panjikendari.com – Layangan tradisional Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, yang biasa dikenal dengan nama Kaghati, ternyata sudah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia, oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Dr Ir Muhammad Nuh DEA.
Hal itu diketahui dengan adanya piagam penetapannya yang ditandatangani oleh Mendikbud Muhammad Nuh, tertanggal 16 Desember 2013. Piagam tersebut masih tersimpan di Kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Muna.
Selain piagam dari Kemendikbud tersebut, juga masih tersimpan piagam penghargaan pengesahan Kaghati Kolope sebagai Layang Kehormatan Bangsa yang dikeluarkan oleh Yang DiPertua Pihak Tempatan Pasir Gudang, Tan Sri Dato’ Muhammad Ali Hashim. Dari Malaysia.

Piagam penghargaan tersebut diberikan saat Festival Layang-Layang Antara Bangsa, di Bukit Layang-Layang, Taman Bandar, Pasir Gudang, Johor, Malaysia, tahun 2008.
Plt Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Muna, Amiruddin, mengatakan, penetapan Kaghati sebagai warisan budaya merupakan sebuah bentuk kepercayaan kepada Pemda dan masyarakat Muna.
Karena itu, kata Amir –sapaan Amiruddin-, Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan akan bekerjasama dalam rangka merawat kepercayaan tersebut untuk bisa membumikan bahwa Kaghati adalah kekayaan daerah.
Menurut mantan Kabag Humas Pemda Muna ini, membumikan Kaghati bisa dilakukan melalui berbagai macam cara. Misalnya, dengan memasukkan materi cara pembuatan Kaghati ke dalam kurikulum muatan lokal atau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Selain itu, lanjut Amir, karena Kaghati sudah menjadi budaya Muna maka penting untuk diciptakan kegiatan-kegiatan atau festival-festival yang bisa mendorong agar Kaghati bisa dikenal.
“Tidak hanya dikenal di Sulawesi Tenggara, tetapi juga bisa dikenal di Inonesia dan Internasional,” kata Amir, kepada panjikendari.com, Kamis, 06 September 2018.
Amir menyampaikan, penetapan Kaghati sebagai warisan budaya Indonesia bukan tanpa alasan. Salah satunya karena Kaghati merupakan peninggalan masa purba kala, berdasarkan hasil penelitian ahli layang-layang dunia asal Jerman bernama Wolfgang.
Hasil risetnya, yang meneliti gambar layang-layang di Gua Patani di Desa Liangkobori, Wolfgang membuktikan bahwa Kaghati merupakan layang-layang pertama di dunia yang sudah berumur sekitar 4.000 tahun, jauh lebih tua dibanding layang-layang yang diklaim China, hanya berusia 2.800 tahun.
“Menurut penelitian Wolfgang, gambar di Gua Patani itu lebih tua daripada klaim China. Kemudian, layang-layang di China berkembang pada zaman orang sudah mengenal kertas. Sementara kita masih menggunakan dedaunan. Itu mungkin salah satu pertimbangannya sehingga pemerintah kemudian menetapkan Kaghati sebagai warisan budaya Indonesia,” ujar Amir.

Olehnya itu, sambung Amir, dalam rangka melestarikan Kaghati sebagai budaya Indonesia dan sebagai identitas budaya Muna, maka perlu sinergitas lintas sektoral dan masyarakat Muna. Termasuk dibutuhkan peran akademisi untuk menjadikan Kaghati sebagai kajian kebudayaan.
Kata Amir, yang perlu mendapat kajian atau studi khusus adalah bagaimana hubungan masyarakat Muna pada saat itu dengan Kaghati. Apakah Kaghati hanya sekedar untuk permainan anak muda atau orang tua di kala senggang atau ada nilai filosofi yang mampu menggambarkan identitas budaya Muna.
“Itu juga yang penting saya kira. Perlu peran akademisi untuk bisa meneliti dan mengkaji soal Kaghati. Termasuk dengan nilai-nilai filosofinya,” pikir Amir.
Intinya, kata dia, bagaimana menghidupkan kembali budaya permainan Kaghati. Tentu dibutuhkan peran serta berbagai pihak. Permainan Kaghati sudah ada sejak zaman purbakala. Sudah menjadi budaya. Jika budaya ini bisa dikemas secara baik maka akan menjadi salah satu potensi wisata Muna. Menjadi salah satu destinasi wisata.
“Dan andaikata Kaghati sudah hidup kembali, kita akan dorong ke badan dunia dalam hal ini Unesco untuk ditetapkan menjadi warisan budaya dunia. Saya kira itu bisa kita lakukan. Kembali lagi kepada kita bagaimana bisa merawat budaya itu,” tutupnya.
Penulis: Jumaddin Arif