Oleh: Wahyu Pratama
(Ketua DPM FKIP UHO 2021-2022)
Pancasila yang kita kenal saat ini, merupakan pidato Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, selanjutnya tanggal ini ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Ide dan gagasan Ir. Soekarno tentang Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat nusantara. Nilai-nilai tersebut telah menjadi pedoman hidup masyarakat nusantara sehingga ide dan gagasan pancasila dapat dengan mudah diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejak proklamasi kemerdekaan, Pancasila ditetapkan sebagai ideologi bangsa Indonesia, sebagai pedoman hidup masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pancasila disebut sebagai sumber segala sumber hukum di Indonesia. Seluruh aspek kehidupan senantiasa merujuk pada Pancasila tak terkecuali sektor pendidikan.
Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa yang menjiwai kehidupan sehari-hari. Karena itu, sistem pendidikan nasional Indonesia didasari dan harus mencerminkan identitas pancasila. Nilai luhur yang terkandung dalam pancasila harus menjadi pedoman pembentukan karakter bangsa.
Sistem pendidikan tidak saja memenuhi tuntutan kemajuan zaman akan tetapi harus selaras dengan karakter bangsa Indonesia. Sistim pendidikan mesti dibangun untuk menjawab setidaknya dua hal; pertama, pendidikan harus meningkatkan daya saing bangsa (kompetitif) sehingga bangsa Indonesia mampu menjadi pemain global yang diperhitungkan baik di kawasan regional maupun internasional; kedua, pendidikan harus menjadi alat pembebasan. Penyelenggaraan pendidikan tidak saja mencerdaskan namun harus pula membebaskan manusianya dari segala bentuk eksploitasi.
Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan harus ditujukan untuk menghasilkan manusia yang merdeka (selain kampusnya yang merdeka). Kemerdekaan berpendapat, berpikir, bertindak dan berekspresi harus menjadi tema utama dalam sistim pendidikan di Indonesia.
Institusi pendidikan memainkan peran strategis dalam membumikan pancasila secara progresif.
Melalui pendidikan, nilai-nilai pembebasan dapat terus dihidupkan tidak saja dalam konteks akademik pendidikan namun juga menjangkau lapisan masyarakat terbawah. Pendidikan harus menjadi pilar hidupnya nilai-nilai kesetaraan, partisipasi, kebebasan, kemanusiaan dan keadilan sebagaimana yang tercantum dalam pancasila.
Upaya untuk menghidupkan nilai tersebut tidak saja tersaji dalam bentuk perangkat pembelajaran yang berisi teori-teori namun juga diaplikasikan dalam bentuk pengabdian masyarakat, bekerja bersama masyarakat serta mendidik masyarakat untuk mengenali dirinya, potensinya agar dapat keluar dari hal-hal yang mengungkung perkembangannya.
Kehadiran institusi pendidikan atau para cerdik pandai untuk membimbing dan mendidik masyarakat secara pasti akan menuntun masyarakat mengenali hak-haknya, kewajibannya sebagai warga bangsa selanjutnya dapat berpartisipasi, mampu mengekspresikan kebebasannya dengan baik, menghargai perbedaan.
UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional memang memberi gambaran, bagaimana spirit pembebasan dianut dalam penyelenggaraan pendidikan Indonesia. Pasal 4 (1) tegas menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Sebagai sebuah gagasan negara, kebijakan pendidikan tersebut dirasa sangat ideal dalam rangka menjawab problem sosial baik itu persoalan kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan dan ketertindasan terhadap kaum yang lemah atas realitas sosial yang amat problematik dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Realitas tersebut merupakan semua aspek kehidupan yang jauh dari kesadaran manusiawi.
Gusdur (1997) berpandangan bahwa tanggung jawab pendidikan adalah merubah kondisi ketidakadilan menjadi kondisi yang adil yang memungkinkan terjadi persamaan antar-kelompok dalam masyarakat bukan sebaliknya saling mendiskriminasi antar-kelompok baik suku, ras maupun golongan. Pendidikan sebetulnya terbukti mampu menjawab persoalan sebagaimana yang disampaikan Gusdur.
Pergerakan pembebasan dari penjajahan selalu dimulai dari kalangan terdidik. Pergerakanan Budi Utomo, sumpah pemuda hingga gerakan reformasi 1998 tidak lepas dari peran pendidikan. Karena perannya yang strategis maka pendidikan kita kadangkala disusupi berbagai ragam kepentingan politis dan ekonomis, seringkali kita melihat bagaimana pendidikan diarahkan untuk melegitimasi kekuasaan yang otoritarianisme, bahkan yang lebih sadis adalah pendidikan menjadi alat legitimasi pemodal untuk merusak sumberdaya alam.
Di sisi lain, sebagian untuk tidak menyebut seluruhnya pelaku pendidikan justru terjebak pada hal-hal yang formalistik untuk tujuan tertentu dan melupakan tugas esensinya sebagai pencerah. Pendidik kita hanya terfokus pada urusan administratif pembelajaran seperti kenaikan pangkat, kum (yang diukur dari jurnal scopus) dan tetek bengek lainnya. Tugas utama pendidik sebetulnya adalah bekerjasama dengan masyarakat utamanya masyarakat marginal (baik karena akibat structural maupun kultural) sehingga bisa lebih berdaya.
Pendidikan haruslah mewujud dalam bentuk aslinya, yaitu sebagai alat untuk membebaskan, alat untuk mengangkat derajat kemanusiaan. Pendidikan sejatinya adalah untuk memenusiakan bukan menghinakan manusia atas manusia lainnya. (**)