Oleh: Hariman Satria
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari)
Topik tentang korupsi selalu menarik diperbincangkan. Ia tidak hanya menjadi isu sentral di kalangan elit, korupsi juga menjadi santapan empuk akademisi, peneliti dan pengamat.
Di kalangan masyarakat awam pun, korupsi menjadi isu yang selalu menarik diperbincangkan. Secara ontologis, dalam ilmu hukum korupsi dapat dilihat dalam dua segi yakni perspektif kriminologi dan hukum pidana.
Dalam perspektif kriminologi, korupsi terbagi dalam 8 bentuk: pertama, political bribery adalah korupsi yang dilakukan oleh kalangan legislatif dengan cara melakukan kudeta redaksional terhadap suatu rancangan undang-undang. Di Indonesia sudah jadi rahasia umum, setiap kata, kalimat, titik bahkan koma dalam undang-undang selalu bernilai rupiah.
Kedua, political kickbacks adalah korupsi yang bertalian dengan sistem pengadaan barang dan jasa yakni kongkalingkong antara pejabat pengadaan dengan pengusaha.
Ketiga, election fraud yakni korupsi yang bertalian dengan kecurangan pada saat pemilhan umum. Salah satu contoh misalnya, menyangkut money politic dalam berbagai pesta demokrasi – mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan presiden.
Keempat, corrupt campaign practice adalah praktik kampanye yang menggunakan fasilitas negara atau keuangan negara.
Kelima, discretionary corruption yakni korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan. Korupsi jenis ini umumnya bertalian dengan penyalahgunaan wewenang.
Keenam, illegal corruption adalah korupsi yang dilakukan dengan cara mengacaukan bahasa hukum. Jenis korupsi ini sangat mungkin dilakukan oleh aparat penegak hukum baik itu polisi, jaksa, hakim hingga advokat.
Ketujuh, political corruption yaitu penyalahgunaan kekuasaan yang ditujukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga membentuk oligarki kekuasaan.
Kedelapan, mercenary corruption adalah menyalahgunakan kekuasaan yang semata-mata untuk kepentingan pribadi bukan kelompok.
Sedangkan dalam perspektif hukum pidana, korupsi disebutkan secara konkrit dan normatif. Di Indonesia ketentuan tentang korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Secara sistematis, peraturan a quo terdiri atas 7 bab dan 55 pasal. Ada 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai korupsi yakni: pertama, korupsi yang menyangkut kerugian keuangan negara sebanyak 2 pasal. Kedua, korupsi berupa suap-menyuap sebanyak 12 pasal. Ketiga, korupsi yang bertalian dengan penggelapan dalam jabatan sebanyak 5 pasal. Keempat, korupsi yang berhubungan dengan pemerasan sebanyak 3 pasal. Kelima, korupsi berupa perbuatan curang, sebanyak 6 pasal. Keenam, korupsi berupa pengadaan barang dan jasa, 1 pasal. Ketujuh, korupsi berbentuk gratifikasi yakni 1 pasal.
Ketentuan normatif yang lain, dapat ditemukan dalam United Nation Concvention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003. Disana diatur 11 perbuatan yang dikualifikasi sebagai korupsi yakni: pertama, bribery of national public official. Kedua, bribery of foreign public officials and officials of public international organization. Ketiga, embezzelement, misappropriation or other diversion of property by a public official. Keempat, trading in influence. Kelima, abuse of function. Keenam, illicit enrichment. Ketujuh, bribery in private sector. Kedelapan, embezzlement of property in the private sector. Kesembilan, laundering of proceeds of crime. Kesepuluh, concealment. Kesebelas, obstruction of justice.
Perlu saya tegaskan bahwa antara kriminologi dan hukum pidana melihat kejahatan dalam perspektif yang berbeda. Kriminologi memandang kejahatan sebagai social definition of crime. Artinya bahwa definisi kejahatan ditentukan berdasarkan sudut pandang masyarakat.
Konsekuensinya ruang lingkup kejahatan menjadi lebih luas.
Sedangkan dalam hukum pidana kejahatan dilihat sebagai legal definition of crime. Artinya bahwa kejahatan hanya sebatas yang disebutkan dalam undang-undang, sehingga lebih sempit ruang lingkupnya.
Selanjutnya, bertalian dengan proses hukum kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini sangat ditentukan oleh bukti-bukti yang memadai oleh penyidik dan penuntut umum. Sedikit saja kekurangan bukti, maka hal itu akan membebaskan terdakwa. Sebagaimana adagium latin berbunyi: actore non probante reus absolvitur artinya jika tidak dapat dibuktikan maka terdakwa harus dibebaskan.
Dalam kerangka demikian, aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) mesti mengetahui bahwa perbuatan seseorang adalah perbuatan jahat dan orang tersebut patut dicela atas perbuatannya.
Pemahaman akan actus reus dan mens rea ini akan memudahkan pembuktian atas tindak korupsi yang dituduhkan. Selain itu menjadi sefty belt bagi masyarakat dalam mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Hal yang demikian, adalah ciri hukum pidana modern yang menekankan pada perlindungan masyarakat dari kesewenang-wenangan negara disatu sisi serta melindungi negara dari perbuatan jahat warganya pada sisi lainnya.
Lalu apakah yang dimaksud actus reus dan mens rea itu? Apa hubungannya dengan tindak pidana korupsi?
Actus Reus
Dalam hukum pidana (anglo saxon), ketika membahas perbuatan pidana dikenal suatu prinsip yaitu actus non facit reum, nisi mens sit rea – an act doesn’t make a person guilty unless the mind is guilty (Rupert Cross & Philip Asterley Jones, 1968:32). Sedangkan dalam sistem hukum eropa kontinental, seperti Indonesia prinsip itu sering disebut liability based on fault atau pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan.
Hal ini bermakna bahwa untuk mengatakan seseorang melakukan suatu tindak pidana, harus dapat dibuktikan bahwa pelaku memiliki dolus malus (niat jahat) yang muaranya actus reus (perbuatan pidana) sehingga perbuatannya patut dicela (mens rea).
Dalam konteks pemberantasan korupsi, penyidik dan penuntut umum terlebih dahulu harus memastikan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan pidana sehingga menimbulkan perbuatan melawan hukum (wederrechtelijke), selanjutnya pelaku dituntut melalui peradilan pidana.
Setelah itu akan dilihat apakah perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau tidak. Sebab meskipun terdapat kerugian negara tetapi perbuatan pelaku tidak memiliki dolus malus maka tidak mungkin dilakukan penuntutan pidana kepada pelaku.
Atas dasar itulah dalam Pasal 32 UU anti korupsi, secara eksplisit menyebutkan bahwa dalam hal satu atau lebih unsur tindak pidana dinyatakan tidak terbukti (tidak memenuhi unsur) tetapi secara nyata telah ada kerugian negara maka penyidik segera menyerahkan berkas penyidikan kepada jaksa pengacara negara untuk dilakukan gugatan perdata.
Peraturan a quo memberi pesan tentang betapa pentingnya penyidik memahami, bahwa perbuatan pelaku wajib memenuhi rumusan delik. Dalam kosa kata lain, jika pelaku telah melakukan actus reus atas dasar dolus malus mutatis mutandis perbuatannya wederrechtelijke maka dapat dipastikan bahwa pelaku dapat disalahkan atas perbuatannya. Untuk itulah dalam undang-undang anti korupsi menyebut tindak pidana korupsi sebagai delik formil, artinya menitik beratkan pada perbuatan bukan pada akibat.
Perkembangan terkini, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 25/PUU-XIV/2016 telah mengubah karakter delik korupsi dari delik formil ke delik materil. Konsekuensi logisnya adalah tindak korupsi ditentukan oleh ada tidaknya akibat yang timbul.
Mens Rea
Pemahaman lain yang tidak kalah pentingnya terkait dengan pemberantasan korupsi adalah ihwal sikap batin atau keadaan psikis (guilty mind), atau unsur subjektif (mens rea) pelaku atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Mens rea ini berkorelasi dengan dapat tidaknya pelaku dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain menyangkut pertanggungjawban pidana.
Intinya ketika perbuatan pelaku dikatakan telah memenuhi rumusan delik (actus reus) maka penyidik tinggal melihat apakah pelaku memiliki mens rea atas perbuatan itu sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Doktrin hukum pidana mengatakan bahwa pertanggungjawaban pidana ditentukan oleh kesalahan (schuld) yang dibuat oleh si pelaku. Kesalahan bentuknya ada dua yakni kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).
Selain itu masih mungkin adanya penggabungan antara kesengajaan dan kealpaan dalam satu rumusan delik. Hal ini sering disebut sebagai proparte dolus, proparte culpa. Ketentuan semacam ini dapat dijumpai dalam Pasal 480 KUHP ihwal penadahan.
Masih mengenai kesengajaan, secara dogmatik, terbagi atas 3 tipe yakni kesengejaan sebagai maksud; kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Selain itu para ahli hukum pidana masih menambahkan dengan bentuk kesengajaan yang lain yakni dolus eventualis (Jan Remmelink, 2003:207).
Sedangkan kealpaan terbagi dua yakni kealpaan yang memberatkan (culpa lata) dan kealpaan yang meringankan (culpa levis). Ajaran kesalahan ini kemudian di adopsi oleh undang-undang anti korupsi.
Sebagai misal, dalam Pasal 3 undang-undang a quo, memberi pesan bahwa agar dapat dikatakan menyalahgunakan wewenang, maka dibutuhkan “ dengan tujuan” pelaku menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi sehingga menimbulkan kerugian negara.
Dapatlah dikatakan bahwa penggunaan frasa dengan tujuan dalam ketentuan a quo, lebih condong pada salah satu bentuk kesengajaan yaitu kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk). Dalam hal ini, baik motifasi, perbuatan maupun akibatnya benar-benar terwujud. Intinya syarat penyalahgunaan wewenang adalah dilakukan dengan sengaja bukan kelalaian.
Selain itu melalui rumusan yang demikian, peraturan a quo menutup peluang terhadap dua tipe kesengajaan yang lain yakni kesengajaan sebagai kepastian maupun kesengajaan sebagai kemungkinan. Dengan demikian JPU hanya perlu membuktikan kesengajaan sebagai maksud dalam dakwaannya.
Pendeknya, penuntut umum memahami makna actus reus dan mens rea dalam pemberantasan korupsi, maka hampir dapat dipastikan tidak akan ada tersangka yang menang di forum pra peradilan atau terdakwa yang di vonis bebas oleh pengadilan. Sebab penyidik telah memastikan bahwa perbuatan pelaku adalah memiliki dolus malus, pelaku patut disalahkan dan menimbulkan akibat berupa kerugian keuangan negara. Meskipun unsur delik korupsi tidak melulu hanya kerugian keuangan negara.
Selain itu pula, demi menghindari kesan adanya kriminalisasi pada seseorang atas tuduhan melakukan tindak pidana korupsi maka pemahaman pada actus reus dan mens rea tersebut menjadi sangat penting. Seperti yang telah saya ulas di atas, bahwa ada kemungkinan perbuatan seseorang merugikan keuangan negara tetapi tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Jika penyidik “memaksakan” kehendaknya untuk melakukan proses hukum kepada pelaku maka kesan kriminalisasi tidak dapat dihindari dan sudah pasti terdakwa akan divonis bebas. Lebih dari itu akan muncul semacam abuse of power oleh penyidik. Parahnya lagi, negara akan memidana seseorang yang sama sekali tidak memiliki niat jahat melainkan hanya diberi label sebagai penjahat oleh aparat penegak hukum.
Padahal Howard S. Becker (1963:20) dalam labeling theory, telah mengingatkan akan bahaya pemberian label sebagai penjahat. Ia bisa saja semakin jahat karena ia frustrasi dilabeli sebagai orang yang jahat. (***)