Laut Indonesia sedang menghadapi ancaman yang tidak bisa diabaikan. Di balik hamparan biru yang membentang dari Sabang sampai Merauke, tersembunyi ironi bahwa kekayaan yang luar biasa tersebut justru menjadi incaran berbagai pihak, bahkan dirampas oleh mereka yang tidak berhak. Padahal, laut bukan hanya sekedar sumber daya, tetapi ia adalah nadi kehidupan, identitas bangsa, dan fondasi masa depan Indonesia.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua secara global dan merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Laut tidak hanya menyediakan pangan, tetapi juga lapangan kerja, transportasi, hingga ruang budaya yang memperkaya hidup jutaan masyarakat pesisir. Namun, potensi besar ini terus terancam, salah satunya oleh praktik pencurian ikan (illegal fishing) yang berlangsung secara masif.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahwa sepanjang tahun 2024, sebanyak 240 kapal ditangkap karena praktik ilegal, termasuk kapal asing dari Malaysia, Filipina, Vietnam, Rusia, hingga Sierra Leone. Kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp3,7 triliun. Angka ini tidak hanya mencerminkan kerugian ekonomi, tetapi juga menunjukkan rapuhnya kedaulatan kita di laut.
Pemerintah memang telah bertindak tegas. Namun, penindakan saja tidak cukup. Diperlukan sinergi yang lebih luas dan berkelanjutan. Semua pihak baik pemerintah, sector swasta, akademisi, LSM, hingga masyarakat local harus terlibat. Tanpa kebersamaan, pengelolaan laut yang adil, lestari, dan berdaulat hanya akan menjadi sebuah wacana semata.
Langkah pertama dalam membangun sinergi dalam pengelolaan laut adalah membangun kepercayaan antar pemangku kepentingan melalui dialog terbuka dan transparan. Kolaborasi hanya mungkin terjadi jika ada rasa saling menghargai dan tanggung jawab bersama. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, sektor swasta sebagai penyokong sumber daya, akademisi sebagai penyedia data dan analisis, serta masyarakat pesisir sebagai pelaku utama di lapangan, semuanya memiliki peran penting.
Contoh sukses kemitraan bisa dilihat di Nusa Penida, Bali. Kawasan ini berhasil menggabungkan konservasi laut dan ekowisata berbasis masyarakat melalui kerja sama lintas sektor. Terumbu karang dan mangrove pulih, pendapatan masyarakat naik 20–30% per tahun, dan aktivitas penangkapan ikan ilegal turun hingga 50% dalam lima tahun. Bukti nyata bahwa sinergi tidak hanya menyelamatkan ekosistem, tetapi juga memperkuat ekonomi dan sosial
Di sisi lain, realitas di lapangan juga menunjukkan bahwa ketika kebijakan dibuat tanpa pelibatan masyarakat pesisir, hasilnya bisa kontraproduktif. Kasus mogok melaut oleh nelayan di beberapa daerah yang salah satunya terkait aturan pemasangan alat Vessel Monitoring System (VMS) termasuk di Kendari menjadi sinyal penting. Penolakan terhadap aturan tersebut disebabkan karena dianggap tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi mereka. Padahal, keberadaan VMS menjadi salah satu instrumen yang mendukung pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan. Selain itu, VMS dapat memberikan informasi dan penanganan secara dini apabila terjadi permasalahan di laut seperti kecelakaan, hilang kontak atau terjadi perompakan. Tetapi karena prosesnya minim dialog, diikuti dengan adanya tambahan biaya yang harus disiapkan di tengah pendapatan yang tidak menentu, maka wajar jika kebijakan atau aturan yang semestinya membangun justru menuai penolakan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi dan pemahaman terhadap konteks ekonomi dan social masyarakat adalah syarat mutlat dalam penetapan setiap kebijakan atau aturan.
Inilah alasan mengapa pendekatan bottom-up harus menjadi fondasi utama dalam membangun kelautan. Masyarakat pesisir harus menjadi aktor utama dan bukan hanya sekadar objek pembangunan. Mereka telah lama hidup berdampingan secara harmonis dengan laut. Mereka memiliki kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun dalam mengenali musim ikan, memahami arus, dan menjaga ekosistem secara alami. Dengan dukungan pelatihan, pembiayaan, dan akses pasar, potensi mereka bisa ditingkatkan secara signifikan.
Selain itu, pemanfaatan teknologi seperti pemantauan satelit, aplikasi nelayan pintar (Nelpin), dan inovasi pengolahan hasil laut sangat dibutuhkan. Teknologi tidak menggantikan peran manusia, tapi memperkuatnya. Di sisi lain, kampanye kesadaran publik dan edukasi maritim sejak dini juga wajib digencarkan, agar generasi muda tumbuh dengan semangat menjaga laut, bukan sekadar mengeksploitasinya.
Akhirnya, menyelamatkan laut Indonesia bukanlah tugas satu pihak saja. Tetapi merupakan proyek besar kebangsaan. Kita tidak bisa lagi bekerja dalam sekat-sekat. Saatnya membangun kemitraan yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Sinergi adalah kunci.
Mari jadikan laut bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi juga sumber harga diri bangsa. Sudah saatnya kita bersinergi; pemerintah, swasta, akademisi, LSM dan masyarakat untuk menyelamatkan laut Indonesia.
Jangan biarkan laut kita hanya menjadi cerita. Mari jaga bersama, bukan esok , tapi mulai hari ini. (*)
Penulis: Arsy Aysyah Anas
(Mahasiswa Program Studi Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo)