Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
(Konsentrasi Hukum Pemilu dan Pilkada)
Di berbagai daerah, isu pelanggaran kampanye calon anggota legislatif yang mengikutsertakan camat makin marak terjadi, tak ketinggalan Kota Kendari juga menjadi pelengkap durjana bagi Bawaslu dalam hal menerima laporan, memeriksa dan menghasilkan kajian dugaan pelanggaran pemilu yang dinyatakan sebagai delik pemilu.
Adalah Sulkhoni dan Riki Fajar, calon anggota legislatif PKS masing-masing sebagai calon anggota DPRD Provinsi Sultra dan calon anggota DPRD Kota Kendari. Dengan berdasarkan hasil pembahasan II Sentra Gakumdu Kota Kendari, keduanya diputuskan; diduga melakukan tindak pidana pemilu, Pasal 493 junto Pasal 280 ayat 2 UU Pemilu.
Untuk menelaah lebih lanjut peristiwa tersebut, dalam hubungannya dengan caleg sebagai pelaksana kampanye mengikutsertakan ASN (Camat), maka terlebih dahulu harus diketahui ketentuan hukumnya, kemudian dikonstatir dengan fakta-faktanya yang relevan.
Soal camat berada dalam status ASN diatur dalam Pasal 224 UU Pemda Junto Pasal 13 PP Kecamatan Junto Pasal 1 angka 2 UU ASN. Agar tidak bias, pertama-tama perlu dikutip terlebih dahulu bunyi Pasal 280 ayat 2 huruf f UU Pemilu yang berhubungan dengan kasus tersebut: “Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan ASN.”
Sehubungan dengan dugaan delik pemilu yang dipersangkakan kepada Sulkhoni dan Riki Fajar berdasarkan Pasal 280 ayat 2 huruf f UU Pemilu, terdapat beberapa unsur yang harus dibuktikan, yaitu: (1) Apakah kedua-duanya terpenuhi sebagai “pelaksana kampanye;” (2) Apakah dalam pertemuannya dengan relawan Margiono di tempat kediamannya terkualifikasi sebagai kegiatan “kampanye pemilu;” (3) Apakah makna yang terang dari unsur “mengikutsertakan” dalam pasal a quo dihubungkan dengan delik pemilu yang diduga dilakukan oleh Sulkhoni dan Riki Fajar.
Pertama, benar adanya kedua calon anggota legislatif tersebut adalah pelaksana kampanye. Mutatis mutandis adanya bahwa bagi seorang calon anggota DPRD Kota dan DPRD Provinsi sudah dapat dipastikan sebagai pelaksana kampanye pemilu anggota DPRD Kota dan DPRD Provinsi untuk dirinya sendiri (Vide: Pasal 270 ayat 2 dan 3 UU Pemilu).
Kedua, unsur mengenai kegiatan kampanye pemilu, inilah unsur yang sebenarnya butuh pendalaman hukum kepemiluan. Suatu kegiatan sah sebagai kampanye pemilu harus terpenuhi syarat materil dan syarat formilnya. Syarat materilnya terdefenisikan berdasarkan Pasal 1 angka 35 UU Pemilu “Kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri.”
Sedangkan syarat formilnya, dari setiap bentuk alternatif yang akan ditawarkan berupa visi, misi, program, dan/atau citra diri tersebut yang dapat tersampaikan melalui salah satu bentuk metode kampanye yang dibenarkan (Pasal 275 ayat 1 UU Pemilu). Jika dalam bentuk kampanye terbatas misalnya, maka harus tersampaikan pemberitahuan tertulis kepada aparat kepolisian NRI setempat, dengan tembusan ke KPU dan Bawaslu sesuai dengan tingkatannya masing-masing (Pasal 27 PKPU Kampanye Pemilu).
Taruhlah dalam kasus Sulkhoni dan Riki Fajar, dikatakan memenuhi syarat materilnya sebagai kegiatan kampanye, karena ada alat bukti surat yang ditemukan berupa stiker sebagai bahan kampanye. Akan tetapi jika kegiatan kampanye tersebut dianggap sebagai metode kampanye terbatas, dimana bahan kampanye akan dibagi-bagi dalam kegiatan kampanye pertemuan terbatas, jelas tidak dapat terpenuhi dalam hal syarat formilnya.
Metode kampanye dengan pertemuan terbatas selain wajib adanya penyampaian pemberitahuan tertulis ke Kepolisian setempat beserta dengan tembusannya kepada penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), juga mempersyaratkan pembuktian dokumen berupa undangan ke peserta kampanye mengenai hari, tanggal, jam, tempat kegiatan, nama pembicara, tema materi, dan petugas kampanye.
Belum lagi dengan informasi lainnya yang harus diketahui secara pasti oleh kepolisian dan penyelenggara: hari, tanggal, jam, tempat, pelaksana dan/
atau tim kampanye, nama pembicara dan tema materi, jumlah peserta yang diundang, dan penanggung jawab. Kesemuanya itu menjadi catatan, bahwa suatu kegiatan telah sah secara formil untuk dinyatakan sebagai kampanye pemilu sebagai metode kampanye pertemuan terbatas.
Dengan memperhatikan fakta-fakta yang ada, ternyata dalam kasus ini, Sulkhoni dan Riki Fajar hanya melakukan tindakan pertemuan dengan salah satu relawannya (Margono). Apa yang salah dengan seorang anggota DPRD bertemu dengan relawannya? Sama sekali tidak ada kehendaknya untuk melakukan kegiatan kampanye berupa pertemuan terbatas.
Toh selain tidak ada undangan kepada peserta kampanye, warga yang datang, yang terdiri atas satu orang ketua RT dan 2 orang warga biasa mereka datang hanya atas inisiatif sendirinya saja. Jadi sekali lagi, dalam kasus ini tidak terpenuhi apa yang dilakukan oleh Sulkhoni dan Riki Fajar sebagai kegiatan kampanye pemilu.
Ketiga, perihal pelaksana kampanye yang mengikutsertakan ASN dalam kegiatan kampanye pemilu. Unsur yang ketiga ini sebenarnya jika dimaknai secara konkret dalam konteks perundang-undangan menimbulkan ketidakjelasan, apakah subjek hukum yang diikutsertakan itu cukup sebagai peserta kampanye atau harus sebagai pelaksana dan tim kampanye?
Unsur mengikutsertakan dalam Pasal 280 ayat 2 UU Pemilu, adalah salah satu unsur tindak pidana yang paling unik diantara sebaran tindak pidana, baik itu tindak pidana umum (KUHP), tindak pidana khusus (mis: korupsi), maupun dalam hubungannya dengan perluasan pertanggungjawaban pidana terkait dengan penyertaan (deelneming sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP).
Mengapa unik? Karena bukan hanya “mengikutsertakan” itu ternyatakan sebagai unsur delik, tetapi assesoir perbuatannya kerap kali tidak terkualifikasi sebagai tindak pidana (bandingkan dengan Pasal 363 ayat 1 angka 4 KUHP). ASN yang terlibat dalam kegiatan kampanye hanya terpenuhi sebagai pelanggaran administrasi (berdasarkan UU ASN). Dapat terpenuhi sebagai delik pemilu, tetapi ASN tersebut harus sebagai pelaksana dan tim kampanye.
Saya berada dalam pandangan bahwa mengikutsertakan ASN dalam kegiatan kampanye pemilu, haruslah ASN yang diikutsertakan itu adalah pelaksana dan tim kampanye.
Adapun argumentasi penulis, yaitu: PERTAMA, dalam hukum pidana yang bertujuan menjerat pelaku kejahatan, orang yang mengikutsertakan dengan orang yang ikutserta dalam suatu perbuatan jahat adalah kedua-duanya jahat. Mengikutsertakan ASN dalam kegiatan kampanye pemilu tidak akan terwujud, jika sekiranya ASN tidak mau ikut serta.
Jika pelaksana kampanye mengikutsertakan ASN, karena ASN hanya peserta kampanye (bukan pelaksana dan tim kampanye) dapat dipidana, berarti ketentuan tersebut juga menyimpang dari asas equality, sama-sama mewujudkan kejahatan, sama-sama bersalah, namun tidak sama-sama dapat dipidana. Dalam konteks itulah kemudian, Pasal 280 ayat 2 UU Pemilu hanya akan memenuhi syarat equality jika dirangkaikan dengan ayat 3-nya.
Jika ASN hanya dapat dijerat pidana dengan prasyarat sebagai pelaksana dan tim kampanye dalam keikutsertaannya di kegiatan kampanye pemilu, maka pelaksana kampanye (caleg) yang mengikutsertakan ASN, ASN tersebut harus sebagai pelaksana dan tim kampanye pula.
KEDUA, Pasal 280 ayat 2 dan ayat 3 UU Pemilu masih dalam satu pasal dan bab yang sama, yaitu bab larangan dalam kampanye pemilu. Bab UU menentukan bagian-bagiannya (rubrica et lex). Itu artinya, status setiap orang yang dinyatakan dalam Pasal 280 ayat 3 UU Pemilu masih sebagai satu rangkaian dengan ayat 2-nya, tidak dapat dpisahkan. Yang ikut serta harus sebagai pelaksana dan tim kampanye, maka pihak yang mengikutsertakan setiap orang dalam kualitasnya masing-masing, harus dipastikan sebagai pelaksana dan tim kampanye pula.
KETIGA, makna lebih lanjut dari mengikutsertakan adalah membuat seseorang agar turut serta melakukan perbuatan (periksa KBBI). Kemudian, turut serta itu harus dilihat pada dua keadaan: (1) ada kesengajaan untuk bekerja sama; (2) Kerja sama itu diwujudkan dalam perbuatan. Sehubungan dengan Pasal 280 ayat 2 UU Pemilu, maka untuk melihat yang bagian kesengajaan untuk bekerja sama itu, setidak-tidaknya dapat diamati dari peristiwa; seorang Caleg bekerja sama dengan ASN untuk terdaftar di KPU sebagai pelaksana dan tim kampanye, kemudian kerja samanya mewujudkan perbuatan melaksanakan kampanye, yaitu sama-sama terlibat sebagai pelaksana dan tim kampanye menyampaikan visi, misi, program, dan/atau citra diri ke peserta kampanye.
KEEMPAT, baik yang mengikutsertakan ASN, maupun ASN yang ikut serta dalam kegiatan kampanye kedua-duanya dijerat dengan ancaman pidana yang sama (masing penjara 1 tahun dan denda 12 juta rupiah, Pasal 493 dan Pasal 494 UU Pemilu). Ini menjadi tanda khusus bahwa antara Pasal 280 ayat 2 dan ayat 3 UU Pemilu, satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan hukuman yang sama, berarti ASN ketika “ikut serta” harus sebagai pelaksana dan tim kampanye, maka sudah seharusnya saat caleg “mengikutsertakannya” juga harus sebagai pelaksana dan tim kampanye.
Mengikutsertakan seseorang dalam suatu perbuatan terkualifikasi sebagai penyertaan bertingkat. Ada perbuatan yang mengawali bagi Caleg tersebut agar ASN mau turut serta dalam kegiatan kampanye. Perbuatan itu harus dalam corak kesengajaan, misalnya sengaja membujuk ASN agar mengikuti kemauannya.
Adakah Sulkhoni dan Riki Fajar berbuat secara aktif, minimal membujuk camat untuk turut serta dalam kegiatannya bertemu di rumah seorang relawan pada kasus dugaan tindak pidana pemilu tersebut? Fakta-fakta yang terkuak, Sulkhoni dan Riki Fajar tidak pernah mengundang sang camat, bahkan tidak pernah ada pembicaraan sebelumnya, agar camat tersebut hadir di rumah sang relawan.
Pada akhirnya, tidak patut bagi Sulkhoni dan Riki terjerat dengan delik pemilu, Pasal 493 Junto Pasal 280 ayat 2 UU Pemilu. Dua unsur yang menjadi wajib untuk terpenuhi: “kampanye pemilu” (bersyarat formil) dan “mengikutsertakan” camat (ASN), camatnya harus sebagai “pelaksana dan tim kampanye,” dus mengikutsertakan itu harus dalam suatu tindakan aktif (sengaja menghadirkan, sengaja memanggil, atau sengaja mengundang) sama sekali tidak dilakukan oleh Sulkhoni dan Riki.
Jika Sulkhoni dan Riki harus menerima pil pahit putusan pengadilan, terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemilu (Pasal 493 UU Pemilu). Sekadar catatan pengingat dari penulis, ini preseden dan alarm buruk bagi Bawaslu Kendari dan Bawaslu Sulsel di masa mendatang, ada dua kasus serupa nyatanya diperlakukan berbeda.
SYL sebagai calon anggota DPR RI melibatkan 15 camat sekota Makassar mendukung Jokowi-Ma’ruf, laporan atas 15 camat diteruskan ke KASN, namun SYL dinyatakan tidak melakukan pelanggaran UU Pemilu. Sedangkan Sulkhoni dan Riki yang nyata-nyata tidak sedang berkampanye, juga tidak mengikutsertakan camat berkampanye, tapi malah dinyatakan; diduga sebagai pelaku tindak pidana pemilu oleh Sentra Gakumdu Kota Kendari.
Akankah kasus Sulkhoni dan Riki diteruskan ke tingkat penuntutan oleh penyidik kepolisian, lalu Pengadilan Negeri Kendari menyatakannya sebagai orang bersalah? Jawabannya, penegakan hukum kepemiluan harus dijauhkan dari segala anasir dan kepentingan politik yang membuntutinya. Politiae Legius Non Leges Politii Adoptandae – Politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. (**)