Diilhami: Suparno Aznin
(Alumni UHO Kendari)
“ . . . Baik dari koran dan majalah maupun dari forum-forum diskusi bahwa revolusi industri adalah perubahan besar dan radikal terkait cara manusia memproduksi barang. Revolusi industri dimaksudkan manusia untuk mempermudah cara menjalani hidup – lebih enteng dan efisien. Revolusi industri tentunya juga mengalami evolusi secara bertahap.”
Pagi itu hari Jum’at. Ada kerja bakti rutin yang diadakan setiap Jum’at pagi
sebagai wadah pemeliharaan budaya gotong-royong masyarakat di desa-desa. Konon katanya, gotong-royong adalah suatu kesadaran budaya yang harus terus-menerus dijaga dan diamalkan. Ia adalah warisan nenek moyang kita. Warisan leluhur. Setidaknya begitulah ucapan para pembesar di negeri ini ketika tiap kali memberikan pidato di hadapan masyarakat banyak.
Mereka mungkin belum menyadari kalau gotong-royong itu bukan hasil dari perintah para pejabat melainkan sebagai perwujudan kesadaran masyarakat karena terciptanya rasa keadilan di tengah pergaulan sosial. Selama keadilan di tengah masyarakat belum tercipta, gotong-royong pula tidak akan tercipta. Takhayul. Oleh karena itu, jelas terlihat bahwa begitu pentingnya keadilan sedemikian sehingga para pendiri bangsa ini menjadikan keadilan sebagai tujuan puncak dari Ideologi Pancasila.
Markas besar para kere berada di sudut ujung keramaian, tepatnya di desa
Campa. Karena para kere memiliki jiwa sosial yang lumayan tinggi, mereka
selalu hadir di setiap kerja bakti bersih-bersih desa.
Kepala desa setempat mengumumkan bahwa jam 3 sore nanti – pada acara
syukuran tahunan desa – akan dihadiri oleh beberapa pejabat daerah dan
para tamu undangan dari desa-desa tetangga. Beliau juga mengumumkan
bahwa bapak bupati tidak bisa hadir karena berhalangan. “Ada urusan dinas
mendadak ke ibukota provinsi”, kata kepala desa. Oleh karena itu, pidato
pembukaan akan diambil alih oleh pak camat sebagai pidato pengganti.
Tentu saja para kere itu bersemangat. Bahkan sangat antusias menghadiri
acara. Pasalnya, ada banyak makanan tersedia. Bukan hanya tersedia tetapi
plus gratis. “Makan besar”, seru dalam hati masing-masing kere.
Acara tentu berlangsung meriah dan aman. Para kere sangat menikmati perhelatan acara itu. Begitu juga saat pak camat membawakan pidato dengan cermat. Beliau sepertinya sudah menempuh jam terbang yang tidak sedikit dalam urusan pidato-pidatoan. Sangat berenergi dan sesekali di sambut dengan tepuk tangan meriah dari para hadirin. Beliau juga tak jarang melemparkan lelucon-lelucon segar di sela-sela pidatonya. Dan, itu membuat para tamu tertawa terbahak-bahak.
Para kere tentunya sangat memperhatikan betul apa isi pidato pak camat. Mereka selalu tertarik kepada hal-hal baru yang sedang hangat diperbincangkan oleh khalayak luas. Pak camat dalam pidatonya menyinggung sedikit tentang “Revolusi Industri 4.0”. Kata beliau, “sekarang sudah modern. Era begitu cepat berubah. Kini kita dihadapkan dengan teknologi dan informasi. Dunia sedang gencar-gencarnya berbicara tentang Revolusi Industri 4.0. Segalanya serba cepat dan online. Barang siapa yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, maka ia akan ditinggalkan oleh zaman. Kita semua tidak ingin ketertinggalan. Kita harus maju.”
Kata “Revolusi Industri 4.0” lah yang menjadi fokus perhatian para kere. Hal
baru inilah yang pantas dijadikan oleh-oleh unik untuk dibawa pulang ke markas besar. Mereka mencatat kata itu dalam benak masing-masing.
“Apa itu revolusi industri? Kenapa harus ada revolusi industri? Dan, kenapa juga harus punya ekor “4.0”? Apa isi revolusi industri 4.0?”, tanya Karni kepada semua yang duduk bersila di masrkas besar.
“Berdasarkan beberapa informasi yang saya peroleh”, tanggap Lantip hati-hati, “baik dari koran dan majalah maupun dari forum-forum diskusi bahwa revolusi industri adalah perubahan besar dan radikal terkait cara manusia memproduksi barang. Revolusi industri dimaksudkan manusia untuk mempermudah cara menjalani hidup – lebih enteng dan efisien. Revolusi industri tentunya juga mengalami evolusi secara bertahap. Ada revolusi industri 1.0, yaitu terkait dengan penemuan mesin uap yang
menggantikan peran kerja otot, tenaga air dan tenaga angin. Revolusi industri 2.0 terkait penggantian peran mesin uap menjadi tenaga listrik. Revolusi industri 3.0 merupakan kelanjutan dari revolusi sebelumnya. Bedanya, revolusi ini dipengaruhi oleh kerja komputer. Dan terakhir, revolusi industri 4.0 adalah revolusi yang sedang berlangsung saat ini. Ia juga merupakan kelanjutan dari revolusi sebelum-sebelumnya. Tetapi, ia memiliki tambahan, yaitu internet. Kesemua evolusi revolusi industri ini hanya ditujukan untuk mempermudah cara hidup manusia.”
“Tunggu sebentar! Tadi Lantip sudah menjelaskan hal-hal terkait revolusi
industri dan proses evolusinya”, sambung Arno sambil menuturkan, “tapi saya perhatikan bahwa setiap evolusi perubahan, ‘kok kayaknya, revolusi industri ini hanya berfokus pada proses produksi barang. Apakah ini baik-baik saja? Atau memang sangat membahayakan adanya?”
“Sejauh yang saya pahami memang begitu faktanya. Semua persis seperti yang kamu katakan Lan. Hasil alam dikeruk habis-habisan dengan sangat cepat sebagai bahan baku berbagai produk yang akan dijual nantinya. Puncaknya adalah akumulasi laba pasti akan terjadi. Akumulasi laba ini kemudian menghasilkan kemiskinan yang mewabah ke seluruh penjuru bumi”, respon Karni pasti.
“Apa efek positif dari revolusi industri ini?”, tanya karib salah satu kere.
“Tadi sudah dijelaskan kawan kita bahwa revolusi ini ditujukan untuk
mempermudah urusan manusia agar hidup manusia lebih enteng dan efisien. Misalnya, kalau sekarang kamu ingin ke suatu tempat, ‘kan gampang. Kamu hanya menyentuh layar gadget yang ada di genggamanmu. Pilih Grab atau Gojek melalui aplikasi dan dalam beberapa menit jemputan muncul. Kamu tidak perlu ke pangkalan ojek lagi. Atau, kalau merasa lapar, melalui aplikasi yang sama, kamu bisa pilih-pilih makanan sesukamu. Kamu sisa duduk manis di kamar dan makanan pesananmu dalam hitungan menit sudah bisa kamu nikmati. Ini semua adalah contoh-contoh kemudahan yang ditawarkan oleh Revolusi Industri 4.0”, tanggap kere senior santai.
“Selain itu, dalam bidang ekonomi, kita sering menyaksikan adanya kelangkaan barang. Dengan lahirnya revolusi industri, kelangkaan ini bisa dihindari sehingga waktu, tenaga dan biaya yang semula digunakan untuk mengatasi kelangkaan tersebut dapat dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih bermanfaat. Hilangnya kelangkaan otomatis akan mengubah banyak aspek dalam kehidupan masyarakat”, Kere junior menambahkan.
“Apakah revolusi sekarang – yang katanya sedang berlangsung ini – hanya berimbas pada sektor perekonomian semata?”, tanya kere lainnya lagi.
“Tentu tidak. Setiap revolusi yang terjadi pasti merambah ke dimensi-dimensi yang lain. Misalnya, pendidikan, budaya, politik, sosial, hukum, militer dan bahkan cara pandang kita terhadap agama. Kita ambil salah satu segi yaitu, segi politik. Kita tidak dapat mengelak bahwa hampir segala segi
sistem politik yang ada mengalami proses digitalisasi. Beberapa negara telah mengurangi biaya demokrasi dengan menerapkan sistem digitalisasi dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Contohnya, pemilihan umum di Amerika Serikat. Atau, kita bisa lihat sisi pendidikan. Sisi ini juga mengalami perubahan. Bahkan sangat pesat. Kita tidak perlu repot-repot mencari buku referensi. Di internet, semua telah tersedia dalam bentuk e-book maupun jurnal. Lagipula, perpustakaan-perpustakaan hari ini sudah canggih dan online. Bisa diakses di mana saja. Lebih jauh lagi, perkuliahan juga sudah tidak dengan bertatap muka melainkan dengan bertatap layar. Kita tidak perlu hadir di kelas, cukup membuka akun pribadi dan bisa join perkuliahan. Semua ini karena internet. Bahkan, ada salah satu universitas yang kurikulumnya direvolusi menjadi “Revolusi Kurikulum 4.0.”
“Bukankah dampak positif itu hanya sekedar efek kamuflase? Artinya, inti
dari revolusi ini adalah penguasaan kapital?”, si kere bertanya kembali.
“Itu pendapat kamu meski saya juga tidak bisa bilang tidak.” Topik yang mereka bicarakan kali ini memang terbilang agak berat. Pasalnya, mereka belum memiliki bahan yang mencukupi untuk menganalisa
fenomena baru ini. Mereka hanya menggunakan kacamata penglihatan
sehari-hari. Analisa mereka kali ini hanya berdasar atas gelagat-gelagat baru yang timbul di masyarakat terutama dalam kehidupan bersosial.
“Apa yang bisa kita lakukan?”, Karni penasaran.
“Saya belum tahu Kar. Tapi, kamu bisa meniru mainstream baik pemerintah
maupun kaum intelektual.”
“Apa yang mereka lakukan?”
“Menyongsong dengan spanduk bertuliskan “Welcome” tanpa kesiapan
infrastruktur pengetahuan dan ilmu mumpuni, ketahanan budaya dan
kekokohan beragama. Atau, kamu juga bisa berkompromi dengan zaman
baru ini yang benar-benar tidak kamu kenal. Atur damai saja.”
“Tidak bisakah kita melawan atau mengubah arus perubahan?”
“Bisa saja. Tetapi, perlawanan saat ini hanya ada dalam pikiran saja.”
“Kenapa bisa seperti itu?”
“Karena kita hanya sampah masyarakat alias kere.”
Tawa kere mengusir gelapnya malam. Mereka lupa kalau mereka hanya
gerombolan kere yang benar-benar kere.
“Apakah mengikuti arus tidak berbahaya? Bagaimana kalau arusnya deras? Kita semua bisa tenggelam dan mati kan?”, tanya Kanjat dari pojokan.
“Pastinya, berbahaya. Kita bisa jadi bangsa pembebek alias budak. Ibarat ular, badan bergerak mengikuti arah kepala. Semua bergantung kepala ular. Tapi, kita semua bukan badan ataupun kepala ular. Kita ekor ular yang terputus
dari badannya”, sela kere sepuh dengan keyakinan mantap. (**)