Panjikendari.com – Dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat terkait dengan tumbuh kembang anak sejak dini, pemerintah Kota Kendari melakukan kegiatan Sosialisasi Program Penanganan dan Pencegahan Stunting, di Kelurahan Tobimeita, Kecamatan Nambo, Kamis, 24 November 2022.
Kegiatan ini dibuka oleh Penjabat (Pj) Wali Kota Kendari, Asmawa Tosepu. Dihadiri oleh UPTD Puskesmas Nambo, UPTD KB Kecaamatan Nambo, Dinas Kesehatan, dan unsur aparatur pemerintahan kelurahan, serta tokoh masyarakat.
Kegiatan sosialisasi ini diharapkan agar masyarakat dapat mengetahui tentang penyakit stunting dan cara pencegahan dan penanganannya. “Kondisi stunting yang sekarang sedang menjadi isu nasional, menjadi pusat perhatian semua pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota daerah hingga ke kelurahan,” kata Penjabat Wali Kota Kendari, Asmawa Tosepu, dalam sepatah katanya.
Menurutnya, persoalan stunting di Kota Kendari relatif bisa dikendalikan dan diturunkan karena sumber protein nabati untuk terhindar atau menurunkan angka stunting itu tersedia di sekitar kita.
Hanya saja, sesuai data yang diperolehnya, angka stunting yang paling tinggi di Kota Kendari ada di Kelurahan Tobimeita kurang lebih 36,21%.
“Ini menjadi catatan penting bagi kami semua untuk melakukan upaya penurunan angka stunting, harus ada terobosan dan langkah-langkah yang berbeda dari kecamatan-kecamatan yang lain,” tambahnya.
Pj Wali Kota Kendari juga berharap penuruan angka stunting di Kelurahan Tobimeita bisa menurun setelah adanya sosialisasi ini.
Tentunya, ia berharap, masyarakat atau keluarga yang memiliki Balita untuk dapat memberikan asupan gizi yang cukup dalam memenuhi kebutuhan gizi anak, agar angka stunting dapat ditekan seminimal mungkin sehingga terwujud sumber daya manusia yang sehat dan unggul.
Mengenal Stunting
Sebagian besar masyarakat mungkin belum memahami istilah yang disebut stunting. Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.
Kondisi tubuh anak yang pendek seringkali dikatakan sebagai faktor keturunan (genetik) dari kedua orang tuanya, sehingga masyarakat banyak yang hanya menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
Padahal seperti kita ketahui, genetika merupakan faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan faktor perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, stunting merupakan masalah yang sebenarnya bisa dicegah.
Salah satu fokus pemerintah saat ini adalah pencegahan stunting. Upaya ini bertujuan agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan maksimal, dengan disertai kemampuan emosional, sosial, dan fisik yang siap untuk belajar, serta mampu berinovasi dan berkompetisi di tingkat global.
Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan stunting, yaitu perbaikan terhadap pola makan, pola asuh, serta perbaikan sanitasi dan akses air bersih.
Kesehatan berada di hilir. Seringkali masalah-masalah non kesehatan menjadi akar dari masalah stunting, baik itu masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, kemiskinan, kurangnya pemberdayaan perempuan, serta masalah degradasi lingkungan. Karena itu, kesehatan membutuhkan peran semua sektor dan tatanan masyarakat.
1) Pola Makan
Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan dari segi jumlah dan kualitas gizi, serta seringkali tidak beragam.
Istilah “Isi Piringku” dengan gizi seimbang perlu diperkenalkan dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, memperbanyak sumber protein sangat dianjurkan, di samping tetap membiasakan mengonsumsi buah dan sayur.
Dalam satu porsi makan, setengah piring diisi oleh sayur dan buah, setengahnya lagi diisi dengan sumber protein (baik nabati maupun hewani) dengan proporsi lebih banyak daripada karbohidrat.
2) Pola Asuh
Stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada pola asuh yang kurang baik dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan Balita.
Dimulai dari edukasi tentang kesehatab reproduksi dan gizi bagi remaja sebagai cikal bakal keluarga, hingga para calon ibu memahami pentingnya memenuhi kebutuhan gizi saat hamil dan stimulasi bagi janin, serta memeriksakan kandungan empat kali selama kehamilan.
Bersalin di fasilitas kesehatan, lakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dan berupayalah agar bayi mendapat colostrum air susu ibu (ASI). Berikan hanya ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan.
Setelah itu, ASI boleh dilanjutkan sampai usia 2 tahun, namun berikan juga makanan pendamping ASI. Jangan lupa pantau tumbuh kembangnya dengan membawa buah hati ke Posyandu setiap bulan.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah berikanlah hak anak mendapatkan kekebalan dari penyakit berbahaya melalui imunisasi yang telah dijamin ketersediaan dan keamanannya oleh pemerintah. Masyarakat bisa memanfaatkannya dengan tanpa biaya di Posyandu atau Puskesmas.
3) Sanitasi dan Akses Air Bersih
Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih, mendekatkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi. Untuk itu, perlu membiasakan cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.
Pola asuh dan status gizi sangat dipengaruhi oleh pemahaman orang tua (seorang ibu) maka, dalam mengatur kesehatan dan gizi di keluarganya. Karena itu, edukasi diperlukan agar dapat mengubah perilaku yang bisa mengarahkan pada peningkatan kesehatan gizi atau ibu dan anaknya. (adv)