KENDARI, Panjikendari.com — Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali mencuat. Kali ini, disuarakan langsung oleh Kementerian Sosial dan mendapat dukungan dari Menteri Sekretaris Negara. Namun bagi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Kota Kendari, usulan tersebut bukan sekadar keliru, melainkan berbahaya bagi ingatan kolektif bangsa.
“Usulan ini seperti menabur garam di luka sejarah yang belum sembuh,” tegas Jordi Apriyanto, Ketua LMND Kendari, dalam pernyataannya.
Menurut Jordi, negara seharusnya bersikap jujur terhadap masa lalu. Bukan justru memberi panggung kehormatan kepada sosok yang identik dengan pelanggaran HAM, pemberangusan kebebasan sipil, dan praktik korupsi sistemik yang berlangsung selama tiga dekade.
“Bangsa yang besar bukan bangsa yang melupakan sejarahnya, tapi yang berani mengakui, belajar, dan bertanggung jawab atas luka-luka masa lalunya,” ucapnya.
Bagi LMND, langkah penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto bukan sekadar keputusan administratif. Ia merupakan simbol—apakah bangsa ini memilih jalan keadilan, atau justru jalan penyangkalan.
“Ketika pelaku pelanggaran justru diberi gelar pahlawan, di mana tempat korban mencari keadilan? Di mana ruang untuk harapan anak-anak muda terhadap demokrasi dan hak asasi manusia?” kata Jordi.
LMND menegaskan bahwa negara seharusnya fokus menuntaskan agenda reformasi yang masih tersendat, termasuk mengungkap kebenaran atas kasus penghilangan paksa, memberi pengakuan kepada korban, dan membangun sistem yang benar-benar antikorupsi dan pro-demokrasi.
“Pahlawan adalah mereka yang menyelematkan bangsa, bukan mereka yang menundukkannya dengan ketakutan,” tutup Jordi.
LMND Kota Kendari menyatakan penolakannya sebagai bagian dari sikap nasional organisasi, dan menyerukan agar masyarakat tidak diam terhadap upaya sistematis yang bisa menghapus ingatan kritis bangsa terhadap masa lalu. (*)
Reporter: Abar