Oleh: La Ode Muhram Naadu
(Pemerhati Hukum)
Jika cendawan diibaratkan Alat Peraga Kampanye (APK), maka hujan adalah tahapannya. Begitulah mengapa ia kian berseliweran. Tahapan kampanye pemilu tengah bergulir selama 21 hari. Limitasinya tertanggal 13 April 2019. Sebagaimana diatur pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 32 Tahun 2018. Faktualnya, tak sedikit APK bermaterikan minus visi-misi. Bahkan tak jarang pula yang hanya memapang wajah belaka plus nomor urut. Timbul pertanyaan, bagaimana standarisasi dan makna muatan visi-misi pada APK?
Acuan
Perihal pemuatan visi-misi pada APK, tidak dijelaskan maknanya dalam UU 7/2017. Sebagaimana halnya teknis, setidaknya ada 2 acuan utama yang terujuk pada PKPU 23/2018. Pertama, di ketentuan umum, yakni Pasal 1 angka (28), bunyinya yakni : Alat Peraga Kampanye adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, program, dan/atau informasi lainnya dari Peserta Pemilu, simbol atau tanda gambar Peserta Pemilu, yang dipasang untuk keperluan Kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih Peserta Pemilu tertentu. Yang Kedua, pada Pasal 32 ayat (4) yang berbunyi ; Desain dan materi pada Alat Peraga Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat visi, misi, dan program Peserta Pemilu.
Terhadap Pasal 1 angka (28) PKPU 23/2018, dalam penafsiran gramatikal, ada dua makna yang dapat dipakai sebagaimana penggunaan frasa “dan/atau”. Yang pertama, APK adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi-misi juga program dan informasi lainnya, simbol atau tanda dari peserta pemilu, yang dipasang untuk keperluan Kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih Peserta Pemilu tertentu.
Kemudian kedua, dapat dimaknai pula APK adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi-misi juga program atau informasi lainnya, simbol atau tanda dari peserta pemilu, yang dipasang untuk keperluan Kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih Peserta Pemilu tertentu.
Kedua pemaknaan tersebut adalah konsekuensi dari penggunaan frasa “dan/atau”. Konklusi dari Pasal 1 angka (28), pemuatan Visi-Misi adalah opsional, atau tidak wajib (imperative). Malah jika mengacu pada tafsir kedua, tanpa memuat visi-misi pun dapatlah dikatakan sebagai APK. Sepanjang memuat informasi lain, simbol atau tanda gambar dari peserta. Dasar dari ini adalah penalaran gramatikal. Sebagaimana bahasa hukum tunduk pada hukum bahasa.
Kemudian pada norma berikutnya. Perlu digarisbawahi, bahwa Pasal 32 ayat (4) PKPU 23/2018 adalah acuan desain dan materi APK, baik itu yang dicetak-pasang sendiri oleh peserta (vide: Pasal 32 ayat 1) pun difasilitasi oleh KPU (vide: Pasal 33 ayat 1). Terdapat 2 cara memaknai Pasal 32 ayat 4, yakni Pertama mengenal kompetensi (competence) hukumnya. Dan Kedua menalarnya (legal reasoning) dengan pola sistematis.
Ada 2 elemen pada satu kompetensi (competence) norma, menurut Hans Kelsen yakni elemen personal dan elemen material. Pasal 32 ayat (1) dan 33 ayat (1) terdiri dari 2 elemen personal yang berbeda, yakni Peserta dan Penyelenggara. Sedang elemen materialnya adalah perbuatan memenuhi terwujudnya desain dan materi APK, dirujuk pada pasal 32 ayat (4).
Dari metode penalaran hukum sistematis pula akan menjawab, mengapa dalam Pasal 33 tidak memuat aturan desain dan materi APK, sebagaimana Pasal 32. Yah, sebab sudah diatur pada Pasal 32 ayat (4), atau dengan kata lain, dikembalikan pada Pasal 32 ayat (1) yang juga tersistematisasi pada Pasal 32 ayat (4). Olehnya itu dapat dikonklusi, siapapun adressatnorm yang mencetak-pasang, desain dan materinya wajib teracu pada pasal 32 ayat 4.
Keliru
Fasilitasi APK oleh KPU, dalam hal ini pelaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat 3 PKPU 23/2018, teknisnya dituangkan dalam Keputusan KPU Nomor 196/PL.01.5-Kpt/06/KPU/IX/2018 (Keputusan 1096) tentang Petunjuk Teknis Fasilitasi Metode Kampanye. Menariknya, terdapat perubahan sifat norma berkait desain dan materi APK. Hal ini teridentifikasi pada frasa “dapat memuat” pada lampiran Keputusan 1096 angka 8 huruf b.
Jika kita mengacu pada pasal 32 ayat 4 sebagaimana tersistematisasi Pasal 33 ayat 3 yang dijalankan pada keputusan ini, terjadi pertentangan sifat norma. Frasa “paling sedikit memuat” pada pasal 32 ayat 4 adalah suatu penekanan (imperative). Sedang frasa “dapat memuat” pada lampiran Keputusan 1096 angka 8 huruf b adalah bersifat pengaturan (facultative).
Memang, terhadap pertentangan antara aturan umum dan khusus, digunakan asas lex superior derogate lege inferiori. Namun jika mengacu pada asas ini dengan mengembalikan pada kedua norma pada PKPU 23/2018, timbul pertanyaan bagaimana menentukan pasal mana yang didahulukan? Sedang maknanya inkonsisten alias terjadi kontradiksi. Masih ada ambiguitas.
Perihal Keputusan 1096 notabene berwajah keputusan (besichking) namun berjiwa peraturan (regeling). Termaksud hasil “Legislasi Independen” sebagaimana dimaksud J.W Harris. Struktur aturan ini harus tunduk pada The Systematizing Logic of Legal Science dengan kualifikasi asas ekslusi, subsumsi, derogasi dan nonkontradksi. Karena Keputusan 1096 adalah bentukan esklusi KPU RI sebagai teknis dari Pasal 33 ayat 3, maka seharusnya substansinya tunduk pada asas subsumsi, yang mengandung arti bahwa aturan-aturan itu tunduk pada sistem hirarkis, dan ini sejalan dengan asas derogasi yang tidak mengehndaki adanya konflik dalam system tersebut.
Konsekuensi lanjutannya adalah asas nonkontradiksi, yang menggarisbawahi bahwa eksistensi sebuah kewajiban tidak dapat dihadirkan secara bersamaan dengan sebuah non-kewajiban. Frasa “paling sedikit memuat” pada pasal 32 ayat 4 (imperative) tidak boleh melahirkan frasa “dapat memuat” (facultative) sebagaimana pada lampiran Keputusan 1096 angka 8 huruf b. Ada ambiguitas disini, apakah Visi-Misi itu wajib termuat atau tidak?. Notabene kedua bangunan hukumnnya ada dalam satu sistematika.
Jalan Keluar
Pelbagai model memaknai norma diatas membuktikan terjadi kesemrawutan dalam sistematika hukum kepemiluan-in casu mengatur tentang desain dan materi APK. Dalam satu bangunan hukum – PKPU 23/2018 pun melanggar asas non kontradiksi. Kemudian penghadiran Keputusan 1096 malah memperburuk pemenuhan asas subsumsi, derogasi juga nonkontradksi pula. Hingga tercuatkan betapa sumirnya untuk dikualifikasi sebagai aturan yang baik.
Tidak adanya interpretasi otentik aturan pemuatan Visi-Misi dalam sistematika hukum kepemiluan dalam hal ini UU 7/2017, PKPU Kampanye, turut SK 1096, sebenarnya bukanlah kebuntuan yang berkesimpulan bahwa tidak adanya kepastian hukum disana.
Sebagaimana seluruh interpretasi diatas adalah metode penemuan hukum. Digunakan dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk diterapkan. Kesemuanya terkungkung pada “closed logical system” yang menjadi tumpu positivisme.
Untuk mengakhiri kebuntuan bin kesemrawutan ini, diperlukan interpretasi moral atas normanya. Dworkin berpendapat bahwa ada legitimate base of legal decisions, yang sekaligus memedomani penafsiran atas suatu hukum. Bahwasanya, norma APK adalah teknis dari kampanye. Dimana kampanye merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan bertanggungjawab (vide: Pasal 267 UU 7/2017). Pendidikan politik inilah dasar legitimasi (legitimate base) seluruh norma perihal kampanye. Bahwasanya, pendidikan politik ini diwujudkan dengan materi kampanye yang meningkatkan kualitas demokrasi kita.
Lantas, apakah dengan memapangkan wajah, nomor urut dan nama calon saja pada APK, dapat menjiwai esensi pendidikan politik dalam kampanye?. Inilah yang tak boleh dianggap remeh-temeh. Bahwa APK tidak boleh dimaknai sempit, hanya pengugur kewajiban, atau sekadar pajangan yang tak ada bedanya dengan iklan yang nir-nilai edukasinya (pendidikan politk).
Hal ini sekaligus menjawab, mengapa ada pengaturan perihal KPU (sebagai wujud negara) memfasilitasi cetak-pasang APK?, Bukankah ini bentuk tanggungjawab negara dalam pendidikan politik yang mengarah pada peningkatan kualitas demokrasi?.
Fasilitasi ini adalah bentuk peran negara dalam menghargai hak pilih dan hak dipilih. Melakukan pendidikan politik dengan membantu calon pemimpin kita (peserta) memperkenalkan hal yang ideologis, bukan jargon kosong, apalagi jualan senyum sahaja. Fasilitasi sekaligus mengenalkan pemilih pada siapa peserta. Inilah ”idea of fit” dari seluruh metode kampanye. Jelas menuju pada pendidikan politik yang mengarah pada peningkatan kualitas demokrasi. Kalau bukan demikian, untuk apa uang negara digelontorkan memfasilitasi APK yang hanya bermaterikan senyum caleg saja tanpa visi-misi? (**)