Sebuah kabar duka datang menyelinap. Menyesakkan dada. Wa Tile, perempuan renta yang tinggal di gubuk simpang tiga Polsek Poasia, telah berpulang. Tak ada lagi senyum ringkihnya saat menerima sedekah beras Jumat. Tak ada lagi sosoknya yang sibuk di kebun singkong kecil di samping rumah papan itu.
Wa Tile, kira-kira berusia 90 tahun, adalah salah satu penerima bantuan beras dari para dermawan. Awalnya, namanya disebut oleh Nenek Nahi, perempuan renta juga nan tangguh dari Lorong Kristal.
“Omeowaane dua itu Wa Tile?” tanya Nenek Nahi dalam bahasa Muna. “Kita bawakan juga itu Wa Tile?”
Saya pun bertanya tentangnya. Nenek Nahi menjelaskan dengan rinci, menggambarkan rumah panggung berdinding papan itu seolah saya sudah pernah ke sana. Maka berangkatlah saya, mengendarai si Revo lancip merah membawa beberapa karung beras kemasan 5 kg, titipan orang-orang baik.
Tiba di depan rumah, saya bersalam. Tak ada sahutan. Saya coba lagi.
“Wa’alaykumussalam, lahaeno itua?” Artinya: Siapa itu? terdengar suara dari arah kebun singkong.
Saya menoleh. Dari balik rimbun tanaman, muncul sosoknya. Renta, tapi masih sigap. Di tangannya ada tembilang, alat pertanian yang biasa ia gunakan untuk menggali tanah atau membersihkan gulma.
Kami berkenalan. Saya menjelaskan tujuan kedatangan saya, juga tentang bantuan beras yang ia terima. Ia sempat ragu, tak percaya ada yang mengiriminya beras tanpa diminta. Namun setelah saya yakinkan, wajahnya berubah. Ada kilatan bahagia di matanya yang telah diselimuti usia.
Sejak hari itu, tiap Jumat, Wa Tile mendapat sedekah beras dari pelanggan tetap saya—bersama Nenek Nahi di Lorong Kristal, mendiang Nenek Eko di Lorong Jambu, serta beberapa kaum dhuafa lainnya.
Suatu Jumat pagi, ketika saya kembali membawa beras untuknya, Wa Tile tampak lebih pendiam dari biasanya. Sambil menyalakan tungku kayunya, ia bercerita pelan.
“Dombolakue mie paeku,” katanya dengan suara lirih. Artinya; “Dicuri orang berasku.” Saya tertegun.
Ia tidak marah, tidak mengumpat. Hanya ada raut sedih di wajahnya. Ia mencoba tersenyum, tetapi matanya tampak berkaca-kaca. Saya bisa merasakan perasaannya saat itu—beras itu bukan sekadar makanan baginya, tetapi harapan untuk bertahan di hari-hari berikutnya.
Saya hanya bisa menenangkan, berjanji akan membawakannya lebih banyak jika ada rezeki lebih dari para dermawan.
Tapi beberapa bulan terakhir, gubuk itu mulai sepi. Bantuan itu tak lagi sampai ke gubuknya. Wa Tile dikabarkan sakit. Ia tak lagi tinggal di sana, melainkan dirawat oleh keluarganya.
Lalu kabar itu datang. “Nokalamo. Indewi ifituno,” kata Nenek Nahi saat saya temui Jumat kemarin, 28 Februari 2025. Sudah meninggal. Kemarin tujuh harinya.
Wa Tile ternyata menghembuskan napas terakhirnya di Luwuk, Sulawesi Tengah. Anaknya menjemputnya di Kendari, membawanya pulang karena sakitnya semakin parah. Dua hari setelah tiba di Luwuk, ia berpulang.
Kini, gubuk itu kosong. Kebun singkongnya mungkin masih berdiri tegak, tapi pemiliknya telah pergi.
Dan sedekah beras yang dulu rutin sampai ke tangannya, tak lagi ada yang menerimanya. (*)
Penulis: Jumaddin (Penjual Beras)