Oleh: La Ode Muhammad Azdhar Baruddin
(Ketua Wa Ode Rabia (WRB) Community, juga Politisi Muda)
Kontestasi politik tahun ini memang terasa sangat panas, daripada tahun-tahun sebelumnya. Pemilu kali ini bukan seperti selayaknya pesta demokrasi biasa, melainkan sangat luar biasa. Karena, sangat jelas menunjukan bahwa persaingan perebutan kursi, baik itu di tingkat DPRD Kab/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI dan Presiden terasa seakan-akan merebutkan kekuasaan dengan segala macam kepentingan yang diusung.
Entah itu yang diutarakan pada saat sosialisasi memang untuk kepentingan rakyat, atau kepentingan beberapa rakyat yang bahu-membahu menyokongnya, atau piur kepentingan pribadi yang dibungkus dengan atas nama perjuangan demi kepentingan rakyat. Entahlah, mudah-mudahan saja memang benar demi kepentingan rakyat.
Begitu banyak polemik yang terjadi saat pesta demokrasi yang baru saja selesai. Tolak menolak terhadap salah satu caleg/ capres pasti terjadi. Itu tidak bisa dipungkiri dan terhindarkan. Sehingga, dibutuhkanlah strategi atau cara yang ampun untuk bisa menarik simpati para konstituen untuk memilih figur yang diingginkan.
Namun, saat ini masyarakat sebagai konstituen tidak dengan mudah dihasut untuk memilih calon bupati, gubernur, caleg, capres. Ada beberapa jenis karakter pemilih yaitu :
1. Pemilih Rasional
Pemilih di kategori ini mengutamakan rekam jejak dan program yang dijanjikan, sekaligus menganalisis kemungkinan program-program tersebut relevan untuk dikerjakan atau tidak. Seperti yang dikaji oleh Dista Kurniawan dalam “Pengaruh Hasil Survei tentang Elektabilitas Capres-Cawapres 2014 terhadap Perilaku Pemilih di Surabaya” di jurnal Review Politik, pemilih rasional tidak begitu peduli faktor ideologi suatu partai dari kandidat tertentu.
Sejak pemilu presiden 2014, pemilih pada pemilu maupun pilkada sudah mampu melihat kandidat sebagai personal atau pribadi. Faktor ideologi yang hadir bersamaan dengan partai politik yang ada di belakang kandidat sudah tidak lagi menjadi poin penting. Tentu, masih ada pemilih yang punya prinsip kuat akan ideologi.
Kecenderungan ini juga dibaca oleh partai politik. Terbukanya Prabowo Subianto menerima Anies sebagai calon Gubernur Jakarta dari Partai Gerindra, meski Anies adalah tim sukses Presiden Joko Widodo pada pilpres sebelumnya, menunjukkan bahwa partai sadar bahwa pemilih lebih melihat figur dibanding partai.
Dalam aspek tertentu, aspek ideologi dalam menentukan pilihan juga sebenarnya bisa masuk pada kategori pemilih rasional. Sebab, pertimbangan rasional tidak melulu mengenai kebijakan, tetapi juga soal keamanan prinsip kehidupan yang diusung tiap-tiap pemilih.
Sekalipun prinsip-prinsip personal seperti agama maupun kesukuan dianggap tidak relevan karena cenderung kuno atau kaku, tapi bagi kelompok pemilih atas dasar ideologi, faktor ini dianggap merupakan jaminan bagi keamanan lingkungan, keluarga, dan kehidupan mereka yang bisa jadi menjadi alasan mereka tetap bisa bertahan hidup.
2. Pemilih Kritis
Pemilih kritis merupakan gabungan antara pemilih yang menjatuhkan pilihannya atas dasar kebijakan dengan pemilih atas dasar ideologi. Pemilih akan melihat figur secara personal serta melihat program maupun rekam jejaknya, tapi juga akan melihat citra partai politik di belakangnya.
Pemilih rasional melihat calon dari sisi personal, sedangkan pemilih kritis pertimbangan menjadi lebih kompleks dan rumit. Proses menjadi pemilih kritis ini bisa terjadi dalam dua tahapan.
Pertama, pemilih melihat ideologi partai politik yang mengusung kemudian melihat kecocokan calon dengan cita-cita partai politik. Kedua, tertarik lebih dulu dengan figur calon, baru kemudian melacak potensi partai politik yang mengusung.
Pada tahap ini, pemilih akan menganalisis banyak hal sebelum menentukan pilihannya.
3. Pemilih Tradisional
Robert Rohrscheneider dalam The Strain of Representation (2002: 150) menyampaikan bahwa pemilih tradisional adalah yang paling mudah dimobilisasi selama periode kampanye. Loyalitas dan totalitas terhadap figur yang didukungnya begitu tinggi, apa saja yang dikatakan oleh pemimpin kelompok adalah sabda yang tidak akan pernah terlihat salah atau keliru.
Dalam beberapa tahapan, jenis pemilih ini bisa menjadi sangat berbahaya karena menjadi “pasukan” yang rela untuk melakukan apapun yang dikatakan oleh pemimpinnya bahkan nyawapun taruhannya.
4. Pemilih Pragmatis
Perilaku politik pragmatis ditunjukkan dari pandangan dan sikap politik mereka bahwa politik uang adalah hal yang wajar dan bisa diterima. Perilaku politik egoistik ditunjukkan pemilih dengan menyatakan keputusan politik mereka bersifat personal dan ditentukan sendiri.
Pilihan adalah masalah pribadi, jadi mereka yang ingin mendapatkan dukungan harus melakukan pendekatan personal. Lebih tragis lagi mereka menyatakan menerima dengan baik pemberian uang dalam politik, tetapi tentang pilihan politik di TPS adalah rahasia mereka.
Perilaku transaksional para pemilih ditunjukkan dari sebagian besar pandangan dan sikap politik mereka bahwa karena para pemenang akan menikmati pendapatan yang berlimpah, maka mereka harus menebus (vote buying) kepada para pemilih.
Pemilih kemudian seolah-olah memaksa para kandidat berkompetisi dengan cara-cara dagang, yang ini sesungguhnya berlawanan dengan nilai-nilai dasar demokrasi yang baik. Seharusnya pemimpin dipilih karena visi misi dan program kerja yang menjanjikan kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
5. Pemilih Skeptis
Sampai pada tahap tertentu, jika pemilih tidak menemukan apa yang bisa diharapkan dari kedua pilihan, maka ia akan memilih opsi golongan putih (golput), yang pada akhirnya akan berubah menjadi karakter pemilih skeptis.
Mereka tidak merasa terikat dengan ideologi apapun dan cenderung menganggap bahwa kebijakan yang dijanjikan baik dari partai maupun secara personal tidak akan membawa perubahan yang berarti. Sehingga pilihan tepat buat mereka yaitu untuk tidak memilih.
Banyak perbedaan pandangan mengenai sikap skeptis dan apatis dalam pemilu. Ada yang mengatakan “sama”, dan ada yang mengatakan “beda”.
Letak kesamaannya yaitu sama-sama tidak memperdulikan siapa yang akan menjadi anggota legislatif, kepala daerah ataupun presiden nantinya. Perbedaannya, menurut saya adalah dimana sikap apatis itu disuarakan dalam beragam bentuk, bisa dengan tidak membaca berita terkini mengenai kondisi politik Indonesia, atau dengan cara-cara lain yang sifatnya enggak mau tahu. Sedangkan, pemilih skeptis itu merupakan sebuah ekspresi dalam politik, baik itu ekspresi dari orang yang simpatik, maupun yang apatis.
Pada dasarnya kedua sikap pemilih seperti ini sangat membahayakan demokrasi indonesia. Karena, secara tidak langsung hal ini mengakibatkan pemilu tidak berkualitas.
Parahnya lagi mereka yang bersikap apatis ini menuntut banyak kepada pemerintah dan legislatif. Menuntut kesejahteraan, penurunan harga barang, pembangunan infrastruktur, perbaikan jalan, pembukaan lapangan kerja, dll.
Kemudian, menjust bahkan sampai mengeluarkan bahasa yang tidak wajar kepada pemerintah baik itu melalui perbincangan sesama kerabat atau dipost ke media sosial (medsos).
Hal seperti inikan kurang adil (fair). Meskipun memang sentral pertanggung jawaban adalah pemerintah tetapi harus bijak dan objektif dalam mengkritik atau menilai.
Apakah sadar sikap apatis anda sangat berpengaruh dengan kemajuan suatu daerah?
Bayangkan sikap apatis anda sehingga tidak memilih. Padahal, banyaknya figur yang memiliki rekam jejak (track racord) baik. Terlalu mengedepankan egoisme dan fanatik buta terhadap figur yang pada akhirnya berakhir buruk.
Buruknya yaitu, mereka yang memiliki potensi untuk bisa membangun daerah dicuekkan sehingga tidak terpilih. Bahkan yang terpilih adalah mereka yang maaf kata tidak kompeten, tidak memiliki kapasitas sehingga sama saja, pembangunanpun tidak tercipta. Kemudian, kalian yang bersikap cuek, tidak mau tahu tentang politik, caleg, capres, seenanknya mau menyalahkan?
Sebagai contoh kecil, ketika pemilihan kepala daerah, ada dua calon sebut saja Si A dan Si B. Si A dikenal dengan rekam jejak baik, cerdas, berpengalaman, kompeten. Sedangkan Si B adalah petahana, semasa jabatannya tidak ada pembangunan yang signifikan, tidak merakyat dll.
Dalam hal memilih, sebagian orang cuek bahkan seolah tidak mau tahu menahu siapa calonnya, sehingga tidak memilih. Sebagiannya lagi mau memilih si B karena diberikan “sesuatu” walaupun dia sadar kalau figur tersebut tidak akan membawa perubahan bagi daerah.
Akhirnya proses pemilihan pun selesai dan keluarlah pengumuman bahwa si B sebagai bupati. Menjelang beberapa tahun masa jabatan, dikritiklah bupati terpilih ini dengan berbagai macam kritikan seperti kerusakan jalan, pelayanan kurang baik, persoalan air, pembangunan rumah sakit dll.
Terus, menurut kalian siapa yang salah? Itulah efek dari sikap apatis dan pragmatis yang diciptakan selama ini…
Coba sikap apatis dan pragmatis itu dihilangkan, objektif melihat calonnya. Kan pasti ada yang lebih baik, kenapa suara anda tidak diberikan kepadanya?
Daripada dibuang sia-sia. Padahal satu suara saja bisa menentukan nasib bangsa ke depannya. Jika semua orang berpikiran sama, maka akan seperti apakah wajah politik Indonesia di masa depan?
Seseorang yang bersikap apatis terhadap politik dan pemerintahan juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Ada beragam dalih yang membuat seseorang memutuskan untuk golput. Tidak kenal terhadap calon dan rasa kecewa terhadap politik menjadi dalih yang paling kuat mendorong tumbuhnya sikap apatis.
Semoga kedepannya lebih cerdas dalam memilih. Janganlah fanatik buta terhadap pemilu dan demokrasi Indonesia. Kemudian, pilihlah sosok yang memang betul-betul memiliki unsur kepantasan dan layak untuk dipilih. Jangan terpengaruh oleh iming-iming atau janji yang efeknya akan menyensarakan seluruh masyarakat. (**)