Salah seorang anak Kendari yang sukses di rantau orang, sebut saja Arman, mungkin sudah lama pergi dari kampung halamannya, tapi hatinya tak pernah benar-benar pergi. Setiap Ramadan, ia selalu kembali—bukan dengan langkah kaki, tapi dengan kepedulian. Butir-butir cintanya hadir dalam karung-karung beras yang dia pesan untuk mereka yang membutuhkan.
Pesan WhatsApp darinya datang seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Tolong bagikan kita lagi beras, nah. Nanti carikan mi kita orang-orangnya. Seperti tahun lalu,” tulisnya.
Saya tersenyum. Ada lagi proyek bagi-bagi beras. Arman ingin berbagi lagi. Seperti biasa, saya mulai mencatat nama-nama penerima. Tahun ini jumlah berasnya lebih banyak. Itu artinya, lebih banyak dapur yang bisa mengepul. Lebih banyak senyum yang akan muncul.
Beberapa nama dalam daftar tahun lalu sudah tiada. Ibu Wa Tile, misalnya. Tahun lalu, ia menyambut bantuan ini dengan penuh rasa syukur. Tahun ini, rumah panggungnya kosong. Ia telah pulang lebih dulu ke haribaan-Nya.
Tapi masih banyak yang lain. Seperti Nenek Nahi. Perempuan tua yang hidup sendiri di rumah kecil semi permanen polesan PKH. Saat saya kabari bahwa ada beras untuknya lagi, ia sangat senang.
“Alee..koramanuho barangka nagha bela. Alhamdulillah…,” katanya. Butir-butir cinta itu kini ada di tangannya.
Di tempat lain, ada Ibu Lisa, seorang janda dengan empat anak. Suaminya meninggal beberapa tahun lalu karena sakit. Sejak saat itu, ia berprofesi sebagai asisten rumah tangga agar anak-anaknya tidak kelaparan. Saat saya antarkan Ahad pagi tadi, 2 Maret 2025, ibu paruh baya ini sedang membersihkan rumput di belakang rumah. Dia muncul dengan keringat di wajah sambil memegang tembilang.
Saya sampaikan kalau ada beras gratis dari Arman. “Tarima kasih, bapa A Panji,” ujar Lisa yang memiliki gangguan di pendengarannya, dengan senyum khasnya.
Orang-orang seperti mereka selalu menyambut Ramadan dengan perasaan campur aduk. Bahagia karena bulan suci datang. Tapi juga cemas, karena tak tahu apakah dapur mereka bisa tetap mengepul hingga Lebaran tiba.
Ramadan memang bulan penuh berkah, di mana setiap kebaikan dilipatgandakan pahalanya. Berbagi kepada sesama, terutama kepada mereka yang kekurangan, bukan sekadar bentuk kepedulian, tetapi juga amalan yang sangat dianjurkan. Rasulullah adalah sosok yang paling dermawan, dan saat Ramadan tiba, kedermawanannya semakin bertambah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.
Tak hanya itu, berbagi di bulan Ramadan juga menjadi jalan untuk membersihkan harta dan jiwa. Zakat, infak, dan sedekah yang dikeluarkan di bulan ini akan memberikan manfaat besar, bukan hanya bagi penerima, tetapi juga bagi pemberi. Islam mengajarkan bahwa harta yang dibelanjakan di jalan Allah tidak akan berkurang, melainkan bertambah dengan keberkahan yang tidak terduga.
Bagi Arman, berbagi bukan sekadar kebiasaan. Ia melakukannya dengan hati yang tulus. Ramadan baginya adalah waktu untuk memberi, meski jarak memisahkannya dari tempat ia dibesarkan.
Arman tidak tahu cerita-cerita ini secara langsung. Tapi entah bagaimana, dia selalu bisa merasakannya. Bertahun-tahun merantau tak membuatnya lupa. Butir-butir cinta yang ia taburkan dari jauh, tetap menemukan jalannya.
Seperti Ramadan sebelumnya, saya memastikan semuanya berjalan lancar. Agar setiap butir beras ini sampai ke tangan yang tepat. Agar setiap penerima merasakan ketulusan yang ada di dalamnya.
Butir-butir beras itu tidak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menghangatkan hati. Ada rasa syukur yang mengalir dalam setiap suapan.
Di wajah-wajah itu ada senyum. Senyum yang sederhana, tapi menghangatkan hati siapa pun yang melihatnya.
Ramadan selalu punya cerita. Kali ini, cerita tentang butir-butir cinta dari seorang anak Kendari. Tentang kepedulian yang tak lekang oleh waktu. Tentang seseorang yang mungkin jauh, tapi hatinya tetap pulang. (*)
Penulis: Jumaddin (Penjual Beras)