panjikendari.com – Pernyataan salah seorang advokat di Kota Kendari, Abdul Rajab Sabaruddin, yang menyebutkan bahwa PSU adalah kegagalan Bawaslu, ditanggapi Ketua Bawaslu Muna Al Abzal Naim.
Dalam siaran persnya, Bram -sapaan akrab Al Abzal Naim- mengakui, memang benar bahwa salah satu tugas Bawaslu adalah Pencegahan. Tapi pahami dulu secara utuh, bahwa bagaimana bisa terjadi PSU. Apakah disitu hanya ada pihak Pengawas Pemilu, ataukah ada Penyelenggara lain yang lebih bertanggungjawab secara kewenangannya untuk memastikannya. Dan terlebih itu terkordinasi dalam proses kerjanya.
“Betul, bahwa Pengawas Pemilu memastikan per-tindakan KPPS. Namun, pun berkeberatan dalam hal terdapat kesalahan dari KPPS, Pengawas TPS tidak bisa menghentikan dan melarang. Pengawas TPS menuangkan itu dalam form pengawasannya. Ini yang Abdul Rajab tidak pahami. Apalagi dia sampai mengatakan bahwa Bawaslu melakukan pembiaran. Nah, inilah kecacatan nalar hukumnya. Dia tidak mengurai perjenjang Pengawas Pemilu beserta kewenangannya, hingga menggeneralisir dengan frasa Bawaslu,” tohok Bram.
Yang paling parah, kata Bram, adalah Abdul Rajab mengatakan bahwa kegagalan ini adalah kegagalan Bawaslu, dan secara umum merusak demokrasi. “Sedih, jika argumentasi itu dibangun asal asumsi, lalu berkesimpulan membabi-buta. Ini tidak baik. Adanya PSU justru dimaknai bahwa Penyelenggara Pemilu bekerja dalam pemastian kualitas pemilu,” tekannya.
Bram melihat, ada ketidakutuhan pemahaman Abdul Rajab Sabaruddin terhadap bagaimana PSU itu bisa ada. Buktinya, kata Bram, sebelumnya Abdul Rajab juga komentar di media berkait PSU ini dengan menyoroti parsial kinerja Pengawas Pemilu.
Tapi sayang, kata Bram, Abdul Rajab salah memijak dasar hukum. Yang seharusnya di Pasal yang dimaksud dipakai Perbawaslu 9 Tahun 2019, tapi masih memakai Perbawaslu 1 Tahun 2019. “Dia ketinggalan informasi. Ini kan bentuk ketidakpahaman yang dipamerkan. Lantas dengan dasar itu dia menyudutkan penyelenggara. Parah kan?,” ujar Bram.
Mengenai komentar Rajab bahwa yang melakukan kajian adalah Pengawas TPS, Bram menganggapnya keliru. Menurut Bram, yang dilakukan bukan kajian, dan bukan pengawas TPS. Tapi penelitian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Panwaslu Kecamatan.
“Terhadap peristilahan yang dipakai, jangan dia buat-buat. Ini bahasa hukum loh. Salah kata salah tafsir,” tambah Bram.
Berkait asumsi liar Rajab bahwa bisa saja Bawaslu dan Peserta Pemilu berkongkalingkong agar bisa PSU, Bram menganggapnya lucu.
“Sekali lagi ini menunjukkan ketidakpahamannya atas bagaimana bisa ada rekomendasi PSU.”
“Yang tak kalah parahnya adalah saran yang dia (Rajab, red) ajukan pada peserta pemilu agar mencari celah hukum agar Bawaslu bertanggungjawab. Itu adalah saran yang cacat nalar. Dia harus paham dulu, apa itu celah hukum. Sebagai orang berlatar hukum dia harusnya tahu apa itu celah hukum yang diistilahkan sebagai Legal Gap,” terangnya.
Berkait evaluasi dan kronologis PSU, harusnya kata Bram, Rajab membaca kembali PKPU dan Perbawaslu terkait. “Jangan sampai dia kira bahwa dokumen pengawasan Pengawas TPS/Pengawas Desa/Kelurahan disembunyi-sembunyi.
Padahal pasca diteliti dan Periksa Panwascam, lalu direkomendasikan ke PPK, hingga berujung pada KPU tidak ada yang ditutupi. Dia kira, rekomendasi PSU dilahirkan sesuka hati Pengawas Pemilu saja. Padahal ada syarat formil dan materilnya,” Bram panjang lebar.
Bram menyarankan, saat seperti ini harusnya cooling down. Tak usah memprovokasi para pihak yang justru meriuhkan suasana. Lagipula untuk menyelesaikan masalah itu bukan yang dicari kambing hitam, tapi temukan kotak hitamnya. Sebagaimana itu yang dimaksud problem oriented thinking.
“Mari kita mengapresiasi kinerja penyelenggara. Pengorbanan mereka luar biasa. Adanya PSU berarti adanya pemastian kualitas pemilu kita. Bahkan saking pemastian itu dijamin, ada ancaman pidana bagi penyelenggara yang tidak menjalankan PSU jika secara faktual seharusnya PSU,” tutup Bram. (rls)