panjikendari.com – Masalah surat pernyataan yang ditandatangani seluruh calon anggota Bawaslu kabupaten/kota se-Sultra yang ikut tahapan fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan) terus mengundang perhatian publik.
Setelah mendapat reaksi dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sultra, kini mengundang tanggapan Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPP Permahi).
Wakil Ketua Umum DPP Permahi, Jumadil, menegaskan, kebijakan Bawaslu dengan mengharuskan para peserta fit and proper test untuk menandatangani surat pernyataan merupakan salah bentuk pembungkaman terhadap peserta dalam upaya penegakan supremasi hukum.
“Kalau betul (ada penandatanganan surat pernyataan, red) itu pembodohan namanya, oleh Bawaslu terhadap peserta. Seperti ada ‘udang’ di balik Bawaslu. Kayak ada yang disembunyikan. Mencurigakan” ujar Jumadil, kepada panjikendari.com, Kamis, 16 Agustus 2018.
Seperti diberitakan sebelumnya, salah seorang peserta yang mengikuti fit and proper test calon anggota Bawaslu kabupaten/kota di Kantor Bawaslu Sultra, membenarkan bahwa mereka diharuskan menandatangani surat pernyataan sebelum masuk ruang uji kelayakan dan kepatutan.
Surat pernyataan tersebut berisi tiga poin, diantaranya; peserta menyatakan bahwa saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
Selain itu, peserta menyatakan menerima hasil dan keputusan yang dikeluarkan oleh Bawaslu RI dan tidak akan mengajukan keberatan ataupun proses hukum terhadap hasil keputusan Bawaslu RI.
Baca juga: Curahan Hati Calon Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang Gagal
Bagi Jumadil, hal itu merupakan bentuk pembodohan dan pembungkaman. “Pembodohan karena setiap peserta sudah dinyatakan sehat jasmani dan rohani saat menjalani tes kesehatan dan psikologi. Tidak perlu lagi ada surat pernyataan itu.”
“Ada upaya pembungkaman karena hak-hak peserta untuk mendapatkan kepastian hukum selama tahapan proses, dibatasi. Seharusnya mungkin ada yang ingin menggugat berdasarkan bukti-bukti indikasi kecurangan, tapi dibatasi dengan surat pernyataan itu,” jelas Jumadil.
Indikasi kecurangan yang dimaksud Jumadil berkaitan dengan viralnya surat bupati sebuah daerah di Sultra yang menyatakan bahwa salah seorang komisioner Bawaslu kabupaten/kota yang juga baru saja dilantik, tidak mendapat izin tertulis dari bupati bersangkutan saat tahapan proses berjalan.
“Ada komisioner yang sudah dilantik, tapi ternyata pada awal proses tidak mendapatkan izin tertulis dari atasan yang menjadi syarat administrasi untuk ikut seleksi selanjutnya. Surat bupati ini kan sebenarnya dapat menjadi dasar gugatan. Tapi karena mereka sudah tandatangani surat pernyataan, ya, pasti berpikir,” kata Jumadil sambil menunjukkan dokumentasi surat bupati tersebut.
Hanya saja, mahasiswa semester akhir Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari ini menjelaskan, surat pernyataan tidak memiliki kekuatan hukum dalam pembuktian serta bukan merupakan alat bukti yang sah.
Hal itu, kata dia, mengacu pada yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3901 K/Pdt/1995 tanggal 29 November 1988, yang menyatakan bahwa “surat pernyataan yang merupakan pernyataan belaka dari orang-orang yang memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan, tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa-apa (tidak dapat disamakan dengan kesaksian).”
Baca Juga: 51 Anggota Bawaslu se-Sultra Diumumkan: 47 Incumbent, 4 Pendatang Baru
Olehnya itu, menurut Jumadil, para peserta yang tidak lulus tahapan fit and proper test boleh-boleh saja melakukan gugatan hukum, sepanjang ada dasar atau bukti kuat untuk melakukan gugatan. Tanpa harus terikat dengan surat pernyataan.
Selain itu, Jumadil menyarankan agar para calon anggota Bawaslu kabupaten/kota yang merasa dizalimi atau merasa diperlakukan tidak adil dengan sistem rekrutmen, dapat melaporkan hal itu kepada Dewan Kode Etik Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Jumadil melihat, ada perbedaan perlakuan antara peserta existing dan pendaftar baru yang mengarah pada adanya indikasi melanggar kode etik penyelenggara pemilu, khususnya melanggara azas-azas penyelenggara Pemilu, antara lain, jujur, adil, kepastian hukum, keterbukaan, profesionalitas, dan akuntabilitas.
“Kami di DPP Permahi sedang menyiapkan materi gugatan ke DKPP. Kalau seandainya ada mantan peserta yang ingin memberikan informasi tambahan atau ada yang ingin bersama-sama ke DKPP, kami siap. Ini bukan soal suka atau tidak suka, tapi lebih pada bagaimana agar penyelenggara Pemilu dapat bekerja profesional dan adil.”
“Bagaimana bisa Bawaslu bisa menegakkan keadilan Pemilu sebagaimana taglinenya kalau proses seleksi calon anggota Bawaslu kabupaten/kota saja sudah tidak adil,” katanya.
Pada kesempatan itu, Jumadil juga mengaku miris dengan adanya upaya pembungkaman peserta tes. Mestinya, kata dia, Bawaslu yang bertugas mengawasi setiap tahapan Pemilu dan menindaklanjuti setiap laporan ataupun temuan pelanggaran Pemilu, memberikan contoh kepada calon-calon anggota Bawaslu kabupaten/kota yang mengikuti seleksi, dengan membuka diri terhadap setiap persoalan yang ada.
Selain KIPP Sultra dan DPP Permahi, salah seorang penulis yang juga mantan Surveyor di Lingkaran Survey Indonesia (LSI), Jambi Besma Martian, melalui kompasiana mengupas tuntas persoalan pembetukan Bawaslu kabupaten/kota.
Menurut dia, seleksi calon anggota Bawaslu kabupaten/kota memunculkan stigma anak tiri-anak kandung diantara calon peserta. Di dalam pedoman pembentukan Bawaslu kabupaten/kota yang dikeluarkan oleh Bawaslu, ada perbedaan perlakuan Bawaslu terhadap peserta seleksi. Yaitu pendaftar baru, existing, dan PAW. (selengkapnya baca: Seleksi Setengah Hati ala Bawaslu). (jie)