panjikendari.com – Jaringan Advokasi Kebijakan Publik (JArrAK) Sulawesi Tenggara menelisik adanya dugaan pembagian royalti tambang turut dicicipi oleh beberapa oknum pejabat penting.
Hal ini terungkap berdasarkan hasil investigasi JArrAK sepanjang tahun 2018. “Pembagian royalti semua perusahaan tambang diduga tidak sepenuhnya masuk dalam kas pendapatan negara, melainkan mengalir ke oknum pejabat,” kata Sahrul, Direktur Advokasi JArrAK Sultra melalui rilisnya yang diterima redaksi panjikendari.com, Sabtu, 9 Maret 2019.
Sahrul menjelaskan, pembagian royalti pertambangan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 serta peraturan pemerintah. Dalam undang-undang tersebut tidak menjelaskan bahwa pejabat turut mendapatkan royalti tambang.
Mantan aktivis Makassar ini mengungkapkan, pejabat yang turut menerima royalti dari perusahaan tambang di Sultra adalah oknum pejabat Polda, Polres, Syabandar, DPRD, Bupati, Kajari, Dandim. Skema pengeluaran royalti tersebut dikemas sedemikian rupa yaitu koordinasi Polda, Polres, syahbandar, LSM, DPRD, Bupati, Kajari, Dandim, desa, Babinsa, Babinkamtibmas, dan lain-lain.
“Royalti yang mengalir ke pejabat ini adalah konspirasi antara pengusaha tambang dan pejabat-pejabat di lembaga tersebut. Dan ini bentuk penggelapan uang negara dari pembagian royalti tersebut,” ungkap Sahrul.
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, bagian daerah dari penerimaan sumber daya alam sektor pertambangan umum (pertambangan mineral dan batubara) meliputi : a) Iuran Tetap (Landrent), dan b) Iuran Eksplorasi dan luran Eksploitasi (Royalti).
Landrent atau deadrent diukur berdasarkan jumlah hektar tergantung dalam kontrak atau area pertambangan masing-masing. Sesuai dengan UU, maka bagian daerah dari landrent adalah sebesar 80% dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil dan untuk royalti bagian daerah adalah sebesar 80% dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Mantan jurnalis Tempo ini menegaskan konspirasi bagi-bagi royalti ke pihak yang tidak dibenarkan oleh undang-undang ini harus diusut dan proses secara hukum. Bahkan Sahrul mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera melakukan investigasi mendalam di seluruh perusahaan tambang di Sultra. Jika konspirasi para mafia ini dibiarkan terus-menerus maka menjadi ancaman bagi Negara dan membawa kesengsaraan bagi masyarakat Sultra.
“Negara tak boleh kalah dari mafia dan saatnya Negara menghukum berat oknum pejabat yang bermental korup,” ujar pria yang akrab di panggil Arul ini. (rls/jie)