panjikendari.com – Tidak perlu banyak bicara untuk menunjukkan siapa kita, karena yang terpenting adalah membuktikan dalam tindakan apa yang kita punya. Yah seperti itulah prinsip hidup yang dipegang teguh Syaifuddin Gani.
Pria Kelahiran Polewali Mandar, 13 September 1978 ini dikenal sebagai sosok yang tidak suka mengumbar omongan. Segala potensi yang melekat dalam dirinya diketahui orang melalui bukti dan prestasi, bukan karena promosi apalagi membanggakan diri.
Namun, bukan berarti ia tak berbesar hati dengan raihan yang sudah dicapainya. Kesyukurannya diimplementasikan melalui ragam karya penuh motivasi yang menginspirasi, dan semua dimulai dari buku.
Alumni Universitas Halu Oleo Kendari ini memang hobi membaca. Ia menekuni kegemarannya itu sejak kecil. Ia sangat tertarik pada buku-buku sastra.
Kecintaannya pada bidang sastra diawali dengan bergabung di sanggar teater sendiri. Bersama beberapa rekannya, Syaifuddin yang akrab disapa “Om Pudink” itu berkeinginan kuat membesarkan sastra di Sulawesi Tenggara. Ia mulai belajar dan mengasah minatnya di bidang teater, puisi, dan essai.
Sudah banyak puisinya yang diciptakannya. Terangkum dalam antologi bersama, seperti: Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi, Sendiri 3, Kendari, Ragam Jejak Sunyi Tsunami, Medan Puisi, 142 Penyair Menuju Bulan, Bunga Hati Buat Diah Hadaning, Tanah Pilih, Wajah Deportan, Pedas Lada Pasir Kuarsa, Tua Tara No Ate, Berjalan ke Utara, Puisi Indonesia Mutakhir, Rumpun Kita, Beternak Penyair, Percakapan Lingua Franca, Negeri Abal-Abal, Menapak ke Arah Senja, Taman Kata di Halaman Bahasa,Kinoho: Karya Sastra Baru Tolaki (2016), dan Negeri Awan.
Tentu karyanya tidak dihasilkan begitu saja. Bukulah yang sangat berkontribusi dalam setiap goresan puisinya. Dengan banyak membaca, ia memiliki seabrek referensi untuk merangkai kata per kata menjadi bait indah sarat makna.
Sudah banyak media massa yang mengapresiasi karya Om Pudink dengan menyiapkan kolom dalam halaman koran maupun majalah untuk dimuat sebagai konsumsi publik. Media-media tersebut diantaranya, Horison, Republika,
Seputar Indonesia, Lampung Post, Fajar Makassar, Radar Sulbar, Kendari Pos, Pikiran Rakyat, serta beberapa majalah, jurnal, dan media online.
Hal yang lebih membanggakan, puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Annie Tucker dan dipublikasikan oleh Lontar Foundations di situs Indonesia Translations Literature.
Dalam bidang teater, peneliti sastra pada Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara ini juga sudah memiliki banyak pengalaman pentas di dalam maupun di luar kota.
Tahun 2005 menjadi awal baginya menampilkan penghayatan peran yang ia lakoni dengan tour pentas di empat kota di Pulau Jawa, yakni, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan Jakarta, bersama komunitas Teater Sendiri Pimpinan Achmad Zain, tempatnya belajar sastra dan teater.
“Saat pentas pertama kali di IAIN Sunan Ampel Surabaya, saya pangling dengan suasana kampus yang sangat literat. Di setiap sudut dinding kampus terdapat poster ajakan diskusi atau bedah buku. Mulai buku agama, novel, puisi, filsafat, dan sains. Sebuah tradisi intelektual yang sangat jarang saya temui di Kendari. Saya berpikir, betapa tertinggalnya kami di Kendari. Jika pulang ke Kendari nanti saya harus buat perpustakaan komunitas,” kenangnya.
Syaifuddin lalu berpikir keras bagaimana mewujudkan impiannya itu. Tentu bukan perkara mudah pikirnya, untuk mengumpulkan berbagai koleksi buku. “Susah bukan berarti tidak bisa,” batinnya.
Ia lalu menggunakan berbagai strategi untuk memuluskan mimpinya. Syaifuddin mengawalinya dengan bermohon ke berbagai lembaga.
“Usai Pentas Keliling Empat Kota di Jawa, kawan-kawan saya pulang ke Kendari. Di Jakarta saya masih tinggal sekitar tiga bulan di kos-kosan teman saya Iwan Comcom. Mulailah saya melakukan misi mencari buku di ibukota. Misi saya adalah mencari dan mengikuti bedah buku. Siapa tahu ada buku gratis yang dibagi. Alhamdulillah, puisi pertama saya dimuat di Harian Republika, honornya cair. Saya gunakan biaya hidup dan membeli beberapa buku.”
“Saya lalu membuat surat permohonan bantuan buku ke beberapa lembaga di Jakarta. Saya menyurat ke Dewan Kesenian Jakarta dan bertemu langsung Ratna Sarumpaet, Ketua DKJ saat itu. Dua dus buku yang diambil dari Bank Naskah, diserahkan Ratna. Saya menyurat ke Ketua GKJ. Satu dus buku diberikan. Saya menyurat ke Dinas Pendidikan dan Museum DKI Jakarta. Satu dus buku disumbangkan. Beberapa aktor Bengkel Teater Rendra juga memberikan buku. Saya lalu menyurat ke Majalah Horison. Buku Horison Sastra Indonesia, yang terkenal itu, disumbangkan oleh Jamal D. Rachman.”
“Saya juga menyurat ke Teater Utan Kayu, beberapa buku keren disumbangkan oleh Sitok Srengenge. Di TIM saya bertemu Rieke Diah Pitaloka, saya memperkenalkan diri sebagai musafir dari Kendari yang ke Jakarta untuk mencari buku. Ia memberi saya nomor kontak sekretarisnya. Setelah sang sekretaris saya hubungi, saya lalu dikirimkan satu dus buku ke Kendari. Aksi meminta buku di Jakarta yang sumpek saya lakukan dengan jasa damri dan bajaj,” kisahnya.
Dengan buku yang sudah dimiliki, keinginan Syaifuddin untuk mendirikan perpustakaan terwujud. Dibantu beberapa rekan, ia mulai merintis perpustakaan Pustaka Sendiri penamaan Achmad Zain sebagai pembina di Teater Sendiri.
Namun, Pustaka Sendiri tidak bertahan lama. Kesibukan pengurus termasuk Syaifudiin membuat perpustakaan itu tidak berjalan seperti harapan awalnya.
Meski demikian, Syaifuddin tak surut semangat. Apalagi, sejak bekerja di Kantor Bahasa Provinsi Sultra, minatnya dalam sastra dan literasi semakin tersalurkan.
Ia kembali merangkai mimpinya, melanjutkan usaha yang pernah ada dengan membangun perpustakaan di kediamannya. Namanya Pustaka Kabanti. Mulai bergerak pertengahan tahun 2016.
Rupanya banyak yang tertarik memanfaatkan Pustaka Kabanti untuk menambah wawasan. Mulai dari anak-anak, mahasiswa hingga para pegiat literasi memanfaatkan koleksi-koleksi di perpustakaan itu untuk berbagai kebutuhan memperkaya ilmu.
Apa yang dilakukan peraih kategori lima besar Anugerah Puisi Cecep Syamsul Hari tahun 2011 itu dilirik oleh pemerintah pusat.
Bulan Mei 2017, pria yang pernah menerbitkan buku essai Perjalanan Cinta itu bersama pegiat literasi lainnya, diundang ke Istana Merdeka oleh Presiden Jokowi.
Aktif dalam berbagai kegiatan literasi membuat Ketua Forum TBM Sultra 2014-2019 ini semakin optimis dapat menyumbangkan hal positif mengembangkan minat baca generasi muda. Perpustakaan yang ia bangun semakin ramai setiap harinya. Koleksi bukupun kian bertambah.
Tak diduga, oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Tenggara, Syaifuddin Gani yang juga intens mengikuti kegiatan kesusasteraan di berbagai wilayah di Indonesia dan berjejaring dengan Pustaka Bergerak Indonesia, dinobatkan sebagai Duta Baca Sultra periode 2018-2020. Anugerah itu ia terima baru-baru ini.
Hanya berselang hari, Syaifuddin kembali mendapat apresiasi yang lebih mengejutkan, ia menjadi salah satu penerima penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional RI.
Suami Ita Windasari ini dinilai memiliki dedikasi dan sumbangan besar bagi perpustakaan dan minat baca di Indonesia secara terus menerus.
Kamis hari ini, 6 September 2018, reward bergengsi itu akan diterima Syaifuddin Gani di Integrity Convention Centre Jakarta, bersama penerima penghargaan lainnya dalam kategori berbeda.
“Apa yang saya raih termasuk saat ini sama sekali tidak pernah saya mimpikan. Saya hanya mencoba menjadi bagian dari upaya kecil untuk ikut terlibat mendorong budaya baca, dengan cara menyediakan buku. Penghargaan ini saya anggap sebagai ujian bagi saya di masa depan, agar saya masih terus berbuat bersama masyarakat dan kawan-kawan komunitas di Kendari dan Sultra. Jika kemudian mendapat apresiasi dalam bentuk penghargaan, saya anggap itu adalah lambaian tangan cinta dari pemerintah yang bertujuan terus melecut saya agar tidak lupa diri dan selalu berbuat.”
“Di sisi lain, saya juga mengapresiasi atas penghargaan ini dan ikut pula mengapresiasi kegiatan baca-tulis yang telah dikerjakan oleh teman-teman pegiat komunitas di Sulawesi Tenggara. Kepada merekalah penghargaan ini saya persembahkan. Setelah itu, saya akan kembali bekerja dan berbuat di Kendari dan sekitarnya,” harap Syaifuddin.
Penulis: Sarfiayanti