Oleh: Hariman Satria
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari)
Tidak ada yang menyangka bahwa diskusi tematik mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang mengangkat tema “Pemecatan Presiden di Tengah Pendemi Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan” akan berakhir antiklimaks. Diskusi yang sedianya akan dilaksanakan pada tanggal 29/05/2020 yang menghadirkan pakar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia Ni’matul Huda, justru batal karena adanya intimidasi dan teror baik kepada pembicara maupun mahasiswa sebagai penyelenggara.
Peristiwa tersebut, seketika mengingatkan kembali memori kelam bangsa ini yang pernah berada di bawah bayang-bayang rezim otoritarian orde baru. Kala itu, setiap pertemuan, diskusi, dan seminar yang mengkritik pemerintah dianggap sebagai subversi sehingga diberangus melalui tangan keji aparat. Pertanyaan kemudian dalam konteks saat ini, bagaimanakah perspektif hukum atas kebebasan akademik?
Jaminan Konstitusi
Kebebasan akademik merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945. Bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Rumusan Pasal 28E ayat (3) a quo, eksplisit memberi amanat kepada pemerintah untuk menjamin kebebasan berorganisasi, berkumpul, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan kepada warga negara termasuk dikalangan akademik. Hal ini penting sebab HAM dalam konteks UUD 1945 masih dimaknai sebagai abstensi negara dalam pencarian dan penghargaan martabat manusia.
Maka tindakan segilintir orang yang merintangi diskusi publik di Fakultas Hukum UGM dapat dibaca sebagai pelanggaran terhadap hak berkumpul dan menyatakan pendapat di lingkungan akademik. Padahal pemerintah seharusnya menjamin terlaksananya diskusi yang demikian. Sebab hal itu merupakan kewajiban negara untuk melindungi dan memenuhi HAM sesuai dengan rumusan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Hakikat Kebebasan Akademik
Kebebasan akademik adalah cermin terbukanya kran demokrasi dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Maka setiap orang yang berada dalam ranah akademik, entah itu dosen maupun mahasiswa, bebas membuat kajian akademik sesuai dengan kaidah keilmuan yang bertujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah yang disebut dengan otonomi keilmuan dalam Pasal 9 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU pendidikan tinggi).
Definisi normatif kebebasan akademik, diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi. Bahwa kebebasan akademik merupakan kebebasan civitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
Kebebasan akademik diatur pula secara spesifik dalam Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi. Pada Pasal 17 ayat (1) ditekankan bahwa kebebasan akademik merupakan kebebasan yang dimiliki anggota civitas akademika untuk secara bertanggungjawab dan mandiri melaksanakan kegiatan akademik yang terkait dengan pendidikan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian, disatu sisi kebebasan akademik merupakan jaminandari negara melalui undang-undang guna pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disisi lainnya, ia merupakan wujud pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi. Ujung dari kebebasan akademik adalah lahirnya akademisi yang kritis, pakar dibidangnya dan hasil kajiannya diharapkan mampu memberi pencerahan kepada publik.
Atas dasar itulah, segala tindakan yang bertujuan merintangi kebebasan akademik dianggap mengancamupaya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan memajukan ilmu pengetahuan. Maka tidak boleh ada seorangpun yang dibiarkan mengebiri kebebasan akademik dengan dalih apapun. Sebab hal itu merupakan ancaman terhadap ilmu pengetahuan, bahkan peradaban.
Bukan Makar
Bertalian dengan tuduhan makar yang dilontarkan oleh seseorang yang bermama KPH Bagas Pujilaksono Widyakaningara (BPW), hal ini tentu tidaklah benar. Mengapa saya mengatakan demikian? Secara etimologi, makar berasal dari kata aanslag (Belanda). Kata ini berkaitan dengan Pasal 87 KUHP yang berbunyi: dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam Pasal 53.
Perlu diketahui bahwa Pasal 53 KUHP menyangkut percobaan (poging). Diantara elemen percobaan adalah adanya niat atau permulaaan pelaksanaan perbuatan. Dalam konteks makar bahwa seseorang sudah dapat dikatakan berniat melakukan makar jika pemulaan pelaksanaan telah diwujudkan.
Hanya saja mesti diingat bahwa makar dalam Pasal 87 KUHP tersebut bukanlah kata yang berdiri sendiri. Ia mesti dihubungkan secara sistematis dengan pasal-pasallain, misalnya Pasal 104 KUHP yaknimakar dengan maksud untuk membunuhatau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden.
Jadi disebut sebagai tindakan makar jika telah ada permulaan pelaksanaan yang merupakan perwujudan niat pelaku dengan cara membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden. Meskipun perbuatan tersebut tidak sampai menyebabkan kematian presiden/wakil presiden tetapi hal itu sudah dapat diketagorikan sebagai percobaan makar sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.
Pidana kepada pelaku percobaan makar sama dengan delik yang selesai. Jadi tidak dikenakan pengurangan 1/3 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP. Hal ini tidak terlepas dari postulat,felonia implicatur in quolibet proditione artinya makar merupakan kejahatan yang tergolong berat.
Diskusi akademik oleh mahasiswa Fakultas Hukum UGM tentu tidak memenuhi elemen delik makar. Sebaliknya, tuduhan makar terhadap mahasiswa oleh BPW merupakan delik pencemaran nama baik yang menggunakan sarana elektronik sehingga dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Mahasiswa berhak melaporkannya kepada pihak yang berwajib agar diusut secara tuntas oleh kepolisian. Sedangkan bagi yang melakukan intimidasi atau teror maka dapat dijerat dengan Pasal 368 KUHP jo Pasal 45b UU ITE. (**)