panjikendari.com – Insiden jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang pada Senin 29 Oktober 2018 mengundang perhatian banyak pihak.
Salah seorang peneliti bidang penerbangan yang juga dosen Universitas Sembilanbelas November (USN) Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), Qammaddin, melihat, peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 cukup menarik untuk ditelisik, apalagi dikabarkan bahwa pesawat tersebut masih tergolong baru.
Menurut Qammaddin, minimal terdapat empat faktor yang secara umum menjadi penyebab sehingga pesawat Lion Air JT-610 hilang kontak yang pada akhirnya ditemukan jatuh, yaitu, keadaan cuaca, gangguan teknis, aksi teroris, dan aksi pilot atau akibat lain yang tidak terstruktur.
“Dugaan saya, faktor dominannya adalah faktor teknis pada Tata Operasi Darat atau penanganan Ground Handling. Dugaannya begitu. Kecil kemungkinan karena human error,” terang Qammaddin, kepada jurnalis panjikendari.com melalui pesan WhatsApp-nya, Selasa, 30 Oktober 2018.
Qammaddin menyampaikan, analisa yang dia sampaikan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya pada tahun 2017 berjudul; ‘Modelling System of Decision Making Feasibility of Aircraft Departure.’
Hasil penelitian tersebut dipresentasikan pada konferensi internasional “New Directions In Multidisciplinary Research & Practice – NDMRP-2017, Istanbul, Turkey. Bahkan telah dibuat dalam bentuk buku sebagai bahan referensi pengajaran matakuliah Decission Support System di Fakultas Teknologi Informasi USN Kolaka.
Alumni Pascasarjana Teknik Informatika konsentrasi Sistem Informasi Enterprise-Fakultas Teknologi Industri-Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini, mengatakan, dalam dunia penerbangan, peran daripada petugas Ground Handling dalam hal Tata Operasi Darat sangat menentukan kelayakan penerbangan pesawat demi keselamatan penumpang sampai di tujuan.
Alumni SMAN 2 Raha ini menjelaskan, teknik ground handling merupakan pelayanan yang bersifat teknis untuk keperluan pesawat terbang.
Kata dia, ada dua model data manajemen ground handling keberangkatan pesawat yang disimulasikan, yaitu, model penilaian persiapan keberangkatan pesawat dan model data historys tiap pesawat sebelum berangkat.
“Hasil penilaian yang disimulasikan dalam dua model tersebut akan sangat menentukan kelayakan pesawat dalam melakukan penerbangan agar selamat sampai tujuan, perawatan di tempat atau docking,” jelas Qammadin.
Berkaitan dengan kasus jatuhnya pesawat Lion Air JT-610, lanjut Qammaddin, secara teknis mungkin karena maintenance dan Sistem Crew Training yang diduga buruk.
“Jika itu yang terjadi maka Kemenhub wajib mencabut izin operasional maskapai penerbangan Lion Air,” tandasnya.
Lebih jauh Qammadin menjelaskan, oleh karena insiden ini telah berulang maka menimbulkan pertanyaan terhadap standar penerapan Flight Safety, termasuk bagaimana sistem Flight Crew Training.
Misalnya, kata dia, bagimana dengan pelatihan Mandatory Simulator bagi Pilot apakah sudah sesuai Civil Aviation Safety Regulation (CASR) atau belum.
“Kita tunggu pembuktian dari pihak KNKT terkait sistem maintenance, apakah sudah sesuai dengan aturan Air Safety Regulation-nya. Contohnya, jika sparepart pesawat sudah expired tapi tidak diganti yang baru,” terangnya.
Kemungkinan sparepart expired tapi tidak diganti, menurut dia, bisa saja terjadi, apa lagi dengan melihat kondisi nilai kurs rupiah yang terus melemah hingga Rp 15 ribuan per USD.
“Kondisi nilai tukar rupiah tentu saja punya pengaruh besar dengan operasional maskapai. Beli sparepart pake USD, tiket dijual dalam rupiah yang mungkin tidak berimbang pada cost operational maskapai,” terangnya.
Karena itu, kata Qammaddin, musibah jatuhnya Lion Air JT-610 harus menjadi perhatian serius pemerintah agar tidak terulang kedepannya, terutama dalam hal evaluasi manajemen Ground Handling serta sistem Crew Training.
Penulis: Jumaddin Arif