Oleh: La Ode Muhammad Ramadan
(Pegawai Dinas Perikanan Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara)
Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil Kabupaten Muna merupakan masyarakat dengan ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan lautan.
Berbagai sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan merupakan sumber kehidupan masyarakat yang kemudian mempengaruhi terbentuknya karakter masyarakat tersebut.
Sebagian besar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil Kabupaten Muna menggantungkan hidupnya dari pola-pola ekstraksi sumberdaya alam yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mereka diami.
Terdapat tiga tipe topografi yang masing-masing memiliki potensi sumberdaya alam berbeda di Kabupaten Muna.
Ketiga type topografi tersebut adalah (pertama) type pantai dan pulau kecil yang memiliki karakter mangrove dan wilayah perairan yang sebagian sudah mulai tercemar oleh lumpur serta sampah yang terbawa aliran sungai dengan potensi berbagai jenis ikan, udang, kepiting, cumi-cumi, kerang-kerangan, ikan belanak, dan kepiting.
(Kedua) type bebukitan yang memiliki karakter tanah berbatu dan tanah berkapur dengan potensi sumberdaya berupa kebun palawija, dan kebun tanaman kayu.
(Ketiga) type dataran rendah yang memiliki karakter rawa-rawa dengan potensi sumberdaya tambak.
Di wilayah pesisir pantai, dapat ditemui kawasan mangrove dengan berbagai potensi sumberdaya alam, salah satunya yang bernilai ekonomis cukup tinggi yaitu kepiting bakau.
Diwilayah bebukitan terdapat lahan yang biasanya ditanami oleh masyarakat dengan berbagai macam tanaman palawija seperti ubi kayu dan jagung. Selain itu, masyarakat juga menanam pisang, kelapa serta berbagai tanaman kayu seperti jati.
Dataran rendah di daerah pesisir dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lokasi pertambakan untuk kegiatan budidaya ikan bandeng dan udang.
Karakteristik masyarakat nelayan di Kabupaten Muna sebagai representasi komunitas/masyarakat desa pesisir/desa pantai dan desa pulau dapat dilihat dari berbagai aspek :
(Pertama) sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan serta teknik-teknik penangkapan ikan yang diterapkan oleh nelayan Kabupaten Muna merupakan pengetahuan yang diperoleh secara turun-temurun dan hasil pengalaman empirik dari nelayan-nelayan sebelumnya. Pengetahuan ini telah menjadi kekayaan intelektual berupa pengetahuan lokal (indigenous knowledge) masyarakat setempat.
(Kedua) kepercayaan. Secara teologi, nelayan Kabupaten Muna masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam menentukan aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan. Agar keselamatan dan hasil tangkapan nelayan semakin melimpah, maka pada masa-masa ketika terjadi panen raya, atau hasil tangkapan yang melimpah, kelompok-kelompok nelayan di suatu wilayah melakukan ritual sesuai tradisi dan budaya masing-masing. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan syukur kepada alam semesta.
(Ketiga) peran wanita. Selain dalam urusan domestik rumah tangga, peran wanita juga merupakan satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian nelayan. Seringkali para suami (nelayan) melakukan perjalanan mencari ikan (melaut) selama berhari-hari. Dimasa-masa ini, biasanya para istri nelayan berinisiatif mencari hasil tangkapan di wilayah mangrove, seperti ikan belanak, kepiting serta kerang-kerangan. Hasil tangkapan ini biasanya menjadi konsumsi rumah tangga selama menunggu para nelayan kembali dari melaut.
Sekembalinya nelayan dari melaut, para istri nelayan juga biasanya menunggu langsung di lokasi pendaratan ikan. Hal ini tidak hanya semata-mata sebagai tugas moral menyambut suami sepulang melaut, namun juga berperan dalam tawar-menawar dengan tengkulak serta memastikan keamanan hasil tangkapan dari pencuri-pencuri ikan di tempat pendaratan.
(Keempat) struktur sosial. Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi perikanan nelayan Kabupaten Muna seperti layaknya struktur hubungan produksi di kebanyakan lingkungan nelayan di wilayah lainnya di Indonesia. Struktur ini dicirikan oleh kuatnya ikatan patron-klien (juragan-pekerja).
Kuatnya ikatan tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Hubungan para nelayan (klien) dengan tengkulak atau bos (patron) tidak hanya sebatas hubungan produksi, dimana nelayan menjual ikan kepada tengkulak.
Ketergantungan nelayan kepada tengkulak timbul karena pada musim paceklik, para tengkulak memberikan pinjaman kepada nelayan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Hal ini kemudian menimbulkan ikatan sosial yang kuat dimana para nelayan memiliki loyalitas yang tinggi kepada tengkulak tersebut bukan semata-mata karena kewajibannya membayar pinjaman.
(Kelima) posisi sosial nelayan. Posisi sosial nelayan Kabupaten Muna yaitu berada dalam status yang cenderung lebih rendah. Keterbatasan kapital (modal) yang dimiliki oleh nelayan menjadi faktor yang mempengaruhi rendahnya status sosial nelayan ini.
Secara geografis, umumnya perkampungan nelayan di Kabupaten Muna berada cukup jauh dari wilayah pemukiman masyarakat bukan nelayan. Hal ini menyebabkan rendahnya interaksi masyarakat nelayan dengan masyarakat bukan nelayan. (**)