Oleh: La Ode Muhram Naadu, S.H., M.H
(Pengamat/Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari)
Tenaga Pendamping Profesional nampaknya belum bisa bernapas lega usai penetapan Daftar Calon Tetap (DCT). Pasalnya, pihak penyelenggara di beberapa daerah, seperti Luwu, Sumatera Selatan, Lampung Selatan dan beberapa daerah lain mempermasalahkannya.
Di Sulawesi Tenggara, sebagaimana dikutip dari pemberitaan media daring, Ketua Bawaslu Sultra Hamiruddin Udu mengelompokkan Pendamping Desa sebagai pihak yang wajib mengundurkan diri jikalau ingin mencaleg.
Hal itu dipostulasi berdasar pada Pasal 7 huruf k PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang mana setiap calon yang mendapatkan gaji atau tunjangan melalui dana pemerintah harus mundur. Sebagaimana dikemukakan usai sidang dugaan pelanggaran administrasi di Kantor Sekretariat Bawaslu Sultra, Jumat (2/11/2018).
Posisi Kasus
Terdapat dua hal yang berbeda dari kasus ini. Yang pertama, seorang Tenaga Pendamping Profesional berhadapan dengan kontrak kerjanya dan Yang kedua, Tenaga Pendamping Profesional berhadapan dengan syarat kontestasi kepemiluan. Terhadap yang pertama sesungguhnya tidak memiliki korelasi dengan yang kedua, sebab pembidanganannya cenderung ke ranah privat.
Kasus Pertama. Berkenaan dengan kontrak kerjanya, Tenaga Pendamping Profesional harus mundur atau tidak adalah berkenaan dengan hukum perjanjian itu sendiri. Dimana tunduk pada asas pacta sunt servanda. Apakah dalam kontrak melakukan pelarangan atau tidak, perlulah diidentifikasi.
Syarat pelarangan tersebut terdapat pada SOP Pembinaan dan Pengendalian Tenaga Pendamping Profesional yang dikeluarkan oleh Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kementrian Desa dan Pembangunan daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Pada Bab IV Poin A terdapat tata perilaku dan etika profesi. Dimana pada perihal jabatan publik, Tenaga Pendamping tidak diperbolehkan menduduki jabatan publik/kepengurusan partai politik.
Dari sisi ini, hal yang mencuat adalah bagaimana memaknai kepengurusan partai politik? , yah tentu ditafsirkanlah berdasar acuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Tafsiran kepengurusan adalah domain parpol itu sendiri termuat dalam Anggaran Dasar (AD) Parpol, hal ini tertera pada Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Parpol. Pembedanya disini adalah anggota, pengurus dan kepengurusan.
AD Parpol masing-masing memiliki pemaknaan tersendiri. Menurut tafsiran penulis, tolak ukur sederhana yang membedakan masing-masing adalah fungsi administratifnya yang dibuktikan standar legalitasnya. Anggota dilegalisasi dalam bentuk kartu anggota, sedang pengurus adalah anggota yang dilegalisasi oleh sebuah Surat Keterangan untuk menjalankan fungsi kepengurusan dalam tenggangwaktu tertentu. Sedang kepengurusan adalah perihal kegiatan dalam satu tenggang waktu untuk mengurus parpol yang dilandasi oleh Surat Keterangan Pengurus.
Berdasarkan tafsiran ini tentulah bahwa seorang caleg tidak secara mutatis mutandis dikatakan sebagai pengurus, apalagi terlibat dalam kepengurusan. Bisajadi Caleg tersebut adalah anggota dan tidak masuk dalam kategori pengurus apalagi menjalankan kepengurusan.
Syarat Kontestasi
Sebelum mendaulat bahwa Tenaga Pendamping Profesional termaksud subyek yang dimaksud Pasal 7 huruf k angka 7 PKPU 20 tahun 2018, diwajibkan identifikasi dari profesi ini. Menilik pada Pasal 5 Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2015 tentang Pendampingan Desa, yang dimaksud Tenaga Pendamping Profesional adalah Pendamping Desa, Pendamping Teknis dan Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat.
Pada kasus di atas, hal yang mengikat Tenaga Pendamping Profesional adalah frasa “Karyawan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan Negara” pada Pasal Pasal 7 huruf k angka 7 PKPU aquo. Benar adanya, bahwa Tenaga Pendamping Profesional menikmati honorarium dari keuangan Negara, notabene berdasar kontrak kerja dengan pihak pemberi kerja dalam hal ini Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Satuan Kerja Program Pembangunan dan Pemberdayaan (Satker P3MD).
Artinya bahwa, kontrak merupakan tanggungjawab dari PPK Satker P3MD itu sendiri serta teknisnya tunduk pada ketentuan Pengadaan barang dan jasa berdasar Perpres 4 Tahun 2015. PPK Satker P3MD adalah pihak yang mengadakan kontrak jasa berupa skillware dari pihak tenaga pendamping profesional.
Disini ada perjanjian, yang dibuktikan dengan Surat perintah kerja (vide : Pasal 55 ayat 1 huruf c Perpres 4 Tahun 2015). Dari sini benderang, terlihat tanggungjawab masing-masing pihak. PPK dari Satker P3MD adalah entitas Pemerintah yang menggunakan uang Negara dan Tenaga Pendamping Profesional bertanggungjawab terhadap pekerjaan berdasar kontrak.
Dalam pengadaan jasa, surat perintah kerja, pertanggungjawaban diatas dapatlah diidentifikasi bahwa PPK Satker P3MD adalah badan pemerintah sedang Tenaga Pendamping Profesional adalah pihak yang dibeli jasanya oleh pemerintah dalam hal ini Satker P3MD/ wujud belanja jasa dari Satker P3MD.
Dapat disimpulkan bahwa Tenaga Pendamping Profesional bukanlah termaksud frasa “Karyawan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan Negara” sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf k angka 7 PKPU aquo. Pun gaji Tenaga Pendamping Profesional berasal dari keuangan Negara, tidak dapatlah dikatakan bahwa ia karyawan pada Satker P3MD.
Mengundurkan Diri
Untuk mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif, ada beberapa subyek hukum yang diwajibkan untuk mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 240 ayat 1 huruf k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pada kasus diatas, tenaga Pendamping Profesional termaksudkan subyek sebagaimana expressive verbis Pasal 7 huruf k PKPU 20 tahun 2018, dimana Direksi, Komisaris, Dewan Pengawas, dan karyawan pada BUMN, BUMD, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan Negara.
Untuk lebih mengenal cita hukum yang terkandung dalam PKPU aquo, perlunya menilik norma induknya yakni Pasal 240 ayat 1 huruf k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bahwasanya konstruksi norma dialamatkan pada subyek hukum tertentu (norma individual). Dapat didikotomikan bahwa ada 2 (adressatnorm) subyek norma, yakni subyek yang pertama pemberlakuannya kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah, kemudian subyek yang kedua pemberlakuannya pada ASN, TNI, Polri, Direksi, Komisaris, Dewan Pengawas, dan karyawan pada BUMN, BUMD, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan Negara.
Secara sifat, norma ini adalah preventif. Sebagaimana dimaknai dari aspek teleologisnya, bahwa pertama agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan/kesewenangan dari jabatan yang dimaksud. Ini diidentifikasi murni dari subyek hukum pertama. Yang kedua agar terdapat netralitas penyelenggaraan pemilihan. Untuk norma korektifnya banyak tersebar dalam aturan teknis lainnya perihal larangan unsur pemerintah terlibat dalam praktik politik praktis. Inilah salah satu bentuk penjaminan bahwa pemerintah netral dalam penyelenggaraan pemilu.
Pembatalan DCT oleh Bawaslu
Berdasarkan pendapat penulis, yang pertama adalah Tenaga Pendamping Profesional tak perlu mundur dari jabatannya manakala bukan termaksud pengurus parpol. Kemudian yang kedua Tenaga Pendamping Profesional tidak perlu mundur dari jabatannya jikalau mencaleg, sebab tidaklah termaksud adressatnorm Pasal 7 ayat 1 huruf k angka 7 PKPU aquo.
Suatu kesalahan jika ada tafsir yang bersikukuh mengelompokkan Tenaga Pendamping Profesional sebagai pihak yang wajib mengundurkan diri jikalau ingin mencaleg berdasar pada Pasal 7 huruf k PKPU aquo. Terlebih berkaca pada jejak faktual yang ada, kasus ini terjadi di daerah Pamekasan, Madura. Masyarakat melaporkan adanya Tenaga Pendamping Profesional yang ditetapkan dalam DCT.
Hasilnya, Bawaslu Kabupaten Pamekasan tidak mempersoalkan dua Pendamping Desa (PD) yakni Syafiuddin dan Abdul Mu’in yang lolos sebagai Calon Legislatif (Caleg) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD Pamekasan. Normanya berpijak pada memaknai Pasal 7 ayat 1 huruf k angka 7 PKPU aquo, yakni bahwa karyawan badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara bukanlah termasuk Tenaga Pendamping Profesional.
Lebih lanjut, penulis secara prediktif berkesimpulan bahwa tidak akan terjadi pembatalan DCT bagi Caleg yang berlatar kerja sebagai Tenaga Pendamping Profesional. Sebab pun jika tafsir Pasal 7 ayat 1 huruf k angka 7 PKPU aquo memaknai Tenaga Pendamping Profesional adalah termaksud di dalamnya, sisi kesalahan penetapan DCT tidak dapat dibebankan pada Caleg.
Dua hal yang digarisbawahi disini adalah right to be candidate dan pertanggungjawabannya. Sebab dalam memenuhi DCT, terdapat proses verifikasi dan klarifikasi, yang pasif pun aktif, dilakukan oleh penyelenggara dan juga non-penyelenggara.
Sebagai warga Negara yang dilindungi hak politiknya (right to be candidate) oleh penyelenggara, wujud tahapan adalah penjaminan sisi kepastiannya. Pelolosan DCT merupakan bentuk kinerja dari KPU. Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin kesalahan proses verifikasi ke tahapan DCT yang dilakukan oleh penyelenggara dibebankan oleh warga Negara?
Last but not least, dalam kasus yang terjadi di Sultra, semua berpulang pada Bawaslu Sultra yang berkewenangan melakukan pembatalan DCT melalui mekanisme Perbawaslu 8 Tahun 2018.
Tahapan pemilu terus bergulir, bak mawar yang bermekaran, menghasilkan optimisme pada demokratisasi bangsa ini. Namun mawar tak mekar sendirian. Ia tumbuh bersama durinya yang harus ditanggalkan. Begitu pula hukum kepemiluan. Pada satu sisi kita menjejaki optimisme menyeleksi kepemimpinan terbaik negeri, pada sisi lain kita harus menyisih kerisihan akibat memaknainya. Mari menambalnya dengan keilmuan, berlandas citanya. Wallahu a’lam bishowab. (**)