Oleh: La Ode Asnar Subuh
(Penyuluh Pertanian pada Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Muna)
Di Muna, musim panen jagung adalah musim kumpul di kebun nenek. Jumlah nenek-nenek yang diklaim sebagai keluarga dekat oleh sebagian penduduk Kota Raha akan bertambah, manakala musim panen jagung tiba. Tak peduli neneknya siapa nan darimana silsilahnya, yang penting jagungnya dibakar dan dibawa pulang. Betapa dermawannya nenek-nenek tersebut. Tapi, begitulah. Di Muna ini pada dasarnya adalah semua keluarga. Sekali panen, dua-tiga mobil datang. Carpe diem, kata pepatah latin.
Jagung pasca-panen ala keluarga, itulah yang kerap dijadikan makanan, juga dijual ke pasar. Siklus sederhana ini menyiratkan pola yang konsumtif. Jagung hanya sebatas penunda lapar, tak menjangkau tingkatan pemenuhan kebutuhan pasca konsumsi. Padahal untuk mencapai tingkatan kebutuhan produksi sesungguhnya kita punya segalanya. Jangankan soal teknologi dan lahan. Sumber Daya Manusia (SDM)nya notabene pekerja keras nan cerdas naturalis. Betul, ini bukan winto.
Jika masyarakatnya sudah pintar, lantas bagaimana peran pemerintah? Kenapa tak pernah ada kabar baik yang terdengar dari Jagung Muna? Nah, selama ini perhatian pemerintah hanya dititikberatkan pada proses budidayanya, pemenuhan segala sarana produksi berupa bantuan benih kepada petani, pupuk, obat obatan, mesin mesin pertanian (traktor, mesin tanam/corn transplanter, sampai mesin panen/corn combine, serta corn dryer).
Berbagai program sebenarnya sudah menyentuh pelosok desa, yakni salahsatunya BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul). Teranyar, seiring dengan program pemerintah pusat dikucurkanlah program UPSUS PAJALE (Upaya Khusus Peningkatan Produksi Jagung Dan Kedelai), yang target luas tanamnya mencapai 5.000 Ha. Namun, berbagai langkah ini tentunya memerlukan terobosan baru. Agar Jagung tak stagnan pada level konsumsi. Seperti lagu lama yang sering terjadi.
Secara faktual, selayaknya ada optimisme jika melihat data-data yang ada pada Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP). Di musim tanam I (Oktober 2018 – Maret 2019) atau dikenal dengan musim tanam OkMar atau Orang Muna bilang musim tanam timbu, realisasi tanam jagung hybrida kita diangka 2.467 Ha. Sedangkan jagung lokal di angka 4.560 Ha.
Kemudian soal harga jagung. Di musim tanam 1 itu bisa turun sampai 2000/kg, namun sekarang bisa bertahan diangka 3000. Kalau musim tanam II, selama ini turun di angka 4000. Kedepannya tak dapat dipungkiri Tim dari Dinas TPHP bisa mengupayakan 5000/Kg.
Di musim tanam II (April -September 2019) atau musim tanam ASep yang lazim Muna disebut Bara, Petani yang sudah menyatakan kesiapannya untuk menanam jagung hybrida berdasarkan data CPCL (Calon Petani Calon Lokasi) menguat di angka 3.752 Ha atau naik sekitar 60 %.
Sebagai data faktual yang menguatkan, kita bisa menilik pada produktifitas Jagung Hybrida di Muna, yakni di angka 5,7 Ton/Ha. Produktifitas ini masih bisa ditingkatkan sampai di angka 7 Ton/ Ha. Dengan angka ini maka bisa kita bayangkan produksi diseluas lahan yang telah siap untuk musim tanam 1 bisa mencapai 14.061 Ton jagung pipil, dan pada musim tanam II bisa mencapai 21.386 Ton. Betapa melimpahnya jagung di Muna.
Jika melimpah sedemikian, alangkah kufurnya kita jika jagung-jagung itu tak memakmurkan Petani di Muna. Selama ini harga jagung dipasaran lokal begitu rendah. Dihargai meski tak dihargai. Apalagi musim panen tiba. Petani Jagung di Muna hanya tersenyum pada saat keluarganya datang membakar jagung di kebun. Setelahnya mereka bergulat dengan terik matahari-mengolah kebun lanjut diperhadapkan dengan ironi harga jagung yang menyesak dada. Lantas, sampai kapan terus begini?, Dimana masalahnya?
Usut punya usut, masalahnya memang selama ini belum terpecahkan. Berbekal penelusuran-penelitian diberbagai lokasi di Muna, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Kabupaten Muna menemukan bahwa tata kelola niaga adalah intinya.
Jalur tata niaga Jagung terlalu panjang. Sangat memungkinkan tengkulak bermain selama ini. Faktualnya, selama ini dari level Petani, jagung dibeli oleh pengumpul kecil, kemudian ke pengumpul sedang di Kota Raha, lalu dikirim ke Kendari atau Bau-Bau yang kemudian dikirim ke pabrik. Olehnya itu pun jika pada musim tanam II bisa mencapai 21.386 Ton, tak akan ada manfaat lebih pada Petani Jagung kita di Muna.
Win-win solution pun telah disiapkan. Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Kabupaten Muna mencoba satu skenario yang bertujuan untuk memperpendek rantai niaga jagung kuning, yaitu dari petani, pengumpul, dan off taker atau pabrik. Pendeknya jalur otomatis meningkatkan nilai jual. Selain itu off taker/pabrik adalah jawaban atas produksi melimpah. Hal ini dimungkinkan dengan masuknya pelabuhan Raha sebagai salah 1 pelabuhan yang disinggahi kapal logistik tol laut.
Menyambut solusi, telah digagas oleh Dinas Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Kabupaten Muna berupa kerja sama dengan pabrik dan exportir jagung. Sambutan positif didapat dari salah satu perusahan yang berpusat di Surabaya dengan cabang perusahaan di Makassar. Pasca tersebut, bulan Februari lalu di adakan acara temu bisnis jagung kuning yang dihadiri semua stakeholder termaksud pihak pabrik.
Temu bisnis tersebut membawa angin segar bagi petani jagung kita. Diberikannya Slot Supply Unlimited ke pabrik tentu adalah kesempatan yang bermakna dua hal.
Pertama, peluang peningkatan kesejahteraan Petani Muna dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tentu sudah didepan mata. Kedua, tantangannya berat sebab ada tiga syarat mutlak bagi peluang tersebut, yakni kontinuitas, kepastian mutu dan lembaga penjamin(Perusda/Bumdes).
Kepastian kontinuitas bukan tantangan berarti. Namun kepastian mutu, ini yang agak ribet. Notabene pabrik punya persyaratan khusus, yang berupa keseragaman ukuran, kadar air, dan kebersihan. Hal ini butuh pelaku usaha yang bergerak dibidang penanganan pasca panen. Olehnya itu diupayakan lahirnya petani pebisnis, yaitu petani yang dalam kesehariannya berkegiatan melakukan budidaya jagung hybrida, sekaligus menjadi pengumpul jagung dengan membeli jagung ke petani lainya, serta melakukan treathment untuk memperoleh standar mutu pabrik dan menyuplainya ke pabrik.
Sampai saat ini kita hanya punya 1 orang. Pria gagah itu bernama La Ode Umar, salah seorang Petani di Desa Komba Komba, Kecamatan Kabangka. Lahannya 11 Ha yang ditanami jagung. Dia juga menjadi pengumpul jagung. Kepadanya telah diberikan mesin pengering jagung (corn dryer) meski kapasitasnya hanya 6 Ton. Pun tak seberapa, langkah ini mulai menampakan hasil. Pada tanggal 22 Maret 2019 lalu, La Ode Umar melakukan pengiriman perdana jagung lewat tol laut sejumlah 230 Ton.
Mengingat menjawab kepercayaan Slot Supply Unlimited ke pabrik adalah skala usaha yang lebih besar, petani pebisnis ini notabene butuh modal besar. Olehnya itu, bersama kami Dinas terkait, pertanggal 1 kemarin telah melakukan presentasi kerja sama dengan Bank Sultra. Kami berharap-doa agar La Ode Umar/petani pebisnis di Muna mendapat Skim Kredit Modal Kerja dengan perubahan jaminan yang ada berupa kontrak supply dengan pabrik dan kontrak pembelian dengan petani. Alhamdulillah, hal ini disambut positif oleh Bank Sultra.
Saat ini kita membutuhkan dryer dengan kapasitas yang lebih besar. Termaksud, mengharapkan munculnya “La Ode Umar lain” untuk action pada produksi jagung yang ada. Disisi lain kami sebagai Dinas terkait mengharap penuh pada Political Will Pemerintah, agar kiranya menyambut lompatan ini dengan menggelontorkan program yang tepat sasaran-tepat guna di sektor pertanian. Kemudian tak kalah pentingnya pada Kebijakan
Penggunaan Dana Desa di Desa Se-Kabupaten Muna yang mendukung program ini. Kita semua pada akhirnya sepakat dan berupaya, semoga jagung di Muna dapat lebih bernilai, segera menjemput mimpi yang sudah ada didepan mata. Barakatino Witeno Wuna. Bismillah. (**)