Panjikendari.com, Jakarta – Dalam kurun waktu terakhir ini di bidang kehutanan Ombudsman RI banyak menerima laporan pengaduan masyarakat terkait kasus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) badan usaha, tumpang tindih kawasan hutan dengan Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit, peternakan, konflik tenurial antara masyarakat dengan pemegang IUPHHK-HTI, permohonan pemasangan jaringan listrik dalam kawasan hutan oleh masyarakat serta berbagai macam permasalahan lainnya.
Demikian diungkap dalam diskusi secara virtual Ombudsman RI merespon Regulasi Sektor Kehutanan Pasca Berlakunya UU Ciptaker dengan menghadirkan nara sumber Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. DR San Afri Awan, Jumat, 12 Maret 2021. Turut hadir dalam diskusi itu Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto.
Diskusi ini merupakan tindak lanjut dari berlakukanya UU Cipta Kerja terutama di sektor kehutanan. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja banyak mengubah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Dalam sambutannya, Hery Susanto mengatakan, Ombudsman.RI berperan dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik khususnya di sektor kehutanan. Dimana Ombudsman RI secara aktif melakukan kegiatan pencegahan maladministrasi dan praktek korupsi dalam pelayanan publik.
“Kami konsern melakukan kajian terhadap regulasi yang rawan praktek maladministrasi dan korupsi. Kami pun siap menerima dan menindaklanjuti laporan pengaduan masyarakat,” kata Hery Susanto.
Prof. DR San Afri Awang mengatakan bahwa keberadaan UU Citpa Kerja di sektor kehutanan untuk memperkuat keberadaan UU Kehutanan yang sebelumnya sudah ada. Prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan, tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, pemanfaatan hutan, perhutanan sosial, pembinaan dan pengelolaan hasil hutan, pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) serta pemanfaatan dan perlindungan hutan.
Ia mengingatkan hal-hal yang rawan terjadinya maladministrasi, misalnya dalam Pasal 16 ayat (3) PP Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebagai turunan dari UU CIpta Kerja yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Pengukuhan Kawasan Hutan disebutkan bahwa dalam proses penyelenggaran pengukuhan kawasan hutan harus dilaksanakan secara transparan dan dukungan informasi yang jelas.
“Pasal 16 ayat (4) PP tersebut prioritaskan percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan pada daerah strategis. Dalam konteks ini sering terjadi ketidakpastian hukum hutan adat, lalai, sewenang-wenang, dan ketidak pastian hukum pengadaan lahan untuk food estate (tumpang tindih perijinan),” kata San Afri Awang.
Pihaknya mencatat area yang rawan terjadinya praktek maladministrasi dan korupsi seperti perizinan di sektor kehutanan produksi dan penggunaan kawasan, pelepasan kawasan hutan secara parsial, dan pelepasan kawasan keterlanjuran melalui sanksi dan mekanisme penarikan PNBP.
“Untuk mencegah praktek korupsi di sektor kehutanan maka harus diperjelas mekanisme dan pengawasan terhadap perijinan berusaha, pelepasan kawasan dan mekanisme penarikan PNBP,” katanya.
San Safri Awang mengharapkan agar Ombudsman RI memfokuskan kajian pada mekanisme pembayaran denda. Misalnya, beberapa kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang telah diputuskan pengadilan, pembayaran sanksi denda dari perusahaan tertentu dan pemulihan kawasan hutan.
“Jika dendanya besar, perusahaan tidak mampu membayar langsung, maka perusahaan harus bersedia membayar dengan mencicil selama 20-25 tahun (denda di atas 100 milyar rupiah). Tetapi dalam PP No 59 Tahun 1998 Tentang Tarif Jasa Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) diatur pengajuan keringan pembayaran hanya 12 bulan saja. Di kasus yang lain denda PNBP terhadap kebun sawit dalam kawasan hutan, belum ada aturannya. Maka seharusnya dapat di atur dalam peraturan menteri dari turunan PP 23 dan PP 24,” pungkasnya. (rls)