Semenjak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB roda perekonomian di Indonesia bak mati suri. Tak terasa PSBB telah berbulan-bulan diterapkan di Indonesia. Seluruh sekolah dan tempat rekreasi ditutup, ibadah dilakukan di rumah, bahkan pasar tradisional maupun pusat perbelanjaan juga terpaksa di tutup. Ternyata jika dilihat dari kaca mata yang lebih luas, dampak COVID-19 tak hanya pada kesehatan fisik dan juga mental tetapi sektor yang paling keras terdampak justru perekonomian.
Moody’s Corporation selaku perusahaan induk dari Moody’s Investors Service yang menyediakan jasa analisis keuangan dan analisis atas lembaga usaha dan lembaga pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia ada pada 3,7% sedangkan pertumbuhan ekonomi dunia ada pada -0,5%. Meskipun masih dalam angka positif, pertumbuhan ekonomi ini mengalami penurunan dari asumsi dasar ekonomi makro yang diperkirakan pemerintah untuk tahun 2020.
Penurunan pertumbuhan ekonomi dari asumsi tentu ada kaitannya dengan perubahan pola konsumsi masyarakat pasca PSBB. Dari pemaparan Bank Indonesia diketahui bahwa konsumsi masyarakat cenderung turun untuk barang sekunder dan tersier namun meningkat untuk produk primer. Akibatnya ada beberapa sektor yang mengalami kontraksi perekonomian karena berkurangnya penghasilan usaha, pemotongan gaji, hingga kehilangan pekerjaan.
Melemahnya pasar terjadi ketika permintaan yang rendah mendorong produsen untuk tidak melakukan produksi karena khawatir akan semakin merugi. Sektor yang paling rentan terhadap kondisi melemahnya pasar tentu adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai sektor paling kecil dari rantai industri. Melemahnya pasar akan memicu penurunan keuntungan UMKM yang selanjutnya berdampak pada kesulitan UMKM dalam membayar cicilan pokok dan bunga kredit pada perbankan.
Untuk meringankan dampak COVID-19 terhadap kinerja dan kapasitas debitur UMKM, maka OJK mengeluarkan kebijakan stimulus perekonomian sebagai countercyclical, dengan sasaran pada sektor ekonomi pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan. Kebijakan ini tertuang dalam POJK Nomor 11 / POJK.03/ 2020 tentang Stimulasi Perekonomian Nasional dan didukung dengan PP No. 23 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program PEN dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.
Dengan adanya kebijakan ini maka Himpunan Bank Negara (HIMBARA) akan menjalankan skema restrukturisasi bagi debitur UMKM yang melakukan pengajuan keringanan sesuai dengan kondisi usaha mereka dan penurunan omzet yang mereka alami. Keringanan ini dapat berupa penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit ataupun konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Kebijakan relaksasi ini terdengar sangat baik dan tepat untuk diterapkan pada masa pandemi dan pasar yang lemah seperti saat ini, bahkan bisa dikatakan sangat pro rakyat. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar tepat sasaran dan dibutuhkan saat ini?
Kebijakan relaksasi kredit memberikan sedikit ruang untuk bernapas bagi para debitur yang terdampak COVID-19 secara langsung. Penundaan pembayaran cicilan kredit akan meningkatkan kemampuan UMKM untuk terus berproduksi dan melanjutkan kegiatan usahanya serta membuat pasar terhindar dari kelangkaan produk sehingga tidak terjadi kenaikan harga barang, dan pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan konsumsi masyarakat. Hal ini pada akhirnya akan berakibat pada sektor ekonomi yang mampu berputar meskipun tidak kembali normal seperti saat sebelum terjadi pandemi.
Namun, kebijakan keringanan kredit ini tidak menutup kemungkinan akan mendorong munculnya debitur nakal. Tidak semua lapisan masyarakat dan UMKM terdampak langsung dari pandemi COVID-19, misalnya beberapa sektor usaha yang masih berjalan dengan penurunan omzet tidak sampai 30%. Mereka bisa saja mengajukan keringanan pembayaran cicilan kredit karena hal tersebut menguntungkan bagi mereka namun di sisi lain merugikan pihak perbankan.
Masalah lain ada pada kesalahan persepsi dan penafsiran masyarakat yang menyangka bahwa kebijakan ini mengarah pada pembebasan kredit secara menyeluruh, padahal sebenarnya kebijakan ini adalah kebijakan restrukturisasi atau penundaan dari kredit. Bahkan yang lebih parah adalah banyak oknum debitur yang berlomba-lomba dalam mendapatkan bantuan relaksasi kredit terbesar tanpa menilik pihak mana yang sebenarnya paling membutuhkan keringanan ini.
Kondisi diperburuk dengan fakta bahwa sebenarnya pendanaan yang dimiliki pemerintah dalam hal ini dikelola oleh HIMBARA hanya mampu memberi subsidi kredit sangat kecil dari jumlah tunggakan kredit yang ada. Seperti yang disampaikan oleh Sunarso selaku Ketua HIMBARA sekaligus Direktur Utama BRI dalam Webinar Forum Diskusi Bisnis Indonesia (15/5), dana yang ada saat ini hanya sanggup memberikan subsidi sebesar 6% dalam waktu 3 bulan pertama dan sebesar 3% untuk 3 bulan selanjutnya untuk debitur dengan kredit diatas 10 miliar rupiah, serta subsidi 3% untuk 3 bulan pertama lalu 2% untuk 3 bulan selanjutnya bagi debitur dengan kredit 500 juta sampai 10 miliar rupiah dengan syarat mengalami penurunan omzet diatas 30%. Dengan persentase subsidi yang sangat kecil, apakah dapat menggerakkan perekonomian kembali?
Dengan sumber anggaran yang terbatas dalam subsidi kredit ini maka harapan terbesar ada pada respon pelaku UMKM itu sendiri apakah dengan subsidi yang ada mampu mengoptimalkan produksinya dan menggerakkan kembali roda perekonomian atau tetap dia dan pasrah. Kebijakan pemerintah ini seperti pembuktian terhadap teori butterfly effect dimana satu kepakan sayap kecil dalam hal ini subsidi kredit dapat memberikan dampak yang signifikan yaitu pergerakan perekonomian.
Semenjak pemberlakuan new normal pada pertengahan bulan Juni, pusat perbelanjaan dan pasar di berbagai daerah mulai dibuka kembali. Meskipun kebijakan ini menuai pro dan kontra namun justru pada saat seperti inilah dapat diteliti dengan lebih jelas apakah kebijakan relaksasi kredit benar-benar berdampak pada roda perekonomian atau tidak. Jika pada akhirnya tidak ada perubahan pertumbuhan ekonomi yang terjadi, maka sebaiknya kebijakan ini diteliti kembali apakah akan dilanjutkan atau tidak mengingat dana yang digelontorkan cukup besar.
Kebijakan relaksasi kredit merupakan langkah sigap dalam mengantisipasi kontraksi di sektor perekonomian yang sebih besar lagi. Seperti yang kita ketahui bahwa kontraksi ekonomi apabila tidak diatasi dan dibiarkan berlanjut maka akan timbul resesi bahkan depresi. Namun di lapangan telah terbukti adanya beberapa permasalahan. Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini OJK dan HIMBARA diharapkan dapat menjalankan kebijakan ini dengan prinsip keadilan dan kehati-hatian khususnya dalam menilai apakah debitur UMKM tersebut layak menerima keringanan kredit atau tidak. Prosedur dan syarat yang ditetapkan secara tegas dan teliti akan berperan sebagai filter sehingga hanya debitur yang benar- benar terdampak COVID-19 dan yang mengajukan keringanan kreditlah yang dapat memperoleh kebijakan ini.
Sumber terkait penulisan opini:
https://www.moodys.com/credit-ratings/Indonesia-Government-of-credit-rating-405130#
BIODATA PENULIS
Nama : Lorensia Kristina Br Siregar
TTL : Langkat, 3 September 1999
Pekerjaan : Mahasiswa PKN STAN