Oleh : La Ode Muhram Naadu
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Tenggara)
Bara semangat penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) patut diapresiasi. Tak gentar, meski kelemahan bin hambatan begitu mengitari. Fokus pada kekuatan dan kesempatan. Dalam kondisi Kebiasaan Baru, pernak-pernik produk hukum yang teknis dibuat. Digadang-gadang menyesuaikan- antisipatif.
Akibat Pandemi Covid-19, penyesuaian jadwal yang tertunda selama 3 bulan, diyuridiskan dengan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada diresmikan pada Jumat (12/6/2020) – selanjutnya ditulis PKPU 5/2020.
Kemudian, menilik penyesuaian Kebiasaan Baru, pada Selasa (7/7/2020), dikeluarkanlah PKPU 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) – selanjutnya ditulis PKPU 6/2020.
Dalam aspek pengawasan, Bawaslu menerbitkan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) tentang Penyelenggaraan Pengawasan, Penanganan Pelanggaran, dan Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) – selanjutnya ditulis Perbawaslu Covid-19. Draft aturan ini sudah beredar, pada saat tulisan ini diterbitkan, tinggal menunggu pengundangannya saja.
Kampanye di Masa Kebiasaan Baru
Meski terdapat aturan spesifik (Lex specialis) perihal kampanye, namun Ius positum PKPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota notabene tetap berlaku (vide Pasal 98 PKPU 6/2020). Keberlakuannya secara sistematika hukum, berpadu dengan PKPU 6/2020.
Secara khusus pengaturan kampanye pada PKPU 6/2020, terdapat dalam Bab VI tentang Kampanye. Sedang pada Perbawaslu Covid-19 terdapat pada bagian kelima yakni tentang Pengawasan Kampanye.
Dalam idealitasnya, kampanye adalah kegiatan menawarkan visi, misi, program Pasangan Calon dan/atau informasi lainnya, yang bertujuan mengenalkan atau meyakinkan Pemilih. Sebagai Idea of Fit dari hal tersebut adalah Pendidikan Politik.
Pada acuan PKPU 5/2020, beberapa metode kampanye, dihelat pada 26 September – 5 Desember 2020. Sebagaimana penyebaran Covid-19 bervariabel mutlak pada resiko jarak (distancing). Tentu kampanye wajib memberlakukan pengaturan jarak secara fisik (phisycal distancing).
Hal yang krusial terjadi penumpukan masa yakni pada saat dilaksanakannya dengan metode: a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka dan dialog; c. debat publik atau debat terbuka antar-Pasangan Calon. d. Kegiatan lainnya.
Pasal 63 PKPU 6/2020, Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf g, yakni dapat dilaksanakan dalam bentuk: a. rapat umum; b. kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik; c. kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai; d. perlombaan; e. kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah; f. peringatan hari ulang tahun Partai Politik;
Beberapa jenis metode kampanye tersebut adalah resiko besar bagi penyebaran Covid-19. Secara fungsional hukum (PKPU/Perbawaslu) hadir dalam merekayasa sosial (law as a tool of social enginering) agar tidak terjadi bencana diatas bencana. Secara futuristik menakar resikonya dus penanganannya yang testruktur.
Merujuk pada ketentuan PKPU 6/2020 dan Perbawaslu Covid-19, terdapat beberapa problem dalam pengaturan kampanye di masa kebiasaan baru. Dalam tulisan ini, pembatasannya membahas kemungkinan-kemungkinan masalah, yang bisa saja dilihat dari keadaannya pun celah hukum (legal gap). Dengan komparasi kedua aturan tersebut, setidaknya ada beberapa yang dapat diidentifikasi.
Jumlah
Jumlah Tim Kampanye adalah sejumlah orang dalam tim yang dibentuk oleh Pasangan Calon bersama-sama dengan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Secara kuantitas kecenderungannya banyak. Toh, teknis kampanye membutuhkan banyak sumber daya manusia. Sedang dalam kedua regulasi (Perbawaslu Covid-19/PKPU 6/2020) terdapat limitasi kuantitas tersebut.
Bagaimana dengan standarisasi jumlah jika dihadapkan pada ketentuan yang ada? Pengawasan ini dimulai dari koordinasi oleh KPU. Lanjut pada tugas Pengawas Pemilihan. Dalam kewajarannya, jumlah 20 orang adalah sangat tidak mungkin. Dalam prosesnya akan berhadapan dengan euphoria tim, simpatisan dan sebagainya. Jangan sampai kuantitas masa dalam aturan ini hanya formalitas, dispensatif dalam penerapannya.
Dalam perencanannya KPU memang memiliki kewenangan preventif untuk memastikan hal tersebut. Bahkan memiliki hak untuk memberikan teguran. Namun secara fungsional Pengawas Pemilihan berkewenangan memastikan kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dan dialog dilaksanakan dalam ruangan atau gedung tertutup dengan peserta kampanye paling banyak 20 (dua puluh) orang (vide Pasal 29 ayat 2 huruf b Perbawaslu Covid-19).
Hal tersebut tidak seberapa, mengingat terdapat kampanye jenis kegiatan lain, yang dimaksud Pasal 63 PKPU 6/2020 yakni kegiatan rapat umum, kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik, kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai, perlombaan, kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah dan peringatan hari ulang tahun Partai Politik.
Dari semua jenis kegiatan terebut, apakah dapat berkemungkinan terlimitasi secara kuantitas – 20 orang? Selayaknya, jenis kegiatan tersebut ditiadakan saja jika terdapat pembatasan jumlah 20 orang. Secara formil aturan dipijak atas Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid). Artinya, dibuat dengan kemungkinan efektifitas penerapannya.
Jangan sampai hal sebegini dianggap kondisional di lapangan. Tidak sepenuhnya masalah dapat terselesaikan dalam tataran implementasi aturannya. Dibutuhkan aturan yang antisipatif sebagai pijakannya. Sekali lagi pengetatan protokoler adalah wajib.
Izin Kampanye
Pasal 63 ayat 2 PKPU 6/2020 mencantumkan bahwa kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19, dan berkoordinasi dengan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dan/atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 setempat.
Sifat koordinasi dalam norma tersebut, intrepretasi restriktif – gramatikalnya adalah secara kumulatif dan alternatif mempersyaratkan adanya Izin/ Rekomendasi pada Ketua Gugus Tugas. Notabene, Surat Edaran Mendagri nomor 440 tertanggal 29 maret 2020 bahwa ketua gugus tugas di daerah adalah kepala daerah masing-masing. Norma ini tentu berdampak pada potensi konflik kepentingan (conflict of interesting).
Tak bisa ditampik Ketua Gugus Tugas adalah petahana dan sebagian juga memiliki kepentingan agar kelompok atau keluarga mereka menang dalam Pilkada. Masalah akan muncul, jika Ketua Gugus Tugas mempolitisir perizinan kampanye, dengan tidak memberikan izin/rekomendasi pada lawan politiknya.
Setidaknya, prosedur koordinasi dalam norma tersebut harus ditakar kembali. Fungsi koordinasi harus ditekankan pada pengawalan dalam proses kampanye – kegiatan lainnya, bukan izin atau rekomendasi dari Ketua Gugus Tugas. Setidaknya pula mempersyaratkan pada dokumen atau hal lain yang menyatakan status zonasi penyebaran Covid-19.
Standar Penanganan
Setiap Penyelenggara Pemilihan, Pasangan Calon, Tim Kampanye, Penghubung Pasangan Calon, serta para pihak yang terlibat dalam Pemilihan Serentak Lanjutan wajib melaksanakan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19.
Dalam Pasal 7 PKPU 6/2020, diatur bahwa kegiatan yang bersifat mengumpulkan orang dalam jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b dilakukan dengan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19.
Secara Expressive verbis teknis protokoler diurai dalam norma ini. Sedang dalam perkembangannya terdapat jenis pembatasan lain yang berkembang sesuai dengan rekomendasi otoritas. Misalnya, dari World Health Organization (WHO) mewajibkan perlu adanya pembatasan pertemuan dalam ruangan berpendingin udara/AC (air conditioning). Secara ilmiah, terbukti bahwa Covid-19 bisa menyebar melalui partikel kecil yang diproduksi ketika berbicara atau bernapas.
Perkembangan rekomendasi otoritas ini tentu membutuhkan basis pijakan norma. Apakah ada norma baru yang mencantum langsung, ataukah memberi ruang pada norma baru yang memiliki fleksibiltas untuk memuat materi ini ataukah dengan aturan teknis yang bisa menyesuaikan.
Pembubaran Kampanye
Pada Pasal 32 Perbawaslu Covid-19, Pengawas Pemilihan dapat melakukan pencegahan dalam bentuk pembubaran terhadap kegiatan kampanye yang dilarang setelah berkoordinasi dengan pihak yang berwenang mengeluarkan rekomendasi kegiatan yang sifatnya melibatkan kerumunan atau orang banyak.
Jika dikaitkan dengan Pasal 63 ayat 2, pada frasa “berkoordinasi dengan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dan/atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 setempat”, ini akan memiliki celah pula sebagaimana izin/rekomendasi kampanye yang telah dibahas diatas.
Terlebih dalam norma tersebut tidak terurai secara jelas instansi/lembaganya. Bisajadi akan ada perbedaan kebijakan. Atau bisa saja proses dikeluarannya rekomendasi tersebut memiliki resitsensi alur admnistratif yang tidak bisa menyesuaikan secara situasional. Misalnya saja, akan terjadi penumpukan masa dalam kampanye pada hari-H, bagaimana Pengawas Pemilihan menjalankan fungsi pengawasan protokoler Covid-19, sedang rekomendasi kegiatan untuk melarangnya terlalu lama dibuat dengan njelimetnya administrasi birokrasi.
Seyogyanya Tim Gugus Tugas Covid-19/Instansi terkait dilibatkan dalam proses pengawalan bersama. Sembari menggunakan alat kerja berupa standar untuk menentukan apakah sebuah kampanye dapat diizinkan atau tidak. Standar berupa list/syarat akan diadakannya kampanye sebagai dokumen yang diverifikasi langsung saat sebelum dan sepanjang diadakannya kampanye.
Manajemen Resiko Kelembagaan
Memang, dalam beberapa poin, sifat antisipatif norma tersebut dapat diuraiakan. Seperti halnya dalam hal terdapat Pasangan Calon, Penghubung Pasangan Calon, Tim Kampanye, pendukung Pasangan Calon dan pihak terkait lainnya yang sedang menjalani Rawat Inap, Isolasi Mandiri dan/atau positif terinfeksi Covid-19, wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 91 ayat 7 PKPU 6/2020). Namun, langkah ini belum menyentuh jenis resiko yang lebih fatal.
Pengambilan keputusan yang dimaksud tidaklah mencapai level resiko terburuk. Bagaimana jika kondisi penularan terhadap petugas tak bisa dihindari? Misalnya jika dalam satu daerah, lebih dari 2/3 anggota KPUD/Bawaslu terpapar. Ada banyak aspek keputusan kolektif-kolegial yang tidak bisa diambil.
Dalam kondisi tersebut, siapa yang memiliki kewenangan? Bagaimana pengalihan kewenangannya? Bagaimana jika terdapat banyak petugas kantor sekretariat ikut terpapar? Apakah serta-merta pengurusan adminitrasi dapat dialihkan? Tentu tidak se-sembrono itu. Hal ini perlu perluasan wewenang dalam keadaan tertentu. Dan notabene, baik dalam PKPU 6/2020 dan Perbawaslu Covid-19 proses manajemen resiko kelembagaan tidak terurai dengan baik.
Corak hukum administratif selayaknya memberikan ruang-ruang yang jelas dan tidak ambigu. Apalagi dengan aturan se-teknis Perbawaslu dan PKPU ini. Sifat mitigasinya agak kurang. Belum sampai pada level terburuk.
Penutup
Baik Perbawaslu Covid-19 maupun PKPU 6/2020, dengan sifat teknis yang dimilikinya selayaknya mampu menjangkau secara substansial dari celah hukum yang kemungkinan akan terjadi dilapangan. Struktur kedua peraturan ini seyogyanya tidak menggeneralisir seluruh teknis penyelenggaraan/pengawasan dalam menerapkan protokoler Covid-19 pada satu aturan.
Bahwa bisa saja dimunculkan tiap-tiap aturan teknis. Sebagaimana PKPU tahapan di masa Pandemi Covid-19. Misalnya, PKPU Kampanye khusus di masa Kebiasaan Baru atau Perbawaslu Pengawasan Kampanye di masa Kebiasaan Baru. Hal itu lebih tersistematisasi, patuh pada asas terminologi dan sistematika yang benar (Het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek). Secara muatan norma, jangkauan teknisnya lebih memungkinkan. Memudahkan pemahaman untuk dapat diterapkan.
Pada muaranya celah-celah hukum tersebut membawa kita pada perenungan. Bahwa visi hukum kepemiluan bukan hanya menggema dalam rangka menyukseskan kehidupan berdemokrasi. Jauh diatas itu ada keselamatan warga negara – stabilitas negara yang tak boleh ditawar oleh satu mahluk pun di negeri ini. Itulah yang selalu kita jagai bersama. Seperti kata Cicero, Salus populi suprema lex esto – keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. (**)