panjikendari.com – Setidaknya lebih dari 50 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang direkomendasi untuk Pemungutan Suara Ulang (PSU) oleh Bawaslu pada Pemilu 2019 di Sulawesi Tenggara. Sejumlah kalangan menilai rekomendasi tersebut keluar akibat kegagalan jajaran Bawaslu sendiri dalam melakukan pencegahan sebagai salah satu tugas Bawaslu.
Abdul Rajab Sabarudin, salah satu advokat di Kota Kendari menilai, PSU merupakan bentuk kegagalan jajaran Bawaslu dalam menjalankan tugas saat pemungutan suara berlangsung, yang pemicunya bisa diakibatkan oleh kelalaian.
“Tugas Bawaslu kan ada pencegahan, jika dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tantang Pemilu Pasal 93 huruf b angka 1,” kata Rajab melalui siaran persnya, Kamis, 25 April 2019.
Sebagai pemisal, Rajab, mengutip penjelasan ketua Bawaslu Sultra, Hamiruddin Udu melalui media massa yang menjadi alasan rekomendasi PSU, dimana seorang pemilih ber KTP Konawe Selatan mengurus formulir A5, untuk memilih di Kabupaten Bombana. Saat memilih orang tersebut diberi lima surat suara, padahal seharusnya Ia tidak diberi surat suara untuk DPRD Kabupaten Bombana atau tidak diberi surat suara untuk DPRD Provinsi bila Bombana berbeda dapil dengan Konsel.
Contoh lain, seseorang tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb serta KTP-El nya beralamat di luar kabupaten atau provinsi tempat Ia mencoblos. Kemudian berakhir dengan rekomendasi PSU.
“Ini bagaimana bisa terjadi. Di TPS ada Pengawas TPS yang tugasnya fokus mengawasi dan memastikan tiap item. Kemudian mencegah peluang pelanggaran Pemilu,” katanya.
Secara teknis, lanjutnya, tugas Bawaslu di TPS, telah diatur dalam Perbawaslu Nomor 1 Tahun 2019 dan Perubahannya pada Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2019.
Misalnya Pasal 7 perubahan. Tugas Pengawas di TPS yaitu, memastikan keakuratan data Pemilih dalam DPT, DPTb, dan DPK. Memastikan penggunaan hak pilih terhadap Pemilih dalam DPT, DPTb, dan DPK. Melakukan pemeriksaan pemberian suara di TPS bagi Pemilih yang telah terdaftar dalam DPT, dengan menunjukkan KTP-el atau identitas lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjunya, memastikan pelayanan yang dilakukan oleh KPU terhadap Pemilih yang terdaftar dalam DPTb dalam keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Melakukan pencermatan terhadap Pemilih yang terdaftar dalam DPTb. Melakukan koordinasi dengan KPU dalam memastikan Pemilih yang terdaftar dalam DPTb tidak terdaftar di dalam DPT pada TPS tempat asal dan pada TPS tempat memilih.
“Bawaslu ini kesannya melakukan pembiaran dahulu. Misal, seorang pemilih setelah diperiksa oleh Pengawas TPS, dicermati, dipastikan, dikoordinasi dengan KPU oleh Pengawas TPS terkait status DPT-nya, lalu tercatat sebagai DPK atau telah tercatat sebagai DPTb.”
“Kemudian KPPS memberikan kertas surat suara lima jenis, yang juga diketahuai oleh Pengawas TPS. Lanjut ke bilik dan mencoblos. Setelah mencoblos dia diproses sebagai temuan Bawaslu dan di TPS tersebut direkomendasi untuk PSU. Itu kalau kita coba menganalisa kejadian di TPS. Lalu fungsi-fungsi Bawaslu kemana. Mereka tugasnya memastikan proses itu berjalan dengan benar. Seharusnya kan dapat dicegah. Itu bukan bencana alam,” tekannya.
Menurutnya, kegagalan Bawaslu tersebut akhirnya mencederai proses Pemilu. Kesalahan Bawaslu kemudian dapat merugikan Peserta Pemilu, akibat kemungkinan perubahan hasil perhitungan suara pasca PSU dan secara umum merusak jalannya demokrasi.
“Nah. Sekarang bagaimana kalau orang-orang berpersepsi. Jika itu adalah bentuk kesengajaan. Bentuk kongkalingkong antara Bawaslu dan Peserta Pemilu yang telah terskenario. Misalnya tujuannya untuk merubah hasil perhitungan suara, dalam upaya memenangkan figur tertentu yang kalah saat perhitungan suara. Karena rekomendasi PSU keluar setelah perhitungan suara. Dan memang Bawaslu membuat celah untuk asumsi itu, karena lalainya melakukan pengawasan dan pencegahan terjadinya PSU,” paparnya.
Abdul Rajab, juga menyarakan agar Peserta Pemilu yakni Partai Politik dan Calon DPD mencari celah hukum agar Bawaslu bertanggung jawab secara hukum atas pengawasan dan pencegahan hingga terjadi PSU. Dengan begitu penyelenggara yang melakukan kesalahan juga dapat dievaluasi, serta agar publik mengetahui kronologis terjadinya PSU. (rls)