Sejak WHO (World Health Organization) mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi global, banyak negara mengalami resesi perekonomian. Tidak adanya perkiraan pasti mengenai jangka waktu pandemi ini turut meningkatkan risiko krisis ekonomi yang lebih besar. Hal ini lantas berpengaruh pada sektor perbankan.
Salah satu negara yang terdampak adalah Amerika Serikat. Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjelaskan, bahwa di AS telah terjadi resesi ekonomi sebesar minus 4,8% pada Kuartal I dan kemungkinan masih terus berlanjut. Bank Sentral AS (The Fed) melakukan pemangkasan suku bunga hingga mendekati nol dan membuat jaring program yang luas untuk memastikan pasar keuangan terus berfungsi selama pandemi. Jerome Powell, Gubernur The Fed, menjelaskan bahwa The Fed juga telah merumuskan fasilitas yang menetapkan preseden untuk perusahaan dan pembelian obligasi korporasi pertama kalinya. Sedangkan di Indonesia, sejak Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan Covid-19 pada 2 Maret 2020 lalu, Sri Mulyani berpandangan bahwa realisasi pendapatan masih positif. Namun, seiring makin merebaknya Covid-19, perekonomian pun ikut goyah.
Melemahnya perekonomian salah satunya disebabkan oleh trade off yang dilakukan pemerintah dalam mengambil kebijakan di bidang kesehatan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah sudah mengeluarkan 3 jilid stimulus. Stimulus I mengenai bidang pariwisata, dengan dana yang digelontorkan sejumlah Rp 8,5 T. Disusul stimulus II yang terdiri dari 4 stimulus fiskal, 4 stimulus non fiskal, dan stimulus sektor keuangan dengan total dana Rp 22,5 T. Dirasa belum cukup, pemerintah kembali merilis paket stimulus tambahan pada bulan April dengan anggaran Rp 405,1 T yang terdiri atas; (1) Intervensi penanggulangan Covid-19 bidang kesehatan sebesar Rp 75 T, (2) Perluasan dana Social Safety Net sebesar Rp 110 T, (3) Dukungan Industri sebesar Rp 70,1 T, dan (4) Program pemulihan ekonomi nasional untuk bidang keuangan sebesar Rp 150 T.
Pada bidang keuangan, salah satu stimulus yang diberikan adalah kebijakan perbankan. Tidak dapat dipungkiri, perbankan adalah salah satu sektor yang riskan terdampak Covid-19. Sebagian besar kondisi perekonomian nasabah baik badan hukum atau perorangan sedang tidak stabil. Hal ini semakin terasa pada saat kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) diterapkan. Contohnya, omzet profesi driver ojek online yang turun drastis menyusul anjuran pemerintah terhadap masyarakat mengenai Work From Home. Kebanyakan dari mereka saat ini hanya mengandalkan orderan makanan atau pengantaran barang. Bukan hanya pemasukan yang menurun, kesulitan lain yang banyak dirasakan driver ojek online antara lain terjerat kredit cicilan motor. Selain mereka, sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) juga merasakan hal yang sama. Pemasukan yang turun menyebabkan mereka kesulitan membayar cicilan kredit di bank.
Dilansir dari detikFinance (15/5), Chatib Basri, ekonom senior dan Mantan Menteri Keuangan menyebutkan bahwa saat ini masyarakat lebih banyak yang menyimpan uang di bank (Saving) dibandingkan menggunakan uangnya untuk dikonsumsi. Berdasarkan triwulan I tahun 2020, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya sebesar 2,84%. Hal ini menunjukkan adanya penurunan apabila dibandingkan dengan periode triwulan 1 tahun 2019 yang mencapai 5,02%.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerangkan, bahwa ada tiga risiko yang sedang dihadapi perbankan. Resiko pertama adalah risiko kredit, yaitu ketika umkm tidak mampu membayar kewajibannya begitu juga individu. Yang kedua risiko pasar, yaitu resiko ketika terjadi pelemahan nilai tukar rupiah. Dan yang ketiga adalah risiko likuiditas, yakni risiko yang dapat berdampak pada arus kas perbankan.
Survei Perbankan Bank Indonesia mengindikasikan, pertumbuhan triwulanan kredit baru melambat pada triwulan I tahun 2020. Hal itu tercermin dari saldo bersih tertimbang (SBT) permintaan kredit baru yang hanya sebesar 23,7%, lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang mencapai 70,6%. Penurunan terbesar yakni dari jenis kredit konsumsi. Hasil Survei Perbankan Bank Indonesia memprediksi, pertumbuhan kredit pada 2020 sebesar 5,5% (yoy), lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2019 yang mencapai 6,1%.
Pada triwulan ke-II, pemerintah menerapkan kebijakan kelonggaran dalam penyaluran kredit. Prakiraan tersebut ditunjukkan dari Indeks Lending Standart (ILS) sebesar 9,1%, lebih rendah dibanding 10,9% pada triwulan sebelumnya. Pelonggaran atau relaksasi kredit ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam menyokong perekonomian nasional, memberikan bantuan pada debitur-debitur yang terdampak pandemi ini terutama untuk jenis kredit modal kerja dan kredit UMKM (pasal 2 (1), POJK 11/POJK.03/2020). Adapun aspek kebijakan penyaluran kredit yang akan dilonggarkan yakni suku bunga kredit, biaya persetujuan kredit, jangka waktu kredit, dan plafon kredit.
POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19 yang dirilis oleh OJK bertujuan untuk mengantisipasi resiko kredit perbankan akibat penurunan kinerja dan kapasitas debitur dalam memenuhi kewajiban pembayaran kredit atau pembiayaan. Hal tersebut dapat membuat Loan to Deposit Ratio (LDR) bank menurun, stabilitas terganggu, dan kinerja bank pun tidak optimal.
Ada dua ketentuan yang diatur dalam regulasi itu, yang pertama mengenai penilaian atas kredit bagi bank konvensional dan pembiayaan bagi bank syariah maupun penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit sampai dengan Rp10 miliar. Yang kedua soal restrukturisasi dengan peningkatan kualitas kredit atau pembiayaan. Ketentuan ini tanpa adanya batasan platform. Contoh bank yang telah menerapkan kebijakan ini adalah BRI, BNI, Mandiri, dsb.
“Terbitnya POJK ini mengintruksikan pemberian stimulus berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2021. Perbankan diharapkan dapat lebih proaktif dalam mengidentifikasi debitur-debiturnya yang terkena dampak penyebaran Covid-19 dan menyegerakan pelaksanaan POJK stimulus dimaksud”, ungkap Juru Bicara OJK, Sekar Putih, dalam liputan CNBC Indonesia (24/3).
Harapannya, kebijakan ini dapat menguntungkan pihak kreditur maupun debitur. Debitur akan mudah dalam memenuhi kebutuhan hidup ditengah pandemi, dan kreditur yakni bank juga bisa mengepakkan pergerakkan mereka agar kredit macet dapat dikendalikan.