Oleh: Athira Azzahra, Mahasiswa PKN STAN
Salah satu penggerak perekonomian adalah Kredit Perbankan melalui pembiayaan. Peran kredit perbankan dalam pertumbuhan ekonomi sangat lah penting. Kenaikan permintaan kredit perbankan dari segi konsumsi, modal usaha atau pun investasi akan meningkatkan daya beli masyarakat, gairah usaha, dan menambah investasi, khususnya investasi langsung. Peningkatan dari semua aspek tersebut memberikan efek ganda (multiplier effects) antara lain pendirian perusahaan baru, penyerapan tenaga kerja, kenaikan produksi, peningkatan daya beli, kenaikan pendapatan perpajakan yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya kredit dari perbankan tersebut akan menjaring rumah tangga dan perusahaan untuk meningkatkan konsumsi dan produksinya yang tidak bisa didanai sendiri.
Selain itu, Kredit Perbankan juga merupakan tulang punggung dari kelangsungan hidup perbankan. Melalui cicilan pokok yang dibayarkan oleh pihak peminjam ditambah dengan sejumlah bunga kredit yang harus dibayarkan oleh pihak peminjam kepada bank.
Namun pada kenyataan nya, sistem perkreditan perbankan tidak selalu berjalan dengan mulus. Terdapat banyak masalah yang bisa menyebabkan meningkatnya potensi kredit macet, baik dari pihak nasabah maupun pihak bank seperti kurangnya kemampuan pihak bank dalam menatausahakan kredit atau masalah yang ditimbulkan dari luar rencana perbankan, seperti bencana alam ataupun perlambatan ekonomi global.
Di awal tahun 2020 dibuka dengan permulaan yang berat bagi beragam aktivitas ekonomi dalam negeri. Pandemi COVID-19 ini memberikan dampak negatif ke berbagai sektor ekonomi. Sebagai contoh, berkurangnya pendapatan masyarakat mempengaruhi penurunan daya beli menyebabkan turunnya produksi perusahaan dan gairah usaha. Penurunan dari aktivitas ekonomi tentu memberikan efek kepada kredit perbankan. Sektor riil yang langsung terpukul perlambatan ekonomi global akibat COVID-19 adalah sektor riil finansial.
Perlambatan ekonomi global tersebut berimbas pada Kredit perbankan baik dari penyaluran maupun kualitas asetnya yang direfleksikan dari rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan). Pandemi ini berpotensi meningkatkan NPL, Permasalahan Likuiditas, dan tekanan permodalan.
Dikutip dari pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, mengatakan bahwa beberapa sektor usaha yang menjadi debitur terlihat mengalami kesulitan untuk membayar bunga kredit atau cicilan pokok kreditnya karena terimbas pandemi virus corona yang menurunkan pendapatan pelaku usaha.
Penurunan daya beli masyarakat, menyebabkan beberapa sektor usaha mengalami permasalahan likuiditas. Jika perusahaan tidak mendapatkan penghasilan atas produksi mereka, maka akan berpengaruh terhadap profit yang dihasilkan, modal, dan pada akhirnya berujung kepada permasalahan solvabilitas.
Risiko kredit yang akan dihadapi bank akibat permasalahan likuiditas usaha yang disebabkan oleh pandemi corona salah satunya berasal dari sektor UMKM. Apabila sektor UMKM terganggu akibat penurunan daya beli serta penurunan produksi akan menyebabkan pelaku usaha tersebut mengalami permasalahan dalam membayar kewajibannya kepada perbankan dan industri keuangan non-bank.
Dampak pandemi COVID-19 terhadap sektor riil memang sangat terasa. Sektor pariwisata dan transportasi pun turut terhimpit karena himbauan pemerintah untuk menjauhi keramaian, menghindari tempat umum dan berjaga jarak. Penurunan pendapatan dari kedua sektor tersebut akan membayangi risiko industri perbankan antara lain perlambatan penyaluran kredit, risiko kredit macet, dan penurunan kualitas asset.
Dilansir dari laman OJK mengenai perkembangan kredit dan NPL Bank Umum, tercatat rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) cukup meningkat hingga Maret 2020 NPL berada di level 2,77% . Beberapa sektor yang mendorong meningkatnya NPL adalah transportasi, pengolahan, dan rumah tangga. Melihat kondisi seperti ini, diperkirakan peningkatan NPL ini akan terus membayangi Bank hingga akhir tahun.
Risiko Kredit bermasalah yang terus meningkat akan menyebabkan permasalahan terhadap ancaman likuiditas dan mengurangi profitabilitas dari perbankan sehingga kenaikan NPL harus dapat ditekan demi menjaga likuiditas Bank. Oleh karena itu, Regulator dan Industri perbankan harus mempersiapkan mitigasi terhadap percikan masalah kredit macet. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkoordinasi dengan Bank Indonesia memberi kelonggaran pembayaran kredit pada industri terdampak yaitu melalui restrukturisasi kredit dan perhitungan kolektabilitas kredit hanya berdasarkan satu pilar, yakni ketepatan pembayaran pokok dan bunga untuk pinjaman dibawah Rp. 10 Miliar.
Selain risiko kredit macet yang menghantui Bank, pandemi COVID-19 ini berimplikasi pula terhadap penurunan permintaan kredit di perbankan baik permintaan kredit individu maupun badan usaha. Hal tersebut disebabkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang memperlambat kegiatan ekonomi, penurunan pendapatan yang mempengaruhi penurunan daya beli masyarakat disertai dengan penurunan minat usaha. Respon masyarakat maupun korporasi yang khawatir dengan pembayaran kredit kedepan nya menjadi faktor penunjang penurunan permintaan kredit.
Survei Perbankan Bank Indonesia (BI) yang dimuat dari Laman bi.go.id pada Kamis (16/4) mengindikasi pertumbuhan triwulanan kredit baru mengalami perlambatan pada triwulan I-2020. Hal itu dapat dilihat dari saldo bersih tertimbang (SBT) permintaan kredit baru pada triwulan I-2020 sebesar 23,7% yakni lebih rendah jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 70,6% dan pada triwulan I-2019 sebesar 57,8%. Melambatnya pertumbuhan permintaan kredit baru ini berasal dari seluruh jenis kredit, dengan penurunan terbesar pada jenis kredit yang digunakan untuk konsumsi terutama pada kredit multiguna dan kredit tanpa agunan seperti permintaan kredit pemilikan rumah, kredit kendaraan bermotor dan kartu kredit.
Dari hasil survey yang dilakukan Bank Indonesia (BI), responden memprediksi pertumbuhan kredit hanya akan tumbuh sebesar 5,5% (yoy) pada tahun 2020 lebih rendah dibandingkan dengan realisasi kredit pada tahun 2019 yakni sebesar 6,1%.
Mengingat bahwa kredit merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, untuk itu diperlukan kebijakan guna meningkatkan pertumbuhan perkreditan yakni melalui kebijakan-kebijakan pelonggaran penyaluran kredit. Pelonggaran penyaluran kredit ini dapat dilakukan untuk jenis kredit modal kerja dan kredit UMKM. Aspek kebijakan penyaluran kredit yang dapat diperlonggar adalah suku bunga kredit, biaya persetujuan kredit, jangka waktu kredit dan plafon kredit.
Dampak pandemi corona memang dirasakan seluruh elemen, baik masyarakat maupun korporasi. Dampak dari penurunan aktivitas ekonomi merambat ke permasalahan lainnya. Sektor jasa keuangan adalah salah satu korban dari perlambatan ekonomi global.
Kredit yang seharusnya menjadi pendukung stimulus peningkatan ekonomi melalui pemberian dana guna meningkatkan konsumsi dan usaha justru dimasa pandemi ini mengalami penurunan permintaan kredit. Penurunan daya beli serta produksi pun turut meningkatkan tingginya rasio kredit macet. Perlunya paket-paket mitigasi risiko untuk menanggulangi permasalahan kredit perbankan demi menjaga likuiditas bank. Melihat meningkatnya NPL, Bank harus meningkatkan efisiensi dan manajemen dalam menghadapi risiko kedepan agar tetap eksis ditengah pandemi. Dalam pemberian kredit di saat seperti ini pun bank harus selektif dan berhati-hati dalam menyalurkan kredit dengan mempertimbangkan prinsip pemberian kredit. (**)