KONAWE SELATAN, Panjikendari.com – Langkah-langkah mereka menyusuri tanah retak bukanlah ritual pagi, tapi bentuk perlawanan terhadap sunyinya perhatian. Di Desa Mowila, Kecamatan Mowila, Kabupaten Konawe Selatan, air bersih bukan sekadar kebutuhan, tapi mimpi yang terus diperjuangkan setiap hari.
Tanah di bawah kaki mereka menganga. Retak-retak itu seolah menggambarkan perasaan warga yang telah lama menanti kehadiran negara dalam urusan yang paling mendasar: air untuk hidup.
Di pagi yang terik, Marading dan beberapa warga lainnya berjalan memikul jeriken kosong. Mereka menuju sebuah sumur yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Sumur itu tak dalam, dan sering kali kering saat musim kemarau. Tapi hanya itu yang mereka punya.
“Kalau hujan turun, kami cepat-cepat tampung air dari atap. Itu jadi penyelamat. Tapi kalau musim kemarau begini, semua makin sulit,” kata Marading, Rabu 9 April 2025.
Antara Bukit, Jeriken, dan Doa
Letak Dusun 4 Desa Mowila yang berada di perbukitan menjadi tantangan tersendiri. Tak mudah menemukan mata air. Warga sudah berusaha membuat sumur bor secara swadaya, bahkan hingga kedalaman 20 meter. Tapi hasilnya nihil.
“Kami sudah coba bor, tapi tak keluar air. Mungkin karena daerah tinggi, atau memang tidak ada sumber air di bawah,” lanjutnya.
Lebih menyedihkan lagi, warga tak mampu membiayai pengeboran yang lebih dalam. Biaya hidup sehari-hari saja sudah pas-pasan. Maka air, yang bagi sebagian orang hanya tinggal membuka keran, bagi mereka adalah hasil dari peluh dan perjuangan panjang.
Ketika Air Jadi Barang Mewah
Penampakan yang memperlihatkan warga Mowila memikul jeriken di atas tanah yang merekah menjadi potret nyata bagaimana krisis ini menua tanpa solusi. Bukan karena teknologi tak ada, melainkan karena perhatian yang belum juga tiba.
Air bersih yang seharusnya menjadi hak dasar warga negara, terasa begitu jauh dari jangkauan. Mereka hanya bisa menunggu. Pada hujan, pada bantuan, pada keajaiban.
“Kami hanya ingin hidup normal. Bisa mandi, bisa masak, tanpa harus menunggu langit,” ucap Marading dengan nada yang tak lagi meminta, tapi menegaskan hak.
Mowila Menunggu Jawaban
Krisis air bersih di Mowila bukan cerita baru. Tapi suara mereka tenggelam dalam kebisingan pembangunan. Padahal, tanpa air, tak ada kehidupan yang bisa dibangun.
Kini, warga Mowila hanya berharap agar suara mereka bisa sampai ke telinga para pemangku kebijakan. Bahwa di tengah perbukitan yang sunyi, ada jeriken-jeriken kosong yang menanti untuk diisi. Ada langkah-langkah letih yang terus bergerak demi setetes harapan.
Dan semoga, sebelum langit menurunkan hujan berikutnya, bumi ini—melalui tangan pemerintah—lebih dulu menyalurkan air untuk mereka. (*)