Sejak dulu manusia telah menggunakan laut sebagai media perhubungan, wadah sumberdaya alam kelautan dan sebagai pijakan untuk meproyeksikan kekuatan dari darat. Pengelolaan laut tentunya memiliki manfaat yang begit besar sehingga membuat semua pihak atau negara ingin melakukan eksplorasi dan eksploitasi atas sumber daya tersebut termasuk dilaut lepas, sehingga terkadang menyebabkan timbulnya sengketa antar pihak-pihak termasuk antar negara dalam melaksanakan pengelolaannya.
Posisi Laut Natuna di Mata Internasional
Kawasan Laut Natuna Utara meliputi perairan dan daratan dari gugusan kepulauan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang luas dari negara Singapura yang dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan. Karena bentangan wilayah yang luas ini, dan sejarah penguasaan silih berganti oleh penguasa tradisional negara-negara terdekat, dewasa ini, beberapa negara, seperti Republik Rakyat China (RRC), Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam, terlibat dalam upaya konfrontatif saling klaim, atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut. Indonesia, yang bukan negara pengklaim, menjadi terlibat setelah klaim mutlak RRC atas perairan Laut Natuna Utara muncul pada tahun 2012.
Karena sejarah navigasi dan perniagaan yang panjang di sana, yang diikuti penguasaan silih berganti atas wilayah, negara-negara di kawasan, dan bahkan, luar kawasan, telah memberi nama yang berlainan untuk wilayah yang diperebutkan itu. Dalam kebanyakan bahasa yang digunakan para pelaut Eropa, laut tersebut disebut sebagai South China Sea, atau Laut Natuna Utara. Pelaut Portugis, orang Eropa pertama melayari wilayah perairan itu dan sekaligus memberikan nama, mengatakannya sebagai Mar da China, atau Laut China. Mereka kemudian mengubahnya menjadi Laut Natuna Utara. Demikian pula, Organisasi Hidrografik Internasional menyebutnya sebagai Laut Natuna Utara, atau Nan Hai (Laut Selatan) dalam Bahasa China. Yang lebih penting lagi, Laut Natuna Utara adalah kawasan perairan yang strategis, yang kaya sumber daya alam (SDA). Konflik antarnegara yang terlibat saling klaim kepemilikan atas pulau-pulau (kepulauan) di sana (claimant states) baru muncul di dasawarsa 1970, dan berulang kembali di dasawarsa 80, 90 hingga 2010 ini. Namun, tidak dapat disangkal di masa lalu, penguasa-penguasa tradisional dari Tiongkok (China) dan Vietnam, dan negara-negarabaik yang terlibat saling klaim sekarang maupun tidak itu, pernah terlibat memperebutkan kontrol atas wilayah perairan di sana.
Sengketa SDA di Natuna
Potensi kekayaan Laut Natuna Utara yang semakin dapat dieksplorasi belakangan ini mengungkapkan kepada dunia bahwa Paracel dan Spratly kemungkinan memiliki cadangan besar Sumber Daya Alam (SDA), terutama mineral, minyak bumi dan gas alam. Pemerintah RRC sendiri sangat optimistik dengan potensi SDA yang ada di sana melalui riset-riset yang terus dilaksanakannya. Berdasarkan laporan lembaga Informasi Energi Amerika (Energy Information Administration –EIA), RRC memperkirakan terdapatnya cadangan minyak di sana sebesar 213 miliar barel, atau sekitar 10 kali lipat cadangan nasional Amerika Serikat (AS).
Sedangkan para ilmuwan AS memperkirakan terdapat sekitar 28 miliar barel minyak di kawasan Laut Natuna Utara. Adapun EIA menginformasikan, cadangan terbesar SDA di sana kemungkinan berasal dari gas alam, yang diperhitungkan sekitar 900 triliun kaki kubik, atau sama dengan cadangan minyak yang dimiliki Qatar. Di samping itu, perairan kawasan Laut Natuna Utara merupakan rute utama perkapalan dan sumber pencarian ikan bagi kehidupan banyak orang dari berbagai negeri yang terletak di sekitarnya.
Sengketa kepemilikan atau kedaulatan teritorial di Laut Natuna Utara sesungguhnya merujuk pada kawasan laut dan daratan di dua gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly. Dalam kedua gugusan kepulauan tersebut terdapat pulau yang tidak berpenghuni, atol, atau karang. Wilayah yang menjadi ajang perebutan klaim kedaulatan wilayah ini terbentang ratusan mil dari Selatan hingga Timur di Provinsi Hainan. Republik Rakyat China (RRC) menyatakan klaim mereka berasal dari 2000 tahun lalu, saat kawasan Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari bangsa China. Menurut Pemerintah RRC, pada tahun 1947, Pemerintah RRC mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan RRC atas wilayah Laut Natuna Utara. Keterangan Pemerintah RRC itu dibantah Pemerintah Vietnam, yang juga mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut, dengan mengatakan bahwa Pemerintah RRC tidak pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Spratly sampai dasawarsa 1940. Pemerintah Vietnam kemudian menyatakan bahwa dua kepulauan itu masuk wilayah mereka, bukan wilayah RRC, sejak abad ke-17, dan mereka memiliki dokumen sebagai bukti.
Filipina juga memiliki klaim kedaulatan yang sama, dengan mengangkat kedekatan geografis ke Kepulauan Spratly sebagai dasar klaim terhadap sebagian wilayah kepulauan tersebut. Juga, Malaysia dan Brunei memiliki klaim kedaulatan terhadap sebagian kawasan di Laut Natuna Utara. Menurut kedua negara bertetangga dekat itu, perairan Laut Natuna Utara masih dalam kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka, seperti yang ditetapkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982. Memang Brunei tidak mengklaim kepemilikan wilayah atas dua kepulauan itu, sementara Malaysia, menyatakan bahwa sejumlah kecil kawasan di Spratly adalah kepunyaan mereka.
Konflik Tak Berujung
Show of force dan manuver agresif dan provokatif, dan bahkan, konflik terbuka di kawasan Laut Natuna Utara telah terjadi berulang sejak dasawarsa 1970, selain telah berlangsung di masa lalu dalam sejarahnya. Hal ini diperlihatkan dengan silih bergantinya kontrol atau penguasa di wilayah itu, yang berdampak pada perubahan nama kawasan perairan tersebut. Bentrokan yang parah tercatat dalam tahun 1974, yang telah menewaskan tentara Vietnam. Pada tahun 1988 Angkatan Laut RRC dan Vietnam kembali terlibat konfrontasi di Spratly, dengan Vietnam kehilangan 70 personil militernya. Angkatan Laut Filipina juga pernah terlibat dalam ketegangan kecil dengan angkatan laut RRC, Vietnam, dan Malaysia. Konflik antara Angkatan Laut Filipina dan RRC pernah terjadi di Dangkalan Karang Scarborough. Begitu pula, antara Angkatan Laut Filipina dan Vietnam, yang sempat memanas setelah kapal dari kedua negara terlibat dalam provokasi yang saling memicu ketegangan.
Belakangan, Pemerintah RRC mengeluarkan pernyataan keras kepada negara-negara pengklaim kedaulatan atas Laut Natuna Utara untuk menghentikan kegiatan eksplorasi minyak dan mineral di kawasan perairan tersebut. Sebaliknya, Filipina menuduh Angkatan Laut RRC tengah membangun kekuatan militer di Spratly. Sementara, menurut sumber Vietnam yang tidak dapat dipastikan, Angkatan Laut RRC telah sengaja melakukan sabotase atas dua kegiatan eksplorasi Vietnam di Laut Natuna Utara, yang kemudian menimbulkan protes massal anti-RRC terbesar di Hanoi dan ibukota Ho Chi Minh. Pemerintah Vietnam pun tidak luput dari tudingan telah melakukan provokasi oleh RRC, karena telah mengadakan latihan militer dengan menggunakan peluru tajam di lepas pantai negaranya. Klaim mutlak atas seluruh wilayah perairan Laut Natuna Utara, yang dilancarkan pemerintah China secara tiba-tiba pada tahun 2012, telah memunculkan kekuatiran negara pengklaim dan non-pengklaim di sekitarnya, serta negara luar kawasan atas masa depan kontrol, stabilitas, dan keamanan wilayah perairan di sana. Kekhawatiran yang meningkat kemudian telah memicu eskalasi ketegangan, akibat muncul manuver-manuver militer dan upaya saling unjuk kekuatan angkatan bersenjata dan upaya provokasi dan intimidasi di perairan dan arena diplomasi.
Selanjutnya diperlihatkan perilaku agresif dan beberapa upaya provokasi yang dilakukan angkatan laut RRC di wilayah perairan Laut Natuna Utara, yang sudah mereka klaim secara mutlak, terhadap angkatan laut dan nelayan asal Filipina dan Vietnam, atau sebaliknya. Aksi saling cegah dan usir dari kawasan perairan yang dipersengketakan itu terus meningkat belakangan, dan cenderung mengarah pada terciptanya konflik berskala rendah (low intensity conflict). Tetapi, tetap terbuka kemungkinan munculnya konflik bersenjata terbuka secara luas dengan intensitas tinggi (high intensity conflict), jika resolusi konflik permanen gagal ditemukan, mengingat besarnya kepentingan baik negara yang mengklaim maupun tidak (claimant dan non-claimant states), serta negara luar kawasan. Masih adakah harapan untuk menyelesaikan Sengketa di Kawasan Natuna Utara, masih diperlukan ketegasan dari Mahkamah Internasional dalam memutuskan Negara mana yang berhak atas Natuna Utara. **)
Penulis: Mastri Susilo, S.Pd, M.P
(Mahasiswa Pascasarjana UHO Kendari)