panjikendari.com – Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) mendeteksi masih adanya pergerakan kader eks Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) di wilayah hukumnya.
Kasubdit 1 Politik Dit Intelkam Polda Sultra, Kompol Muhammad Fahroni, mengungkapkan, gerakan kader eks HTI di Sultra masih aktif mengkampanyekan ideologi khilafah di berbagai kegiatan, baik melalui dakwah di masjid, seminar, penyebaran buletin, maupun penyebaran narasi propaganda, yang menyudutkan pemerintah.
Hal itu disampaikan Fahroni saat menjadi pemateri dalam kegiatan Focus Discussion Group (FGD) tentang ‘Peran Pengawasan Pemilu 2019 Dalam Menciptakan Situasi Kamtibmas yang Aman dan Kondusif,’ yang diselenggarakan oleh Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sultra, di salah satu hotel di Kota Kendari, Sabtu, 2 Februari 2019.
Menurut Fahroni, jumlah mereka diperkirakan hampir 15.000 tersebar di beberapa daerah, seperti, Kota Kendari, Konawe Selatan (Konsel), Kota Baubau, dan beberapa daerah lainnya.
Selain kegiatan seperti yang disebutkan di atas, terang Fahroni, mereka juga kadang turun ke jalan dengan menggunakan bendera lain, tidak lagi mengatasnamakan HTI.
“Seperti yang kita tahu bahwa pasca-kasus pembakaran bendera tauhid yang ada di Garut, di Sultra sini ada sedikit riak, artinya mereka turun untuk memberikan semacam bentuk solidaritas,” ujarnya.
Dalam menyikapi potensi pergerakan kader eks HTI tersebut, kata Fahroni, Polri bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam hal ini Badan Kesbangpol mengawasi ruang gerak mereka.
Dari sisi hukum, jelas Fahroni, organisasi HTI sudah dibubarkan namun dari segi sumber daya manusianya, mereka masih ada dan aktif dengan merubah nama.
“Misalnya, dulu kita kenal SMS atau BBM, sekarang kita pakai WA dan lainnya. Kita berharap mereka tidak berafiliasi ke partai politik tertentu, kendatipun ada beberapa kader eks HTI yang masuk (berpartai) Tapi kita tetap pantau,” tandasnya.
Yang pasti, kata dia, Polri senantiasa melakukan pemantauan dan pencegahan terhadap pergerakan kader-kader eks HTI, tak terkecuali di Sultra.
“Mereka atau beliau-beliau adalah manusia biasa dan warga negara kita juga. Hanya karena beda pemahaman dalam berbangsa dan bernegara, yaitu, mereka menolak Pancasila sebagai dasar negara,” tutupnya.
Penulis: Jumaddin Arif