panjikendari.com – Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mengimbau masyarakat jangan mudah terbius dengan politisasi penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dalam ranah pemilihan kepala daerah. Secara nasional jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) PKH hanya 10 juta orang.
“Tidak ditambah-tambah lagi, total kepesertaan hanya 10 juta orang. Yang pasti itu jumlah tetap, kalau pun ada kemungkinan yah jumlahnya berkurang. Kalau bertambah lagi tidak mungkin,” ungkap Kepala Bidang Perlindungan Jaminan Sosial Dinsos Sultra La Ode M Satri, saat ditemui di ruang kerjanya, beberapa hari lalu.
Penegasan berkaitan adanya dugaan PKH dipolitisasi untuk kepentingan politik di pilkada atau PKH dijanjikan satu janji-janji politik. Program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada keluarga miskin yang ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat (KPM) PKH.
“Ada laporan ke kita, masyarakat dijanji untuk dapatkan PKH jika memilih nomor urut tertentu peserta Pilkada. Kelihatannya tidak melihat kriteria program. Yang penting dia iya untuk memilih peserta Pilkada. Itu suatu hal yang mustahil,” terangnya.
“Jadi bagaimana kalau setiap desa mengusulkan dijanjikan orang untuk mendapatkan PKH? Mungkin sudah jadi 15 Juta seperti janji itu. Masa orang dijanji harus pilih nomor ini, lalu kita kasih PKH? Itu tidak bisa itu,” imbuhnya.
Satri menjelaskan, pendataan PKH ini berawal dari program perlindungan sosial 2011 oleh Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS).
Data itu diserahkan ke TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) yang diketuai oleh Wakil Presiden. Berikutnya, data itu diminta oleh Kementerian Sosial untuk Program Keluarga Harapan, maka diserahkan ke Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemensos.
“Selanjutnya dengan pendekatan statistik dilakukan olah data kembali program PKH ini. Data ini diambil bukan dari Kepala Desa, tapi diambil di Desa. Yang mengambilnya itu BPS,” tuturnya.
Bila ada penerima PKH tidak memenuhi kriteria program, lanjutnya, maka bersangkutan bisa dikeluarkan dari penerima PKH atau biasa disebut graduasi paksa. Tetapi ada juga karena kesadaran sendiri keluar atau disebut graduasi mandiri.
“Kriteria penerima PKH itu komponennya ada ibu hamil, anak sekolah sampai SMA, lalu sekarang ditambah lagi ada Lansia 70 tahun, dan penyandang disabilitas. Khusus disabilitas ini diutamakan orang dengan kecacatan berat,” katanya.
Menyoal penggantian penerima program bantuan, Satri menegaskan prosedur baku sesuai ketentuan yaitu wajib melalui musyawarah desa atau kelurahan. Dalam agenda itu harus hadir kepala desa atau kelurahan, pendamping PKH, dan tokoh masyarakat.
Prosesnya, setelah musyawarah desa/kelurahan, bukan saat itu ditentukan. Bukan si A langsung ganti si B. Hasil kesepakatan itu diusul ke dinas sosial, bupati menyurat ke gubernur, selanjutnya ke Kementerian Sosial, untuk diganti.
“Mengganti KPM PKH tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kalau harus diganti, karena memang tidak memenuhi syarat program. Jadi bukan maunya kepala desa, pendamping PKH, atau Dinas Sosial. Mereka hanya mengusulkan diganti dan tidak berhak mengganti. Itu tegasnya,” jelasnya.
Sesuai mekanisme, penggantian mesti melalui proses pengusulan Dinsos setempat ke bupati, lalu dari bupati menyurat ke gubernur yang kemudian diteruskan usulan ke Kemensos. Nanti Kemensos yang pertimbangkan untuk mengganti dengan merujuk pada pembaruan data baku sebuah daerah.
“Mengenai pencairan PKH itu yang mengatur Kementerian. Itu langsung ke rekening KPM. Itu langsung. Dapat mengambil ke Bank. Tidak boleh diambil oleh pendamping,” katanya.
Dijelaskan, PKH adalah program nasional. Siapapun bupatinya, masyarakat akan tetap dapat bantuan PKH asal sesuai kriteria program. “Bukan karena siapa jadi bupati. Tapi siapa pun bupatinya,” ujar Satri.
Mantan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Muna ini mengimbau kepada para penerima program agar tidak usah takut, kecuali sudah tidak memenuhi kriteria.
“Mereka tidak punya kewenangan untuk mengganti. Kalau ada masyarakat diintimidasi bisa melapor ke pihak yang berwajib. Saya kira ini bisa masuk ke ranah pidana,” katanya.
Satri juga mengimbau kepada para pendamping untuk tetap bekerja sesuai tupoksi, senantiasa memperhatikan kode etik. “Pendamping tidak boleh terlibat politik praktis, tidak boleh memegang kartu milik KPM. Itu pelanggaran keras. Itu bisa dilaporkan.”
“Kepada masyarakat tidak perlu takut sepanjang dia masih memenuhi syarat, mustahil untuk diganti. Masyarakat jangan mudah percaya, apalagi dijanjikan dapat PKH. Misalnya calon kepala daerah menjanjikan, apalagi itu tidak memenuhi kriteria. Itu tidak mungkin,” tutupnya. (jie)