panjikendari.com – Ketika mendengar nama Kaghati maka secara spontan alam pikiran kita tertuju pada sebuah mahakarya berupa layangan tradisional yang asal Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Layangan dimaksud terbilang unik karena bahannya tidak seperti layangan pada umumnya yang biasa dimainkan generasi saat ini. Bahan utama dari Kaghati adalah daun umbi hutan atau biasa dikenal dengan kolope yang dikeringkan. Oleh karena itu, masyarakat Muna biasa menyebutnya Kaghati Kolope.
Sedangkan tali yang digunakan untuk menerbangkan Kaghati terbuat dari serat daun nanas hutan yang dipintal dengan keahlian khusus.
Kaghati Kolope adalah layangan purba yang merupakan warisan leluhur masyarakat Muna. Keberadaannya terancam lenyap ditelan zaman, menyusul minimnya kepedulian berbagai pihak untuk melestarikan salah satu kearifan lokal, juga jejak sejarah masa lampau itu.
Di Muna tersisa empat ‘tokoh’ kunci yang masih konsisten dan eksis merawat dan melestarikan keberadaan Kaghati Kolope. Mereka adalah La Masili, La Sima, La Ode Pomusu, dan La Negara.
Di balik tanggung jawab yang besar dalam melestarikan Kaghati Kolope tersebut, La Masili dkk berhasil menarik perhatian dunia melalui festival-festival layangan yang mereka ikuti.
Menurut La Masili, Kaghati Kolope pertama kali diikutkan dalam festival layang-layang internasional yang diikuti 25 negara di Jakarta pada tahun 1995. Kala itu, Kaghati Kolope yang dimainkan oleh tim asal Kabupaten Muna meraih peringkat pertama.
“Kita pada waktu itu diundang karena sudah sering menjuarai festival layang-layang di daerah,” ujar La Masili, ditemui di Kendari usai menonton film dokumenter ‘Hati Kaghati,’ Rabu, 27 November 2019.
Sejak menjuarai festival layangan di Jakarta tersebut, Kaghati Kolope mulai memperlihatkan daya tariknya, baik di tingkat nasional maupun di mata dunia.
Dampak positifnya, kata La Masili, pihaknya selalu diundang dalam setiap kegiatan festival layang-layang baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Berkat Kaghati Kolope, La Masili mengaku sudah ‘terbang’ ke beberapa negara menghadiri festival layang-layang internasional, seperti; Perancis, Jepang, China, Thailand, Singapura, dan Malaysia.
“Tahun 1996 diundang di Perancis, La Ode Pomusu yang ikut. Habis itu tahun 1997 diundang di Perancis lagi. Saya dengan La Sima yang ikut. La Ode Pomusu sudah tidak ikut,” kata La Masili.
Perjalanan La Masili dalam tugas mulia memperkenalkan Kaghati Kolope di mata dunia pada akhirnya terekam dalam Film Hati Kaghati, sebuah karya generasi muda yang tergabung dalam komunitas Bajo Bangkit bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Film tersebut telah tayang perdana di Bioskop Hollywood Kendari, Rabu, 27 November 2019. Dibawah arahan Tomy Almijun Kibu, film ini menceritakan sejarah Kaghati Kolope dan kiprah perjuangan La Masili dkk dalam mengantar Kaghati Kolope meraih penghargaan dunia.
Dalam film itu, La Masili menceritakan suka dan duka yang dirasakannya selama berjuang membumikan Kaghati Kolope. “Saya menangis waktu pertama kali tiba di Perancis. Karena saya tidak sangka kalau akan seperti ini,” kata La Masili dengan mata berkaca-kaca.
La Masili tidak bisa melupakan pengalaman pahit ketika mereka harus menjual layangan demi mendapatkan ongkos pulang kampung dari mengikuti festival layang-layang di Jakarta pada tahun 90-an.
Pemda Muna, katanya, bahkan sampai saat ini tidak menganggap penting bagaimana melestarikan budaya leluhur Kaghati Kolope. Pihaknya tidak mendapat dukungan dari Pemda dalam setiap kegiatan festival layang-layang.
Perjuangan La Masili dkk terbayar saat Kaghati Kolope mendapatkan penghargaan dunia sebagai pemecah rekor layang-layang daun terbesar dunia versi ‘Guinness World Records.’ Penghargaan tersebut didapatkan saat
mengikuti festival layang-layang yang menjadi bagian dari Festival TAFISA Games 2016 di Jakarta.
Saat itu, La Masili bersama tiga koleganya berhasil menerbangkan layang-layang ukuran 5,05 m x 4,3 m selama lebih dari 20 menit sebagai syarat mendapatkan penghargaan.
Penghargaan dunia akan mahakarya Kaghati Kolope menjadikan layangan tradisional tersebut sebagai The Legend. Setiap festival layang-layang internasional, La Masili dan Kaghati Kolope-nya diundang sebagai tamu kehormatan.
Namun karena keterbatasan biaya, La Masili tidak bisa memenuhi undangan dari beberapa negara. Terakhir, La Masili dan La Sima menghadiri undangan festival di Malaysia tahun 2017.
“Tahun 2018, 2019, kita diundang lagi di Malaysia tapi kita tidak bisa ikut lagi. Terakhir ada undangan bulan Februari 2019, tapi kita tidak ikut mi. Bagaimana kalau kita minta dukungan dari Pemda, kita dipingpong. Kita disuruh ke Dinas Pariwisata, katanya tidak ada uang, kita disuruh ke Bagian Keuangan, begitu juga, tidak ada uang.”
“Kita dipandang sebelah mata. Biasa kalau kita datang (minta dukungan) kadang dorang (mereka, red) bilang; ‘Ah, dorang datang minta uang lagi itu,” kenang La Masili.
Keluh-kesah La Masili ini bertolak belakang dengan teori Dinas Pariwisata Kabupaten Muna seperti yang pernah disampaikan Plt Dinas Pariwisata Muna Amiruddin Ako.
Amiruddin Ako kepada jurnalis media ini pernah menyampaikan bahwa Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan akan bekerja sama dalam membumikan Kaghati Kolope sebagai kekayaan daerah.
Caranya, kata Amir, dengan memasukkan materi cara pembuatan Kaghati Kolope ke dalam kurikulum muatan lokal atau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Selain itu, kata dia, karena Kaghati Kolope sudah menjadi budaya Muna maka penting untuk digelar kegiatan festival Kaghati untuk lebih memperkenalkan Kaghati kepada generasi muda Muna.
Pemikiran Amiruddin Ako ini setelah mengetahui jika Kaghati Kolope telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda oleh Mendikbud Prof Ir Muhammad Nuh DEA pada tahun 2013. Itu dikatahui dari piagam penghargaan yang masih tersimpan di Dinas Pariwisata Muna.
Disamping itu, semangat Dinas Pariwisata untuk mengangkat kembali Kaghati Kolope setelah mengetahui kalau Kaghati Kolope pernah mendapat penghargaan pengesahan sebagai Layang Kehormatan Bangsa yang dikeluarkan oleh Yang DiPertua Pihak Tempatan Pasir Gudang, Malaysia, Tan Sri Dato’ Muhammad Ali Hashim.
Namun entah kini dan nanti, apakah Kaghati Kolope ini akan tetap lestari sebagaimana yang diharapkan para pemerhatinya, atau hanya akan menjadi legenda atau cerita sejarah untuk pengantar tidur generasi yang akan datang.
Director Film Hati Kaghati, Tomy Almijun Kibu, berpendapat bahwa untuk merawat dan melestarikan Kaghati Kolope sebagai budaya Muna maka dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah daerah dengan komunitas dan masyarakat.
Dukungan pemerintah daerah, kata Tomy, sangat penting dalam menjaga kelestarian Kaghati Kolope. Menurut dia, Kaghati Kolope merupakan aset berharga yang dimiliki oleh daerah Muna bahkan dunia yang harus dijaga.
“Film yang kami buat adalah salah satu dari banyak cara bagaimana membangkitkan semangat para pihak untuk bertanggung jawab terhadap kelestarian budaya di Muna, khususnya Kaghati Kolope,” katanya. (jie)