Oleh: Seventry M Patiung, S.Pi., M.Sc
(Dosen Jurusan Agrobisnis FPIK, UHO Kendari)
Pangan merupakan kebutuhan utama manusia yang wajib dipenuhi untuk kehidupan sehari-hari. Ketidakstabilan pemenuhan pangan mampu mempengaruhi aspek sosial ekonomi, dan politik kehidupan bangsa dan Negara. Sehingga sangat diperlukan penguatan terhadap Ketahanan Pangan kita untuk menciptakan kestabilan sosial, ekonomi, maupun politik. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Berpijak pada landasan normatif, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 menjelaskan bahwa Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”
Untuk meningkatkan ketahanan pangan maka diperlukan peningkatan produksi pangan yang signifikan. Namun, peningkatan produksi tentunya dipengaruhi oleh keterlibatan maksimal dari petani dan nelayan sebagai pioneer utama. Ada berbagai komoditi unggulan di Sulawesi Tenggara diantaranya Kelapa, Jambu Mete , Kakao / Coklat, Ikan Tuna/Cakalang, Rumput Laut, dll. Tetapi, pada kondisinya petani dan nelayan di Sulawesi Tenggara yang merupakan pioneer seringkali mengalami hambatan-hambatan dalam memproduksi pangan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat mulai dari input bahan baku, produksi, distribusi produk hingga akses pasar. Selain itu keterbatasan lahan yang dimiliki petani juga menjadi kendala yang cukup berpengaruh.
Berbagai kendala yang dihadapi menyebabkan petani dan nelayan tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang cukup kuat terhadap komoditi yang mereka produksi sehingga sering terjadi kerugian bagi petani dan nelayan. Hal inilah yang menjadikan perlunya penguatan kelembagaan agribisnis yang mampu mendukung petani dan nelayan untuk meningkatkan ketahanan pangan (Food Security) dan meminimalisasi kerugian yang dihadapi.
Lembaga adalah suatu pranata bangunan sosial antara anggota masyarakat/organisasi yang saling terikat untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama. Kelembagaan baik formal maupun informal, memegang peranan penting dlm peningkatan kualitas SDM, produksi dan pendapatan petani/nelayan. Berbagai contoh kelembagaan pada sistem pertanian diantaranya Koperasi, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). AIP (Agribisnis Industrial Pedesaan), Penyuluhan, Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Permodalan, Perbankan dll.
Salah satu lembaga yang memiliki peran yang besar yang perlu mendapat perhatian adalah Lembaga Pasca Panen dan Pemasaran Hasil Pertanian/Perikanan. Lembaga ini diperlukan agar produksi bahan mentah dapat ditekan sehingga mampu memberikan nilai tambah dan posisi tawar tawar petani dan nelayan dapat meningkat. Hal ini tentu akan mempengaruhi peran petani dan nelayan dalam upaya mendukung ketahanan pangan.
Sebagai pelaku agribisnis, petani dan nelayan memiliki berbagai kendala untuk berkembang. Diantaranya aktivitas produksi komoditi masih banyak yang bersifat tradisional, sering tejadi kesenjangan ekonomi yang cukup nyata antara petani dan nelayan dengan pedagang pengumpul dan pedagang besar, aktivitas produksi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor lingkungan, iklim, musim, akses pasar yang terbatas bagi petani dan nelayan karena dikuasai oleh pedagang besar.
Harga jual komoditi yang rendah karena panjangnya rantai pasok yang menyebabkan terjadi perbedaan harga yang signifikan dari tingkat produsen petani dan nelayan dengan pedagang besar sehingga hal ini menjadi pertimbangan bagi konsumen untuk memilih komoditi yang memiliki harga yang sesuai dengan budget konsumen.
Penguatan kelembagaan sebagai solusi sangat perlu dilakukan agar kelembagaan agribisnis mampu berfungsi maksimal untuk mendukung pelaku agribisnis dalam hal ini petani dan nelayan dalam peningkatan ketahanan pangan. Adapun kelembagaan dalam agribisnis Kelembagaan Hulu dalam hal ini adalah input bahan baku, Kelembagaan On Farm atau proses produksi maupun budidaya, dan yang ketiga adalah kelembagaan hilir dalam hal ini adalah pasca panendan akses pasar.
Kelembagaan yang terlibat dalam aktivitas agribisnis adalah (1) perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang berperan dalam menggali potensi bibit tanaman maupun bibit ikan, menggali potensi Sumber daya Alam yang dapat dimanfaatkan, menjadi lembaga pemberi rekomendasi kepada pelaku usaha untuk membangun kerjasama dengan mitra. (2) kelembagaan pemerintah dalam hal ini Dinas yang terkait yang memiliki tugas sebagai pengambil kebijakan dan kegiatan pendampingan kepada petani maupun nelayan, (3) lembaga pembiayaan dalam hal ini perbankan dan lembaga kredit lainnya yang memberikan bantuan modal kepada petani dan nelayan, (4) pelaku usaha terkait seperti pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pengusaha, serta (5) kelembagaan kelompok-kelompok usaha maupun gabungan kelompok tani.
Kelima kelembagaan diatas berperan sangat penting sebagai penentu sehingga perlu mengalami penguatan dalam keterkaitan untuk membantu petani dan nelayan dalam mencapai tujuan kesejahteraan sehingga ketahanan pangan bagi masyarakat khususnya di Sulawesi Tenggara dapat terus mengalami peningkatan dan berkelanjutan. (**)