Penulis: Suparman F Sinniq, SH.
(Ketua KIPP Kolaka Utara)
Sejak Undang-Undang Desa diterbitkan, jabatan kepala desa dinilai sebagai jabatan strategis dan jabatan istimewa dengan membandingkan jabatan kepala desa dengan masa jabatan enam tahun dan bisa dipilih tiga kali berturut-turut dengan masa jabatan presiden yang dibatasi lima tahun dan hanya dapat dipilih dua kali.
Disamping masa jabatan kepala desa yang lebih panjang daripada jabatan presiden atau kepala daerah, Undang-Undang Desa saat ini juga mengamanahkan dana desa bersumber dari APBN dan alokasi dana desa dari dana perimbangan kabupaten yang akan disalurkan langsung kepada desa untuk percepatan pembangunan.
Pesta demokrasi pemilihan kepala desa (pilkades) tahun 2019 akan diselenggarakan di sejumlah Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara, dua diantaranya Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten Konawe Selatan.
Pilkades sebagai garda terdepan proses demokrasi dan politik di negeri ini kini sudah menjadi ajang persaingan strategi para “elit desa,” tak bisa di pungkiri salah satu inti penyebab tingginya minat para elit desa maju bertarung adalah karena melimpahnya dana yang akan dikelola jika kelak terpilih menjadi Kepala desa. Apalagi pembiayaan pilkades langsung dan serentak juga bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa untuk kebutuhan pelaksanaan pemungutan suara yang dilakukan oleh Panitia pemilihan desa.
Akibatnya persaingan para calon kepala desa dalam pemilihan di pastikan berlangsung sengit, ketat, dan penuh intrik serta rawan terjadinya konflik antara para pendukung dan kerabat. Berbagai kecurangan, kampenye hitam, dan politik uang tak bisa dihindari karena dengan cara-cara pragmatis ini para calon kepala desa akan akan memproleh dukungan walapun tak semua masyarakat pemilih akan memilih calon kepala desa dengan iming-iming uang tersebut.
Selain politik uang, Pengamat sosial sekaligus staf pengajar Universitas Pasundan, Wim Tohari Daniealdi menilai, potensi konflik akibat Pilkades terbilang tinggi. Persoalan Pilkades serta dampak-dampak sosialnya tak boleh dipandang sebelah mata. Soalnya, hajat demokrasi tingkat desa tersebut sangat primordial dan terkait pula dengan emosi warganya. Warga sangat mungkin mengenal calon, rekam jejak, bahkan bisa pula berkerabat dengannya. Dalam kondisi Pilkades, emosi lebih bermain saat warga menjatuhkan pilihan atau mendukung kandidat tertentu. Akibatnya, ketidakpuasan akan hasilnya bisa menyulut konflik yang lebih keras ketimbang Pilcaleg, Pilpres atau pemilukada, lantaran pertalian kekerabatan dan kedekatan emosional dengan sosok kandidat.
Bergesernya cara pandang generasi muda atau kaum milenial di desa akibat arus informasi dan teknologi sehingga tradisi guyub/musyawarah tidak lagi menjadi solusi termasuk pendekatan kulutural tidak lagi menjadi penting, selanjutanya Panitia pemilihan Kepala Desa yang di bentuk oleh BPD yang tidak netral dan transparan, tidak adanya beban tanggung jawab panitia pengawas pilkades sehingga tak bisa berfungsi, termasuk pejabat pelaksana desa yang diangkat oleh Bupati kurang disukai masyarakat, semua menambah deretan panjang riak-riak potensi sengketa dan perselisihan yang akan mewarnai pilkades serentak.
Sementara regulasi Pilkades yang ada dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terdapat pengaturan tentang Pemilihan kepala desa yang tertuang di pasal 26 sampai dengan pasal 47 yang pada intinya hanya menjelaskan kewenangan, hak dan kewajiban, tata cara pemilihan, pemberhentian kepala desa. Begitu pula di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terdapat pengaturan tentang kepala desa yakni mulai pasal 40 sampai dengan 60 yang intinya kurang lebih sama mengatur kewenangan, hak dan kewajiban, tata cara pemilihan, dan pemberhentian kepala desa termasuk Permendagri nomor 65 tahun 2017 perubahan Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang pemilihan desa dan peraturan turunanya melalui Perda maupun Peraturan Bupati setempat tentang pilkades semuanya hanya bersifat teknis hanya peraturan pelaksanaan Pilkades, tidak rinci dalam mengatur jika ada sengketa atau perselisihan pilkades.
Memang terdapat pasal di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang mengatur lembaga atau institusi mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa yakni Pasal 37 ayat (6) yang berbunyi: “dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perseisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat.” Jangka waktu yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa. Namun Ketentuan tersebut tidak diatur secara rinci bagaimana mekanismenya.
Tidak jelasnya pengaturan dan tidak tepatnya lembaga yang berwenang dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa menimbulkan berbagai permasalahan. Turut campurnya bupati sangat tidak sesuai dengan asas otonomi asli yang dimiliki desa. Para pihak dengan keterpaksaan harus menyelesaikan sengketa kepada bupati karena telah diatur di dalam undang-undang. Padahal independensi bupati patut dipertanyakan dan para pihak belum tentu sepakat untuk menyelesaikan sengketa di muka bupati.
Sebagai penyelenggara pemerintahan yang diusung oleh partai politik, peran bupati dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala desa dikhawatirkan akan menimbulkan kepentingan yakni calon yang dimenangkan adalah calon yang memiliki koneksi dengan bupati dengan harapan politik balas budi. Kekuasaan koneksi adalah kekuasaan yang timbul karena hubungan yang dijalin dengan orang-orang yang berpengaruh, baik di luar maupun di dalam organisasi aatu institusi pemerintahan.
Disinilah titik ambiguitas dari regulasi penyelesaian sengketa dan perselisihan pilkades serentak di luar lembaga peradilan atau lembaga alternative yang harus di lakukan seorang bupati atau lebih dikenal dengan alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution). Di Indonesia istilah ADR (alternative dispute resolution) relatif baru dikenal, tetapi sebenarnya penyelesaian-penyelesaian sengketa secara konsensus sudah lama dilakukan oleh masyarakat yang intinya menekankan pada upaya musyawarah mufakat, kekeluargaan, perdamaian, dan sebagainya .
Di dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mendefinisikan: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”
Pengertian di atas mengandung unsur yang terpenting adalah “prosedur yang disepakati para pihak.” Di dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala desa, para pihak memang betul-betul terpaksa harus menyelesaikan sengketa kepada bupati karena telah diatur di dalam undang-undang. Padahal independensi bupati patut dipertanyakan dan para pihak belum tentu sepakat untuk menyelesaikan sengketa di muka bupati.
Di selesaikannya Perselisihan atau sengketa Pilkades oleh bupati yang putusannya harus dengan menerbitkan Surat Keputusan tentang Pengesahan Calon Kepala Desa Terpilih. Akibatnya Surat Keputusan tersebut melalui proses yang panjang harus digugat oleh calon yang kalah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) .
Sebagaimana kita ketahui bahwa di PTUN menggunakan acara pemeriksaan biasa, apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati/Walikota belum ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat menimbulkan kekosongan jabatan Kepala desa dan akhirnya menjadi masalah baru. Rekan sejawat saya Peneliti Muda Universitas Brawijaya Bisma Anggara Putra mengatakan “… yang paling penting dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala desa adalah wajib menunjuk lembaga mana yang berwenang menyelesaiakannya, bukan pada intervensi atau turut campur pemerintah daerah kabupaten sebagai lembaga yang menyelesaikan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan asas otonomi asli sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia di mana negara menghormati dan mengakui hak asal-usul masyarakat adat dalam hal ini desa”.
Kehadiran negara terhadap desa seharusnya bukan sebagai sebuah intervensi, campur tangan, bahkan pemaksaan kehendak yang akan melemahkan otonomi asli desa. Tetapi apabila negara tidak hadir juga bukan hal yang tepat. Negara dalam memaknai desa harusnya memberikan fasilitas seperti di dalam konstitusi yaitu penghormatan dan pengakuan. Hal ini dilakukan negara melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang memperkuat otonomi asli. Emansipasi lokal membutuhkan pengakuan (rekognisi) oleh negara, dan negara perlu mengambil langkah fasilitasi terhadap berbagai institusi lokal.
Oleh karena itu dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala desa, pemerintah (negara) perlu memfasilitasi dengan dasar hukum dalam perundang-undangan yang mengatur dan mengakui musyawarah desa sebagai mekanisme pertama dan utama penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala desa. Dengan demikin relasi negara dan desa dapat terbentuk dan demokrasi lokal semakin kuat. (**)