Indonesia telah merdeka selama hampir 75 tahun lamanya, namun nyatanya negara ini masih membutuhkan sosok-sosok pahlawan. Bukan pahlawan dengan bambu runcing dan strategi peperangan, tetapi pahlawan yang siap menopang kejayaan dan menjadi tulanng punggung negara ini. Pertanyaannya adalah siapkah kita menjadi sosok-sosok pahlawan tersebut?
Berdasarkan Outlook APBN 2019, belanja negara berada pada angka 2.341,6 triliun rupiah sedangkan pendapatan negara yaitu 2.030,5 triliun rupiah . Dari angka tersebut sebesar 1.643,1 triliun rupiah merupakan penerimaan perpajakan. Jika disajikan dalam bentuk persentase maka diketahui bahwa 80,92 persen pendapatan negara bersumber dari penerimaan perpajakan. Ini artinya sebagian besar pendapatan negara ditopang oleh pajak yang masyarakat bayarkan baik itu dalam bentuk PPh, PPN, PPnBM maupun bentuk lainnya.
Fakta yang mengejutkan adalah sampai saat ini masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa dirinya tak cukup layak untuk membayar pajak. Masyarakat merasa bahwa negara ini masih sangat mampu dalam membiayai dirinya sendiri sehingga muncul bias bahwa posisi finansial mereka belum dapat dikatakan layak untuk “membantu” perekonomian negara yang terlihat jelas masih baik-baik saja tanpa penerimaan pajak dari mereka. Tentu akan sangat menyedihkan mengetahui bahwa kita sebagai masyarakat yang sebenarnya mampu namun mengira tidak mampu menjadi tulang punggung negara sendiri padahal kenyataannya justru pengaruh masyarakat terhadap pendapatan negara melalui pajak sangat besar yakni mencapai 80,92 persen untuk tahun 2019. Namun, apakah hal ini menjadi masalah terbesar dari penerimaan perpajakan?
Masalah terbesar ternyata bukan pada fakta bahwa banyak masyarakat mengira dirinya tak mampu dalam membayar pajak, namun justru masyarakat kurang menyadari manfaaat dari pajak itu sendiri. Sebagai contoh sederhana, anggaplah dalam sudut pandang penulis sendiri sebagai seorang mahasiswa dengan uang saku yang diterima dari orang tua dan ditabung satu taun lamanya maka penulis mampu membeli barang yang tergolong mewah dari luar negeri secara legal dan dikenakan PPN, PPnBM serta bea masuk di dalamnya. Namun penulis berpikir jika membeli barang tersebut dan membayar pajak, penulis tak mendapatkan manfaat apapun dari pajak yang penulis bayarkan, serta tanpa membeli produk tersebut secara legal pun penulis merasa tidak kehilangan manfaat apapun dari yang saat ini telah penulis rasakan. Dalam pemisalan ini tentu penulis sebagai seorang mahasiswa awam akan memilih untuk membeli produk yang sama dari penjual ilegal sehingga tak dikenakan PPN, PPnBM dan bea masuk. Pola pikir seperti ini telah tertanam sejak lama di kalangan masyarakat sehingga pada akhirnya berdampak pada rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Lantas bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi hal ini?
Pemerintah telah melakukan banyak upaya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Upaya – upaya tersebut diantaranya dengan memberlakukan kebijakan tax amnesty serta insentif pajak lainnya. Tax amnesty merupakan bentuk keringanan perpajakan bagi wajib pajak yang atas inisiatif sendiri bersedia untuk mengungkapkan kekayaannya. Melalui kebijakan ini maka wajib pajak tidak harus membayar denda dan tunggakan perpajakan seperti yang seharusnya, namun hanya perlu membayar dengan jumlah tertentu yang lebih rendah dan lebih menguntungkan wajib pajak itu sendiri. Contoh insentif pajak lainnya yaitu tax holiday dan tax allowance. Berdasarkan situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dikatakan bahwa kebijakan tax holiday yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia adalah berupa pengurangan hingga penghapusan PPh badan dalam waktu tertentu bagi investor yang menanamkan modalnya dalam jumlah tertentu pada industri pionir. Sedangkan tax allowance merupakan kebijakan pemerintah berupa pemberian fasilitas PPh bagi investor yang menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu.
Kebijakan perpajakan ini, bersamaan dengan insentif pajak lainnya terbukti mampu meningkatkan penerimaan perpajakan Indonesia. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), realisasi penerimaan pajak di Indonesia pada tahun 2018 adalah sekitar 1518,8 triliun rupiah. Sedangkan dalam Nota Keuangan 2020 dkatakan bahwa penerimaan perpajakan dalam periode 2015 – 2019 dilihat dari pertumbuhannya mengalami rata-rata sebesar 7,3 persen per tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2018 sebesar 13,0 persen dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
Namun peningkatan penerimaan perpajakan ini dinilai belum cukup memuaskan, terbukti melalui data rendahnya tax ratio Indonesia. Tax ratio merupakan perbandingan antara penerimaan perpajakan dengan produk domestik bruto (PDB) suatu negara. Rendahnya tax ratio mengisyaratkan pendapatan masyarakat yang tinggi namun penerimaan perpajakan rendah, atau bisa dikatakan masyarakat sejahtera namun kesadaran pajaknya masih rendah. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia merupakan negara dengan tax ratio yang cukup rendah. Menurut data The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2017 Indonesia memiliki tax ratio yang lebih rendah dibandingkan negara lain yaitu 11,5 persen sedangkan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand berturut-turut yaitu sebesar 13,6 persen, 14,1 persen dan 17,6 persen. Di sisi lain Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkapkan bahwa tax ratio Indonesia pada tahun 2018 adalah sebesar 11,5 persen dan pada tahun 2019 turun menjadi sebesar 10,7 persen.
Negeri ini masih membutuhkan pertolongan penerimaan dari masyarakat melalui pajak. Perekonomian Indonesia berkembang dengan baik jika dilihat dari perkembangan PDB yang terus meningkat, namun tidak dengan penerimaan perpajakannya. Segala usaha meningkatkan penerimaan perpajakan ini tentu tak hanya dibebankan pada golongan masyarakat tertentu saja melainkan merupakan ikhtiar bersama melalui gotong royong dan bahu membahu antarmasyarakat. Hal ini sangat penting untuk ditanamkan di masyarakat guna meningkatkan kepatuhan dalam membayar pajak.
Kita adalah pahlawan harapan negara ini, pahlawan tulang punggung Indonesia kedepannya. Pemerintah memiliki bayak program dan kegiatan yang harus dilaksanakan dan membutuhkan pendanaan yang sumber terbesarnya adalah dari penerimaan perpajakan. Jika penerimaan perpajakan turun, sementara belanja adalah tetap maka satu-satunya cara memenuhi belanja adalah Indonesia terpaksa harus meningkatkan pembiayaan melalui pengajuan pinjaman maupun penerbitan surat utang. Pembiayaan yang tinggi dan terus menerus ibarat bom waktu yang cepat atau lambat harus dilunasi dan pada akhirnya membebani generasi yang akan datang.
Belanja negara merupakan komitmen pemerintah kepada masyarakat, sementara pendapatan negara merupakan target yang diharapkan tercapai namun bisa saja tidak terpenuhi. Berbagai kebijakan telah dihadirkan mulai dari tax amnesty, tax holiday, tax allowance dan insentif pajak lainnya. Semua kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan. Namun pada akhirnya eksekusi di lapangan bergantung pada respon masyarakat yaitu bagaimana cara masyarakat memaknai pajak itu sendiri, apakah hanya sekadar iuran yang memberatkan atau justru bentuk kontribusi dan rasa tanggung jawab masyarakat sebagai pahlawan tulang punggung Indonesia. Sekarang mari kita kembali ke pertanyaan awal, siapkah kita menjadi sosok-sosok pahlawan tulang punggung Indonesia?