Memasuki fase akhir masa tenang pilkada ini, ayah saya didatangi oleh oknum yang mengklaim diri orang yang diutus untuk melakukan pendataan penerima bedah rumah program Kementerian PUPR, dengan pesan terakhir bahwa hanya dengan memilih paslon tertentu maka program tersebut dapat diterima.
Oh ya, mungkin ada hubungannya dengan pernyataan dari papak Ridwan Bae, jauh sebelum itu melalui media online yang saya baca (beritakota.com, 3 November 2020) bahwa di tahun 2021 nanti kuota program BSPS yang akan dialokasikan ke wilayah Sultra sebanyak 3.000 unit (2.000 unit untuk alokasi Muna dan 1.000 lainnya akan tersebar ke seluruh wilayah lainnya di Sultra).
Tapi tunggu dulu, mari kita berhitung. Jika total alokasi seperti yang disampaikan oleh wakil rakyat itu benar adanya, maka paling tidak begini perhitungannya; total alokasi BSPS adalah 2.000 unit rumah. Jumlah desa di Kabupaten Muna mencapai 125 desa. Jumlah kelurahan di Kabupaten Muna mencapai 26 kelurahan.
Maka hasil kalkulasinya jika bantuan program BSPS Kementerian PUPR akan didistribusi normal adalah 2.000 : 151 = 8 (pembulatan)
Sehingga jika oknum tersebut telah mendatangi ayah saya untuk menerima bantuan program tersebut, maka sisa kuota yang tersisa di Kelurahan Wali adalah 7 unit rumah.
Pertanyaan realistisnya adalah: 1). Sudah berapa jumlah KTP yang dikumpulkan datanya oleh oknum tersebut? Jika lebih dari 8 KTP maka siapa yang akan didahulukan? Tentu pendukung politik beliau, seperti apa pengaturannya? Di saat banyak orang notabene pendukung paslon tersebut yang keadaannya bahkan lebih membutuhkan?
2. Mengapa pendataan tersebut dilakukan di bulan Desember ini? Saat semua calon penerima bantuan dan besaran alokasi telah disepakati/selesai pembahasannya dengan Komisi V DPR RI (sumber: Live Facebook RDPU Komisi V DPR RI, 09 September 2020).
3. Mengapa program ini yang anggarannya bersumber dari APBN menjadi klaim paslon tertentu? Tolong penjelasannya bagi yang mengerti hal tersebut.
Lalu, bagi saya, Pilkada kali ini adalah momentum untuk membuat semua hal terang-benderang. Kebenaran harus diungkapkan dengan tanpa tendensi.
Kasian ayah dan keluarga saya, juga ribuan keluarga lainnya yang kurang mampu ini terus menjadi objek pembodohan oleh kalian para oknum kacung politisi kotor tanpa nurani.
Juga pada kepada seluruh masyarakat yang bernasib sama, janganlah terbuai dengan omong-kosong tersebut. Beranilah bersikap. Karena nasib itu harus diperjuangkan sendiri dengan keringat dan darah. Tentu bukan dari para keparat itu rezeki bersumber.
Hentikan kebohongan publik,
politik gau-gau, timses tipu-tipu. Cukup sudah. Biarkan kami memilih pemimpin dengan cara kami yakini sendiri.
Kisah itu adalah peristiwa nyata keluarga dari kami sendiri, yang kami alami langsung.
Nama saya Larmi Hamsa,
tinggal di Kelurahan Wali,
orang yang tinggal di rumah panggung reot itu. (**)