Muna Barat, panjikendari.com – Pagi itu di halaman Kantor Bupati Muna Barat, matahari belum terlalu tinggi. Namun suasananya terasa berbeda. Barisan ASN berdiri rapi mengikuti apel, tak menyangka bahwa pagi ini akan jadi saksi dari satu pidato yang lebih terasa seperti kejujuran yang lama tertahan.
La Ode Darwin, Bupati Muna Barat yang baru beberapa bulan menjabat, berdiri di hadapan mereka. Ia tidak membawa kabar baik. Ia membawa kenyataan.
“Tahun depan, 2026, ini masa-masa kritis bagi kita,” katanya. Suaranya tenang, tapi isi pesannya seperti palu godam. Dengan penerimaan 1.400 tenaga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dan lebih dari 300 CPNS, beban pengeluaran daerah akan melonjak drastis. “Hitungan sementaranya, kita butuh sekitar Rp80 sampai Rp90 miliar untuk menggaji mereka,” tegasnya.
Padahal, saat ini belanja pegawai sudah menyentuh angka 48 persen dari APBD. Dan tahun depan, diperkirakan menembus 60 persen lebih. “Bahaya ini,” katanya.
Tak berhenti di situ. Darwin menyoroti juga sumber pendapatan yang belum membanggakan. “PAD kita belum sampai Rp20 miliar,” ucapnya. Sebuah ironi, karena daerah lain—yang tidak lebih tua usianya—sudah bisa mengumpulkan ratusan miliar. Di tengah beban itu, ASN tetap menerima Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP), meski kontribusi pelayanan sering kali belum sebanding.
“Kalau tidak memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka In Syaa Allah nanti Bapak akan pertanggungjawabkan di akhirat,” tegas Darwin. Kalimat itu menggema, bukan sekadar teguran dunia, tapi peringatan untuk sesuatu yang lebih kekal.
Darwin tidak datang dari jalur birokrasi. Ia adalah eksekutif muda di dunia industri tambang—pernah memimpin perusahaan nikel di Kabaena, Morowali, hingga Maluku Utara dengan 10.000 karyawan di bawah tanggung jawabnya. Tapi kini ia menghadapi medan yang sama sekali berbeda.
“Saya pikir Muna Barat ini baik-baik saja. Ternyata tidak,” ucapnya lirih. Ia mendapati kenyataan yang lebih buruk dari ekspektasinya. Bukan hanya dari sisi keuangan, tapi juga mentalitas.
“Pegawainya sudah malas,” katanya terus terang.
Beberapa hari sebelumnya, Darwin mengikuti retreat bersama para kepala daerah dari berbagai wilayah di Indonesia. Di Magelang, ia sekamar dengan Wali Kota Palangkaraya, Kupang, dan Parepare. Saat obrolan beralih ke soal Pendapatan Asli Daerah, Darwin nyaris tak sanggup menjawab.
“Mereka sebut PAD-nya Rp200, Rp300, bahkan Rp500 miliar. Saya ditanya, saya jawab, ‘Tidak sampai Rp20 miliar.’ Saya diketawai. Malunya minta ampun,” kenangnya. Tertawa itu bukan sekadar candaan. Tapi tamparan. Tamparan akan ketertinggalan.
Namun yang paling menyakitkan bukan soal angka. Tapi soal martabat.
Ia bercerita tentang kondisi fisik pemerintahan yang memilukan. Kantor bupati hanya bekas kantor camat. Gedung DPRD masih numpang. Kantor dinas terpencar di bangunan eks Puskesmas Pembantu (Pustu) yang tak lagi layak. “Saya diketawai, Bapak-Ibu sekalian. Kasihan. Malu saya, Pak.”
Tapi Darwin bukan sedang cari simpati. Ia sedang mengajak semua orang untuk bangkit. Untuk berhenti hidup di bawah bayang-bayang keterbatasan dan mulai menatap ke depan dengan semangat baru.
“Saya tidak butuh pujian. Tapi kalau kita masih mengelola daerah ini sesuka hati, menggambar suka-suka, maka yakinlah, Muna Barat akan semakin miskin. Pemerintahan akan lebih amburadul,” katanya.
Ia bahkan tak ragu bicara soal masa jabatannya. “Kalau Bapak-Ibu sekalian tidak ingin saya dan Pak Ali Basa memimpin lagi lima tahun ke depan, maka saya tidak akan lanjut. Tapi kalau kita mau sama-sama berjuang, In Syaa Allah, Muna Barat bisa kita bangun jadi lebih baik.”
Pagi itu, yang disampaikan Darwin bukan sekadar pidato apel. Itu adalah pengakuan. Sebuah ajakan jujur untuk berhenti pura-pura dan mulai bekerja. Di hadapan para ASN, ia tak hanya menyampaikan laporan fiskal. Ia menyampaikan rasa malu, rasa tanggung jawab, dan tekad untuk bangkit.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, Muna Barat mendengar suara seorang pemimpin yang tak sekadar ingin dikenang—tapi ingin benar-benar memperbaiki.
Hari itu, Muna Barat bukan hanya mendengar pidato seorang bupati. Tapi suara kejujuran yang selama ini mungkin terlalu lama dikubur dalam diam. (*)