panjikendari.com – Penolakan rencana penambangan batu kapur di Kecamatan Watopute, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara terus disuarakan. Ada semangat Selingkuh (selamatkan lingkungan hidup) di balik penolakan tersebut.
Masyarakat setempat menilai, penambangan batu kapur yang rencananya bakal dilakukan oleh PT Gemilang Usaha Persada akan lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya bagi masyarakat.
Disatu sisi, segelintir masyarakat akan mendapatkan keuntungan dengan menjadi pekerja pada aktivitas tambang dimaksud. Namun, persoalan baru akan muncul setelah kegiatan tambang mulai berjalan.
Salah seorang tokoh pemuda masyarakat Watopute, Aswat Hanafi, menegaskan, tambang batu kapur atau karts yang rencananya akan mengeksploitasi potensi kapur di gugusan bukit Baluara-Lakokuli-Harimau Kontu-Wasirikamba, dipastikan bertentangan dengan asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Asas-asas dimaksud antara lain, asas kelestarian dan keberlanjutan, termasuk asas keserasian dan keseimbangan.
“Pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem,” kata Aswat.
Ketua Komunitas Seroja Merah Watopute ini, menambahkan, tambang karts hanya akan merusak lingkungan hidup, dan hampir dipastikan tidak akan memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Kapur dikeruk, debu akan beterbangan di pemukiman penduduk. Ancaman penyakit akibat debu kapur tak bisa dihindarkan. Ada 7 desa di Kecamatan Watopute yang bakal terkena dampak dari aktivitas tambang itu,” tutur Aswat.
Selain ada semangat selamatkan lingkungan hidup (selingkuh), penolakan tambang karts juga mengusung jargon sebantal (selamatkan bentang alam).
Sehubungan dengan itu, Ongky -sapaan Aswat Hanafi- meminta kepada pemerintah daerah untuk mengkaji terlebih dahulu plus-minus dari kegiatan penambangan tersebut dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat wilayah yang akan terkena dampak tambang.
Pastinya, menurut Ongky, masyarakat tidak akan diuntungkan dengan tambang karts itu. Hanya segelintir orang saja yang merasakan keuntungan. Itupun tidak berlangsung lama.
“Karena begitu perusahaan tuntas mengambil kapurnya, mereka akan pergi meninggalkan kampung dan mewariskan berbagai persoalan bagi masyarakat dan generasi selanjutnya,” kata Ongky.
Ongky melihat, Pemda Muna mengedepankan orientasi profit ketimbang kepentingan kesejahteraan masyarakat sehingga ngotot mendatangkan investor tambang kapur.
Sementara itu, tokoh pemuda Watopute lainnya yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UHO Kendari, Edy Samiel, menyatakan, kehadiran tambang batu kapur di Watopute akan merusak nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakat.
“Akan banyak permasalahan yang timbul akibat pertambangan karst, baik masalah sosial terkait konflik antara pendukung dan penolak tambang, hingga risiko terhadap bencana,” kata Edy.
Belum lagi, situs budaya yang dijadikan tempat sakral masyarakat setempat terancam tergusur jika tambang masuk. Disamping itu, hewan-hewan yang hidup di pegunungan karst seperti kelelawar, burung walet, dan ekosistem lainnya akan terusik. Lahan perkebunan masyarakat sekitar akan terganggu.
Sependapat dengan Ongky, Edy Samiel memandang, Pemda lebih mengutamakan kepentingan kapitalis ketimbang kepentingan masyarakat.
“Bukannya kami tidak mendukung upaya Pemda dalam membuka ruang investasi di Muna. Tapi dipikirkan jugalah bagaimana dampaknya tehadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat,” katanya.
Edy justru berpikir, masyarakat Watopute akan mendukung jika Pemda Muna menjadikan gugus bukit Baluara-Lakokuli-Harimau Kontu-Wasirikamba sebagai kawasan agrowisata dengan memanfaatkan lahan pertanian sepanjang kaki bukit di wilayah Molo.
Olehnya itu, mantan Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Sultra ini meminta kepada Pemda Muna untuk meninjau kembali rencananya dalam mendatangkan investor tambang kapur di Kecamatan Watopute, dengan mempertimbangkan segala aspek, khususnya aspek sosial budaya dan lingkungan. (jie)