Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
(Konsentrasi Hukum Pemilu dan Pilkada)
Dalam praktik penegakan hukum pidana kepemiluan, seringkali terjadi silang pendapat antara Jaksa Penutut Umum (JPU) dengan kuasa hukum (terdakwa) perihal dapat atau tidaknya putusan bebas diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang telah mendemarkasi keberlakuan hukum acara pidana khusus atas apa yang diaturnya sebagai pengecualian dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sepanjang diatur secara tegas dan perdefenisi dalam UU Pemilu.
Mengenai upaya hukum banding dalam UU Pemilu atas putusan bebas ternyata tidak ada pengaturannya secara tegas. Dalam Pasal 482 ayat 2 UU Pemilu hanya menyatakan: “dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.” Pasal a quo kadang ditafsirkan bahwa putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, atau putusan pemidanaan, semuanya dapat diajukan upaya hukum banding. Upaya hukum banding dijalankan biasanya oleh JPU secara sepihak untuk putusan bebas atau lepas, dan bersama-sama oleh JPU dengan terdakwa (kuasa hukumnya) kalau putusan berupa pemidanaan di pengadilan tingkat pertama.