Pintu kios itu tertutup rapat, tapi di depannya ada kehidupan kecil yang tetap berdenyut. Beberapa sisir pisang menggantung di paku-paku yang tertancap di kayu pintu. Sebagian masih hijau, sebagian lagi mulai menguning. Wa Sima duduk bersila di lantai semen, beralas kardus bekas yang mulai melembut oleh waktu. Tangannya yang keriput menggenggam lembaran Al-Qur’an, bibirnya bergerak pelan mengikuti baris demi baris ayat suci.
Yang mengejutkan, di usianya yang hampir satu abad, matanya masih tajam. Ia membaca tanpa kacamata. Tak ada yang perlu diperbesar. Huruf-huruf Arab itu masih jelas di matanya, sejelas keyakinannya pada ketentuan hidup.
Ramadan ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, ia bertekad khatam tiga kali. Sehari tiga juz. Itu sudah jadi rutinitasnya bertahun-tahun.
“𝑇𝑜𝑙𝑢 𝑗𝑢𝑧 𝑠𝑒𝑔ℎ𝑜𝑙𝑒𝑜,” katanya dalam bahasa Muna. Tiga juz sehari.
Pakaian yang ia kenakan sederhana: gamis bermotif cokelat yang sudah mulai pudar, dipadu dengan kerudung hitam polos bertabur payet kecil di ujungnya. Kain itu menutupi rambutnya yang sebagian besar sudah memutih. Tangannya yang kurus penuh kerutan, seperti pohon tua yang telah banyak diterpa angin. Ia tak pernah memakai alas kaki. Sandalnya yang sudah usang diletakkan di sudut emperan, seakan tak ingin menghalangi nyamannya duduk bersila.
𝐏𝐫𝐢𝐧𝐬𝐢𝐩 𝐇𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐤 𝐋𝐮𝐧𝐭𝐮𝐫
Banyak hal dalam hidupnya yang berubah. Dulu, Wa Sima masih kuat berjualan sayur-mayur di pasar Loghia, Kabupaten Muna. Tomat, cabai, kangkung. Tapi tiga tahun lalu, kakinya terkilir parah setelah tergelincir di pasar. Sejak itu, ia tak bisa lagi berjalan normal. Harus menggunakan tongkat.
“Tidak apa-apa, saya masih bisa jualan,” katanya pelan.
Begitulah cara hidup Wa Sima. Tak suka bergantung. Tak ingin menyusahkan anak-anaknya. Meski punya tujuh anak yang masih hidup —empat laki-laki dan tiga perempuan— dari total 12 bersaudara, ia tetap berusaha sendiri.
Anaknya yang di Kendari, tempat ia menumpang tinggal, juga sibuk mengurus pesantren di Pondidaha. Maka Wa Sima memilih untuk berjualan pisang di emperan kios yang kebetulan kosong. Bukan miliknya, hanya numpang.
“Mumpung ini kios tidak dipakai, jadi saya pake-pake dulu,” ujarnya sambil tersenyum.
Setiap hari ia mulai berjualan pagi, bersandar pada tongkatnya, membawa beberapa sisir pisang menuju emperan kios bekas di Jalan Singa, kompleks BTN Batumarupa, Kelurahan Wumbubatu, Kecamatan Poasia, Kota Kendari. Menunggu pembeli hingga malam. Hanya istirahat sejenak jika matahari sudah tergelincir. Kalau ada yang laku, bisa untuk makan. Kalau tidak, ya besok lagi.
“Rezeki itu sudah diatur, kita tinggal menunggu jatahnya,” katanya mantap.
Hidup baginya adalah soal menerima dan menjalani. Apa pun yang terjadi, harus diterima dengan ikhlas. Harus dijalani tanpa banyak mengeluh.
𝐀𝐥-𝐐𝐮𝐫’𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐤𝐚𝐚𝐧
Wa Sima tidak pernah lepas dari Al-Qur’annya. Sejak masih di kampungnya, ia dikenal sebagai orang yang siap membantu mengkhatamkan Al-Qur’an setiap kali ada keluarga yang berduka. Saat ada kematian di desa, Wa Sima akan bergabung dengan para ibu-ibu, membagi bacaan Al-Qur’an dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam sehari, mereka bisa menuntaskan 30 juz bersama.
Ketika ia pindah ke Kendari, ia membawa serta Al-Qur’an yang terpisah juz per juz. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk dipakai jika ada keluarga atau kenalan yang membutuhkan. Ia paham betul, di tengah kesedihan karena kehilangan, ada ketenangan yang datang dari ayat-ayat suci.
“Supaya kalau ada yang mau khatam di kedukaan, saya punya Al-Qur’an,” katanya.
Tangan Wa Sima begitu akrab dengan lembaran mushaf. Ia membacanya setiap hari, tanpa perlu kacamata, tanpa perlu penerangan khusus. Huruf-huruf itu sudah terpatri dalam ingatannya.
𝐁𝐞𝐫𝐤𝐚𝐡 𝐑𝐚𝐦𝐚𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧-𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐃𝐞𝐫𝐦𝐚𝐰𝐚𝐧
Siang itu, Ramadan membawa berkah lagi. Seorang wanita paruh baya datang, membawa kantong plastik berisi sembako dan beras. Wa Sima menerimanya dengan tangan gemetar.
“𝐴𝑙ℎ𝑎𝑚𝑑𝑢𝑙𝑖𝑙𝑙𝑎ℎ,” ucapnya pelan.
Bukan pertama kali. Setiap Ramadan, selalu ada orang-orang baik yang singgah. Kadang memberi beras, kadang minyak goreng, kadang uang. Tapi bagi Wa Sima, bukan jumlahnya yang penting, melainkan niat baiknya.
“Kalau kita bersyukur, yang sedikit terasa cukup,” katanya.
Ia tidak meminta-minta, tapi juga tidak menolak rezeki yang datang. Hidupnya sudah ia serahkan sepenuhnya pada ketentuan Allah. Selama masih bisa, ia akan terus berusaha. Masih bisa berjualan pisang, masih bisa membaca Al-Qur’an, masih bisa berpuasa.
Di emperan kios yang sepi itu, ia menunggu. Bukan menunggu belas kasih, tapi menunggu rezeki yang datang dari arah mana saja. Kadang dari pembeli, kadang dari langit dalam bentuk lain.
Ramadan baginya bukan sekadar bulan ibadah. Ini adalah bulan pembuktian bahwa seberat apapun hidup, Allah tak pernah meninggalkan hambanya. (*)