Oleh: Zulkarnain
(Mahasiswa STAN)
Dampak wabah COVID-19 sangat berpengaruh terhadap hampir di semua sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Pemerintah telah berupaya untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 dengan menerbitkan beberapa peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat. Pemerintah juga telah melarang aktivitas sosial yang berhubungan dengan banyak orang dan ditunda sementara waktu, ekonomi juga mulai melemah, tempat pariwisata telah ditutup, pusat perbelanjaan sepi dan banyak yang telah tutup. Lalu sektor informal yang penghasilannya harian seperti Ojol, Supir, pedagang kaki lima, pedagang keliling, UMKM dan kuli kasar penghasilannya sangat menurun sekali dan banyak dari mereka yang menganggur.
Pemerintah melalui Presiden Jokowi telah merespon cepat dengan mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang saat ini telah ditetapkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 dengan pertimbangan penyebaran COVID-19 yang dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi yang mengakibatkan banyak korban jiwa, menimbulkan kerugian material berkaitan pada aspek sosial,ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dan yang terbaru dikeluarkannya PP Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang bertujuan untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha termasuk kelompok UMKM dalam menjalankan usahanya.
Otoritas Jasa Keuanagan (OJK) juga telah merilis POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional yang dikeluarkan sebagai kebijakan Countercylical dampak penyebaran virus Corona. POJK dikeluarkan untuk mengurangi dampak terhadap kinerja kapasitas debitur yang diperkirakan akan menurun selama pandemi COVID-19. Di dalam POJK ini telah disebut relaksasi kredit atau adanya kelonggaran kredit maupun pembiayaan bagi debitur termasuk UMKM dengan nilai dibawah Rp 10 Milliar, baik kredit bank atau perusahaan pembiaayan yang usahanya terdampak melemahnya ekonomi akibat Virus Corona baik secara langsung atau tidak langsung pada sektor ekonomi antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan pertanian, dan pertambangan.
Relaksasi kredit ini berupa penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit/pembiayaan dan konversi kredit/pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara yang berlaku sampai dengan maksimal 1 tahun.
Kebijakan relaksasi kredit di kala Pandemi dapat ditilik dari banyaknya pro dan kontra. Pro-kontra yang pertama datang dari Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) bahwa menurutnya kebijakan stimulus dari OJK sangat berguna untuk meringankan beban bank dan perusahaan pembiayaan sebagai kreditur maupun untuk pengusaha ataupun masyarakat lain sebagai debitur di masa sulit seperti sekarang. Diharapkan melalui relaksasi ini sektor jasa keuangan dan dunia usaha mampu bertahan sambil menunggu tuntasnya tugas pemerintah menghalau wabah Covid-19 secepatnya. Sementara itu, Ketua APPI menyatakan kebijakan ini positif sehingga asosiasi siap membantu merealisasikan. Namun, ia juga berharap agar debitur jujur dengan kondisi yang dihadapinya. Alasannya, program ini hanya berlaku bagi pelaku UMKM dan pekerja informal yang pendapatannya menurun akibat dampak virus corona.
Sama halnya dengan pengamat ekonomi yang juga dosen dari Perbanas Institute berpendapat bahwa Bank tidak dipaksa oleh pemerintah untuk melakukan relaksasi kredit. Jika relaksasi ini dianggap akan merugikan Bank, maka opsi penolakan penerapan relaksasi kredit dapat diberlakukan. Apabila bank tidak melakukan relaksasi, konsekuensinya adalah peningkatan biaya pencadangan akan meningkat yang membuat bank harus rela kehilangan likuiditas karena peningkatan biaya pencadangan tersebut. Akan tetapi, kebijakan relaksasi ini dinilai justru menguntungkan bank meskipun kebijakan relaksasi akan menurunkan cashflow bank, tetapi bank dapat terhindar dari macetnya kredit.
Sebaliknya, menurut pendapat dari komisaris utama BPR yang mengatakan kebijakan relaksasi kredit merupakan bentuk pelimpahan tanggung jawab pemerintah kepada bank. Kebijakan ini dinilai menuntut bank untuk memberikan keringanan tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini memberatkan bagi bank, terutama yang memiliki likuiditas sangat terbatas. Sebaiknya pemerintah memberi stimulus ke perbankan dalam bentuk pinjaman untuk menutupi kewajiban debitur. Besaran pinjaman tersebut harus sesuai dengan relaksasi yang telah diberikan bank ke debitur. Dan agar kebijakan ini adil, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) harus memberikan dukungan kepada Bank. Selain itu, BI juga harus menjadi lender of the last resort agar likuiditas perbankan terjaga, jika satu bank terkena masalah likuiditas, maka bank-bank lain ikut terseret.
Ada pula masalah pada pihak debitur yang prakteknya terjadi pada masyarakat yaitu pertama, debitur yang sudah mengajukan relaksasi ada yang diberikan dengan mudah contohnya yang diberikan oleh Bank Pemerintah itu biasanya mereka dengan sangat mudah memberikan relaksasi kredit. Untuk kredit yang lain seperti ketika mengajukan permohonan relaksasi yang angsurannya semula hampir 100 juta hanya diberikan keringanan untuk tidak membayar selama 3 bulan. Akan tetapi, dia hanya diberikan keringanan relaksasi sebesar 70% dari semua angsurannya berarti disini terdapat space margin/bunga yang pada akhirnya setelah 6 bulan diratakan lagi ditambahkan dengan selisih yang hampir 30% tadi. Hal ini bukanlah sebuah relaksasi tetapi lebih mengacu pada restrukturisasi. Kemudian, kredit yang berdalih relaksasi misalnya seseorang memiliki kredit yang akan lunas dalam 1 tahun akan tetapi karena COVID-19 tidak dapat membayar lagi angsurannya. Dari pihak kreditur ditutuplah kreditnya, lalu diberikan kredit baru yang seharusnya diberikan relaksasi. Kredit yang tadi seharusnya lunas dalam 1 tahun berubah lagi menjadi 3 tahun. Hal inilah yang menjadi bentuk penipuan, terkait dengan alasan kreditur untuk tidak memberikan relaksasi karena kita tidak terdampak COVID-19 atau Positif COVID-19.
Lalu masalah lain dari pihak debitur datang dikarenakan adanya debt collector yang masih menagih pelunasan kredit kepada para debitur, dimana Presiden Jokowi sudah menghimbau kepada Bank/Lembaga Keuangan lain yang menggunakan peran debt collector untuk tidak menagih kredit yang sementara waktu selama pandemi COVID-19 kepada masyarakat yang terdampak langsung usaha maupun pekerjaanya. Pada saat ini OJK juga telah melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap debt collector yang sampai saat ini masih banyak menagih kepada debitur diluar sepengetahuan pihak Bank/Lembaga Keuangan lainnya. (**)