Di salah satu sudut Kota Makassar, berdiri sebuah bangunan tua yang menjadi saksi bisu perjuangan mahasiswa rantau asal Sulawesi Tenggara. Gedung itu bertuliskan “Asrama Mahasiswa Sultra” — namun kondisinya jauh dari kata layak. Cat dinding mengelupas, plafon runtuh, kamar sempit dengan ventilasi seadanya, dan sebagian besar fasilitas rusak. Inilah tempat tinggal 19 mahasiswa Sultra yang menimba ilmu di kota perantauan. Diketahui asrama tersebut berada di Jalan Bontomene No. 31/14 A, Kelurahan Bantabantaeng, Kecamatan Rappocini.
Pagi itu, Gubernur Sulawesi Tenggara, Andi Sumangerruka (ASR), datang meninjau langsung kondisi asrama itu. Mengenakan baju putih, topi hitam, dan kacamata gelap, ASR melangkah masuk ke lorong-lorong lembab yang menjadi rumah sementara para pemuda harapan daerah. Senyumnya ramah, tapi raut wajahnya menunjukkan keprihatinan mendalam.
“Ini harus segera direnovasi total,” ucap ASR lirih sambil menatap dinding retak dan langit-langit yang hampir roboh.
Pertemuan berlangsung hangat namun serius. Di ruang depan, ASR berdiskusi dengan perwakilan mahasiswa. Mereka mengutarakan kebutuhan mendesak: kasur, air bersih, dan perbaikan struktur bangunan. ASR tak hanya mendengarkan. Ia merespons.
“Saya bantu dulu kasur untuk seluruh kamar. Setelah itu, kita renovasi total bangunan ini. Bahkan kalau bisa, sekaligus kita bangun guest house di sini,” kata ASR, disambut anggukan haru para penghuni asrama.
Sejumlah mahasiswa tampak mendampingi gubernur menyusuri ruang-ruang asrama tersebut. Mereka menunjukkan kamar-kamar yang memang kondisinya memprihatinkan.
Tak berhenti di situ. ASR menjanjikan bantuan langsung berupa bonus uang pembayaran SPP satu semester kepada seluruh mahasiswa yang tinggal di asrama. Jumlahnya bervariasi antara Rp1,6 juta hingga Rp3,6 juta per orang, sesuai dengan nilai SPP masing-masing.
“Jangan menyusahkan orang tua, dan jangan menyusahkan daerah,” pesan ASR sebelum meninggalkan lokasi.
Video kunjungan ini kemudian dibagikan ASR melalui akun Facebook pribadinya pada Rabu 16 April 2025, dengan caption yang menyentuh:
“Kondisi memprihatinkan mess mahasiswa Sultra di Sulawesi Selatan yang dibiarkan terbengkalai dan tidak layak huni ini memerlukan perhatian serius dan tindakan segera. Fasilitas yang seharusnya menunjang studi mahasiswa perantauan ini tidak boleh terus diabaikan dan dibiarkan terbengkalai begitu saja. Saya berharap ke depan ini bisa diperbaiki secara menyeluruh sehingga bisa ditinggali dengan layak agar adik-adik kita mahasiswa bisa tinggal dan belajar dengan aman dan nyaman.”
Unggahan tersebut disambut banyak komentar positif dari warganet:
Rahman Agus menulis:
“Alhamdulillah, bapak Gubernur dan Wakil Gubernur memberikan perhatian serius terhadap bangunan Asrama Mahasiswa Sultra di Kota Makassar. Kiranya menjadi prioritas dan fokus Pemda Prov Sultra pada tahun 2026 untuk mendapat alokasi anggaran rehabilitasi. Semoga sukses selalu, Pak.”
Mustakim Takim menyampaikan hal teknis yang lebih mendesak:
“Mohon izin Pak Gubernur, kasur untuk saat ini belum layak digunakan karena setiap musim hujan banjir bisa sampai satu meter. Yang paling dibutuhkan saat ini fasilitas air bersih.”
Laode Maurida pun berkomentar penuh harap:
“Luar biasa Puang… sudah sangat tidak layak huni. Semoga secepatnya berubah wajah Asrama Mahasiswa Sultra di Makassar.”
Sebagaimana kata ASR, “Saya ingin mahasiswa Sultra belajar dengan nyaman. Negara dan daerah tidak boleh abai pada mereka.”
Sebelumnya, gubernur Sultra Ali Mazi juga pernah meninjau asrama tersebut pada tahun 2019 lalu, termasuk melihat kondisi Kantor Perwakilan Sultra di Makassar tepatnya di Jalan Gunung Merapi No. 209, Kelurahan Pisang Selatan, Kecamatan Ujung Pandang, yang juga kondisinya sangat memprihatikan dan membahayakan bagi ASN yang bekerja di kantor tersebut.
Saat itu, Ali Mazi berjanji akan memprogramkan pembangunan baru kedua fasilitas tersebut. Namun sayang, hingga masa jabatannya sebagai gubernur Sultra berakhir, janji yang disampaikan belum sempat terealisasi.
Kali ini, gubernur ASR kembali berkunjung. Kunjungan ini diharapkan menjadi lebih dari sekadar agenda seremonial. Ini adalah pengakuan, bahwa para mahasiswa rantau bukanlah warga kelas dua. Di balik lorong sempit dan kamar pengap, tersimpan harapan besar. Dan di balik kehadiran seorang gubernur, ada kilau cahaya perubahan. Semoga! (*)