantunkannya, dari lisan yang polos menjadi hafalan hadis dan doa, dari sikap biasa menjadi pribadi beradab dan beraqidah. “Ini bukan sekadar pendidikan,” ujarnya, “Ini adalah fondasi untuk menghadapi zaman yang penuh tantangan.”
Yang membuat suasana semakin syahdu dan menggugah adalah apresiasi khusus kepada dua orang tua siswa yang telah mendampingi anak-anak mereka menjadi *penghafal empat juz Al-Qur’an* di usia TK. Salah satunya adalah orang tua dari ananda Tsaqif, yang dalam testimoni singkatnya membagikan kisah sederhana namun penuh keteladanan. Mereka mengungkap bahwa proses mendidik anak menjadi penghafal Qur’an dimulai bahkan sejak dalam kandungan.
“Sejak masih dalam rahim, kami sudah memperdengarkan murottal Qur’an. Dalam keseharian, saat bermain sekalipun, kami selingi dengan lantunan ayat-ayat suci. Kami jadikan rumah seperti madrasah kecil—bukan dengan tekanan, tapi kebiasaan yang lembut dan konsisten,” ungkap mereka dengan mata berkaca.
Orang tua Tsaqif juga berbagi salah satu tips penting dalam menjaga hafalan anak, yaitu komitmen dan konsistensi. Tidak ada yang instan. Mereka juga menuturkan bahwa ketika anak menunjukkan peningkatan hafalan, mereka memberikan apresiasi kecil sebagai bentuk penghargaan dan pemacu semangat. Tidak harus mewah, kadang cukup pelukan hangat, waktu bermain bersama, atau hadiah sederhana. Tapi justru di sanalah anak merasa dihargai dan termotivasi.
Satu testimoni lain yang menggetarkan hati datang dari orang tua ananda Ghufron. Dengan suara yang parau dan linangan air mata?, mereka menyampaikan betapa pentingnya meluruskan niat dan konsisten dalam mengenalkan anak pada Al-Qur’an. Tangis itu bukan kesedihan, tapi bukti nyata dari kesungguhan dan keikhlasan dalam menyiapkan generasi. Untaian kata mereka sederhana, tapi menyentuh lubuk hati terdalam.
“Kami bukan orang yang sempurna, tapi kami ingin anak kami tumbuh bersama Al-Qur’an. Kami sadar, membentuk itu bukan semalam, tapi setiap hari, dengan doa dan cinta yang tidak pernah putus…”
Kesaksian itu tak hanya menggugah para hadirin, tapi juga menjadi teladan yang patut ditiru oleh orang tua lainnya. Sebuah pesan bahwa mendidik dengan hati adalah cara paling ampuh untuk menanamkan nilai, terlebih nilai-nilai ilahiah.
Acara pun makin semarak dengan penampilan dari masing-masing kelas, yang menyajikan hafalan doa-doa harian, hadis-hadis pendek, dan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang telah mereka pelajari selama ini. Momen ini menjadi cermin hasil pendidikan yang integratif antara ilmu dan iman. Setiap lantunan doa dari mulut mungil itu seolah menjadi azan perubahan—bahwa masa depan bangsa ini masih punya harapan, selama ada anak-anak yang dididik dengan ruh Al-Qur’an.
Mata mulai berkaca-kaca saat anak-anak dipanggil satu per satu ke depan untuk menerima ijazah. Bukan hanya selembar kertas, tapi simbol dari usaha, peluh, dan perjuangan yang tak terlihat. Ada air mata bangga, ada senyum getir dari para ustadz dan ustadzah yang telah membersamai sejak huruf hijaiyah pertama hingga mereka mampu menutup satu juz, bahkan lebih, dari Al-Qur’an.
Yang paling menyentuh adalah momen apresiasi kepada para penghafal Juz 30. Anak-anak itu berdiri dengan penuh percaya diri, meski tubuhnya masih kecil. Tapi hafalan mereka… sungguh, membuat siapa pun yang mendengarnya merasa malu dan haru dalam satu waktu. Mereka tampil ke depan, menerima bingkisan sederhana yang tak sebanding dengan usaha mereka—namun cukup membuat mata para hadirin berembun.
Dalam dunia yang bergerak cepat dan kadang kehilangan arah, TK Yurefi hadir sebagai kompas—mengajarkan bahwa mendidik bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi membentuk karakter, menanam iman, dan mengakar dalam akhlak. Launching AISY dan perpisahan siswa hari itu bukan hanya seremoni, tetapi menjadi penanda betapa pentingnya pendidikan yang baik dan terarah bagi generasi masa depan.
Sebab sejatinya, bangsa tak akan hancur karena serangan senjata, tetapi karena rusaknya generasi. Maka pendidikan adalah benteng, dan guru adalah panglima-panglima tak dikenal yang bertempur dengan cinta dan keikhlasan.
Acara hari itu pun ditutup dengan doa dan foto bersama dengan para ustadzah dan orang tua wali santri. Tapi bagi para orang tua, para guru, dan tentu anak-anak itu sendiri—perjalanan baru justru baru saja dimulai. Dan di pundak-pundak mungil itulah, harapan dan masa depan negeri ini disandarkan.
Semoga kelak, langkah-langkah kecil hari ini akan menjadi jejak agung di masa depan. Dan semoga Yurefi akan terus menjadi rahim yang melahirkan generasi qur’ani, tangguh, dan penuh adab di tengah dunia yang semakin bising dan kehilangan arah.
Oleh: La Kooko, S.Pd.,M.Pd. orang tua dari ananda Maulidah Rahma Qurrota Ayuni.