Oleh: La Ode Muhram Naadu
(Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari)
Polemik keabsahan APBD Wakatobi mencuatkan kesimpangsiuran hukum. Pekan lalu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara meminta kepada Pemerintah Kabupaten Wakatobi untuk memperbaiki dokumen administrasi Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD). Sebagaimana dilansir dari media daring, bahwa hal yang disoal adalah penandatangan dokumen tersebut dilakukan oleh Pimpinan DPRD Wakatobi yang resmi mengundurkan diri dari partai politik yang diwakilinya sebelumnya dan mencalokan diri dari partai lain pada Pemilu 2019 ini, yakni Muhammad Ali (MA).
Tim Evaluasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) meminta pembenahan administrasi dokumennya agar pengesahan dokumen RAPBD tersebut ditandatangani oleh Pimpinan DPRD yang lain. Hal ini menilik pada Surat Edaran Kemendagri Nomor 160/6324/OTDA, yang mengarahkan bahwa sejak penetapan Daftar Calon Tetap (DCT), anggota DPRD yang mencalon dengan pindah partai tidak lagi memiliki status, hak dan kewenangan.
Pemberhentian
Ius Positum telah mengatur bahwa anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota diberhentikan antar-waktu jika menjadi anggota partai politik lain. Secara expressive verbis normanya dijelaskan pada Pasal 139 ayat (2) huruf I dan Pasal 193 ayat (2) huruf I UU Nomor 23 Tahun 2014 serta Pasal 99 ayat (3) huruf I PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.
Lebih lanjut secara prosedural, bahwa proses pemberhentian anggota DPRD harus dilakukan sesuai prosedur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 194 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. In casu pemberhentian MA adalah mengundurkan diri sebagaimana dimaksud Pasal 193 ayat 1 huruf b. Ia adalah seorang Calon Legislatif yang mengundurkan diri dari partai yang diwakili sebelumnya dan mencalon pada Partai lain. Proses pengajuan pengunduran diri sesuai Pasal 194 UU 23 Tahun 2014 dimulai dari pengajuan partai politik, kemudian melewatlibatkan stakeholder yakni pimpinan DPRD, Bupati, dan hingga Gubernur yang mewakili pemerintah pusat. Prosedural tersebut dipandang sebagai kesatuan proses pengunduran diri, dengan ukuran produk hukum berupa peresmian pemberhentian dari gubernur mewakili pemerintah pusat.
Menilik perihal kewenangan antar subjek di prosedur pemberhentian, berdasarkan Pasal 194 UU Nomor 23 Tahun 2014 kewenangan bagi anggota DPRD dalam konteks proses pemberhentian sebagai anggota DPRD adalah hanya mengajukan pengunduran diri baik kepada partai politik yang diwakilinya maupun kepada pimpinan DPRD.
Jika anggota DPRD menyampaikan surat pengunduran diri langsung kepada partai politik maka tahapan pertama proses pemberhentian yaitu pengusulan pemberhentian oleh partai politik kepada pimpinan DPRD langsung dapat dilakukan. Akan tetapi jika anggota DPRD mengajukan pengunduran diri kepada pimpinan DPRD maka prosedur selanjutnya adalah pimpinan DPRD menyurat kepada partai politik agar partai politik dapat mengusulkan pemberhentian sebagaimana prosedur yang telah ditentukan oleh Pasal 194 UU Nomor 23 Tahun 2014. Perlu digarisbawahi bahwa pimpinan DPRD disini bertindak atas keputusan kolektif kolegial.
Dengan demikian anggota DPRD menyampaikan pengunduran diri kepada partai politik asalnya atau dibolehkan mengundurkan diri kepada pimpinan DPRD dan pimpinan DPRD berkewajiban menyampaikan pengunduran diri tersebut kepada partai asalnya.
Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak usul pemberhentian diatas diterima, pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melalui bupati/wali kota untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
Kemudian, lanjut pada Bupati yang diberikan kewenangan menyampaikan Dokumen pengunduran diri tersebut kepada Gubernur. Dan paling lama 14 (empat belas) Hari sejak usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dari bupati/wali kota diterima Gubernur sudah harus meresmikan pemberhentian Anggota DPRD tersebut.
Pun ini adalah pemberhentian seorang anggota DPRD, namun tetaplah tidak ada ruang kewenangan yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya pasal 194 UU Nomor 23 Tahun 2014 anggota DPRD yang akan mengundurkan diri menyampaikan surat pengunduran dirinya langsung kepada Gubernur. Dari prosedur pengunduran diri tersebut tersibak kewenangan masing-masing subyek. Bahwasanya sejak pengusulan pengunduran diri, masing-masing subjek yakni Anggota DPRD, DPRD, Bupati dan Gubernur memiliki kewenangan masing-masing dalam memproses Surat Pemberhentian dengan jangka waktu tertentu yang harus ditaati.
Faktual
Faktualnya, pengunduran diri MA notabene sedang diproses. Belum ada peresmian pengunduran diri MA dari Gubernur Sulawesi Tenggara. Artinya secara prosedural pengunduran diri tersebut belum sempurna terlaksana. Belum ada produk yang menjadi standarisasi mengesahkan pemberhentian aquo. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa MA masih berkewenangan dalam mengesahkan dokumen RAPBD.
MA tidak cacat wewenang untuk pengesahan dokumen RAPBD. Sebab pemberhentian dirinya masih diproses. Terkecuali sudah ada keresmian pemberhentian dari Gubernur yang mewakili pemerintah pusat. Sebab ukuran untuk menyatakan bahwa anggota DPRD sudah berhenti itu adalah Surat Pemberhentian dari Gubernur dalam hal ini mewakili pemerintah pusat, dengan melewati prosedural sebagaimana dimaksud Pasal 194 UU Nomor 23 Tahun 2014. Jika sudah ada keresmian pemberhentian dari Gubernur, maka sudah tepat jika dipersoalkan perihal kewenangan pengesahan dokumen RAPBD tersebut.
Jika dicermati lebih lanjut, terdapat sisi misteri yang tersibak dari penyoalan keabsahan dokumen RAPBD aquo. Sebab, sejauh mana proses pemberhentian MA tentu saja sudah diketahui oleh Pemerintah Provinsi. Sebab tembusan surat pemberhentian tersebut sejak diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota sudah ditembuskan kepada gubernur. Hal ini menilik prosedural di Pasal 194 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2014. Terlebih limitasi yang ada di Pasal 194 ayat 4 benderang mengarahkan bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat meresmikan pemberhentian paling lama 14 (empat belas) Hari sejak usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dari bupati/wali kota diterima.
Surat Edaran
Memang, Surat Edaran Kemendagri Nomor 160/6324/OTDA, mengarahkan bahwa sejak penetapan Daftar Calon Tetap (DCT), anggota DPRD yang mencalon dengan pindah partai tidak lagi memiliki status, hak dan kewenangan. Di poin 4 (empat) surat bertanggal 3 Agustus 2018 tersebut expressive verbis membenderangkan. Notabene ada sifat regeling disana. Disinilah sisi pseudo wetgeving – kesemuan peraturan. Terhadap diskursus ini, ada dua hal yang harus dicermati.
Pertama; secara khusus, bahwasanya sifat regeling di poin 4 (empat) Surat Edaran Kemendagri Nomor 160/6324/OTDA tersebut adalah petunjuk, yang dimaknai secara aksiologis agar melaksanakan ketentuan pemberhentian anggota DPRD sesegera mungkin, sesuai Pasal 194 UU Nomor 23 Tahun 2014.
Frasa “sejak penetapan Daftar Calon Tetap (DCT), anggota DPRD yang mencalon dengan pindah partai tidak lagi memiliki status, hak dan kewenangan” adalah penekanan bahwa sejak pengajuan penguduran dirinya, proses meresmikannya tidak boleh dihambat atau disegerakan dengan limitasi waktu 14 hari berdasar Pasal 194 UU 23 Tahun 2014. Hal ini untuk menghindari keadaan dimana terjadi kekosongan subjek hukum-jabatan di DPRD, juga menghindari kelambanan proses pengisian jabatan di DPRD.
Kedua; secara umum, kedudukan Surat Edaran dalam tata hukum adalah petunjuk-penjelas dari norma. Dalam hal ini Surat Edaran Kemendagri Nomor 160/6324/OTDA adalah petunjuk untuk melaksanakan pemberhentian Caleg yang maju di Pemilu 2019 dari Partai yang berbeda yang diwakilinya sebelumnya. Dalam poin per poinnya menjelaskan apa dan bagaimana seharusnya pemberhentian itu dilaksanakan.
Lebih jauh menilik dalam keberlakuan (gelding) norma, bahwasanya Surat Edaran tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan. Jangan sampai ada duga-sangka yang menyandarkan bahwa Surat Edaran adalah aturan selayaknya yang harus dijalankan sebagaimana peraturan perundang-undangan berdasar Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Disisi lain, bahwa Surat Edaran pada dasarnya aturan ekslusif, dengan materilnya yang mengikat kedalam. Bukan ke luar. Surat Edaran Kemendagri Nomor 160/6324/OTDA tentu saja adalah petunjuk-penjelas untuk dilaksanakan secara hirarki ke bawah. Untuk menghindari kesalahan tafsiran dan sifat pseudo wetgeving dari Surat Edaran, diperlukan pemaknaan yang teliti, saksama dan komprehensif dari sudut keilmuan yang kompeten.
Konklusi
Secara konklusi dari pembahasan diatas, polemik ini pada dasarnya menyoal kewenangan pengesahan dokumen RAPBD oleh anggota DPRD yang mengunudurkan diri namun pengunduran dirinya masih dalam proses atau belum sempurna pemberhentiannya. Olehnya itu diperlukan pemahaman yang utuh perihal prosedur pemberhentian dan bagaimana menjalankan suatu surat edaran.
Secara kewenangan, MA masih berkewenangan mengesahkan dokumen RAPBD. Sebab sebagai standarisasi pemberhentiannya berupa keresmian surat pengunduran diri dari Gubernur belum diterbitkan. Status keanggotaannya sebagai anggota DPRD masih sah pun ia sudah termaksud dalam DCT yang berdasar Surat Edaran Kemendagri Nomor 160/6324/OTDA sudah tidak memiliki status, hak dan kewenangan. Sebab Surat Edaran Kemendagri aquo bukanlah produk hukum pembatalan yang bisa menggugurkan keanggotaan MA sebagai anggota DPRD. Tidak ada ukuran yang membuktikan bahwa pengunduran diri MA sudah sempurna selain Surat Pemberentian dari Gubernur yang mewakili Pemerintah Pusat.
Ada “something fishy” dibalik tirai penyoalan keabsahan MA. Notabene pemberhentian tersebut belum juga diresmikan oleh Gubernur dalam hal ini Pemerintah Provinsi, dan kemudian atas keterlambatan yang berkonsekuensi pada belum sahnya pemberhentian MA lantas menyoal keabsahan pengesahan dokumen RAPBD Kabupaten Wakatobi.
Pemerintah Provinsi Sultra selayaknya mengoptimalkan koordinasi administratifnya agar tidak ada kesimpangsiuran hukum administrasi disana. Kemudian, seyogyanya memproses pengunduran diri sesuai Pasal 194 UU 23 Tahun 2014 terlebih dahulu dengan menaati limitasi 14 hari sesuai dengan ketentuan Pasal 194 ayat 4 UU 23 Tahun 2014. Jika langkah tersebut sudah diambil, maka benarlah disoal keabsahan MA dalam pengesahan dokumen RAPBD Kabupaten Wakatobi. (**)