Jumat petang, selepas salat Asar, hujan tiba-tiba turun deras mengguyur Kota Kendari. Langit yang semula cerah berubah kelabu, sementara angin membawa aroma tanah basah ke setiap sudut kota. Meski hujan datang tanpa permisi, kesibukan warga tak surut. Ramadan sudah di depan mata, dan persiapan terus berjalan.
Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadan 1446 H jatuh pada 1 Maret 2025, sementara pemerintah masih menunggu hasil sidang isbat malam nanti. Namun bagi sebagian warga, penetapan ini sudah cukup sebagai tanda untuk memulai ibadah puasa keesokan harinya. Bahkan, malam ini mereka sudah bersiap untuk menunaikan salat tarawih pertama di masjid-masjid.
Di rumah-rumah, keluarga sibuk menyiapkan hidangan untuk Haroa Tembaha Wula, tradisi masyarakat Muna dalam menyambut Ramadan. Haroa adalah bentuk syukuran, doa bersama yang biasanya diiringi hidangan khas. Di dapur seorang ibu, uap panas mengepul dari kukusan lapa-lapa, ketan yang dibungkus daun pisang dan dikukus hingga matang. Di sisi lain, ayam parende dengan kuah asam gurih mulai mendidih di atas tungku. Tak ketinggalan cucur, kue berwarna coklat keemasan dengan aroma khas yang menggoda selera.
Wa Ode Harlina, seorang warga Kelurahan Anggoeya, menjelaskan bahwa tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun oleh keluarganya. Setiap menyambut Ramadan, mereka berkumpul, berdoa, lalu makan bersama. Baginya, makanan-makanan ini bukan sekadar hidangan, tapi juga simbol keberkahan.
Namun, tak semua bahan mudah didapat. Di tengah hujan yang masih deras, seorang ibu terlihat mengendarai sepeda motor hijau, mantel coklat menutupi tubuhnya yang basah. Di tangannya, ia menggenggam seikat daun kedondong hutan—bumbu khas untuk ayam parende.
Di jalanan, seorang pria paruh baya tampak mengendarai sepeda motornya yang menarik gerobak penuh barang bekas. Di atas gerobak itu, tiga anak kecil duduk berdesakan, mencoba berlindung dari rintik hujan di bawah selembar plastik.
“Kami mau ke pengepul. Besok sudah puasa, jadi cari uang buat beli kebutuhan dapur,” ujar pemulung yang sehari-hari mengumpulkan barang bekas.
Hujan juga membawa tantangan bagi mereka yang bekerja di luar ruangan. Di sebuah ruas jalan, tepatnya di Jalan Saranani depan Barata, beberapa petugas kebersihan yang dikenal sebagai “pasukan hijau”—dulu disebut “pasukan kuning”—tengah berjibaku membersihkan pohon tumbang akibat angin kencang. Dengan jas hujan seadanya, mereka tetap bekerja meski basah kuyup.
“Kalau tidak segera dibersihkan, jalan bisa macet. Kami sudah biasa seperti ini,” ujar salah satu petugas.
Saat hujan mulai reda, kesibukan baru pun dimulai. Di sepanjang jalan utama, beberapa pedagang mulai menata lapak. Ada yang mengatur meja kayu, ada yang meratakan lokasi tempat jual takjil. Ramadan selalu membawa rezeki bagi mereka yang berjualan makanan berbuka.
“Besok kami mulai jualan. Biasanya ramai yang cari pabuka Tahun lalu Alhamdulillah laris, semoga tahun ini juga,” kata seorang pedagang takjil di seputaran Pasar Anduonohu yang saat itu suasana nya padat dengan kendaraan.
Sementara itu, di beberapa masjid yang mengikuti perhitungan Muhammadiyah, warga dipastikan mulai menunaikan salat tarawih pertama. Praktis, masjid menjadi lebih hidup. “Semoga bisa bertepatan dengan pemerintah,” kata seorang jamaah masjid Miftahul Khair, Kelurahan Anggoeya. Lantunan ayat suci terdengar syahdu menyambut waktu Shalat Magrib, menyatu dengan udara senja yang masih menyisakan aroma hujan.
“Alhamdulillah, akhirnya Ramadan datang. Bagi kami yang mengikuti Muhammadiyah, ini adalah malam pertama tarawih. Besok kami sudah mulai puasa,” ujarnya.
Di Kota Kendari, Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tapi juga bulan kebersamaan dan perjuangan. Ada yang menyambutnya dengan doa dan tradisi, ada yang mencarinya lewat kerja keras di bawah hujan. Dan di balik rintik yang perlahan menghilang, ada harapan yang tumbuh—bahwa Ramadan kali ini akan penuh berkah, bagi siapa saja yang menjalaninya. (*)