Panjikendari.com – Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Pemerhati Keadilan, Jumat, 18 November 2021, melakukan aksi unjuk rasa di depan Polda Sultra dan di Kantor Kejati Sultra terkait kasus dugaan kriminalisasi kepada seorang warga Negara Indonesia.
Dugaan kriminalisasi itu berawal dari laporan Mr. Wang De Zhou pada tanggal 09 September Nomor: LP/405/IX/2020/SPKT/Polda Sultra dengan laporan penipuan dan penggelapan sebesar Rp 5 miliar dengan terlapor Ibu Vebrianty A. Tajudin.
Koordinator aksi, Jumadil, menilai, poroses penanganan perkara tersebut diduga tidak transparan dan tidak profesional. Dimana dalam proses penyelidikan dan penyidikan berjalan, terlapor melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Kendari dengan nomor gugatan 110/Pdt.G/2020/PN KDI .
Pengadilan Kendari , kata Jumadil, memutuskan bahwa tergugat, Mr. Wang De Zhou, mempunyai utang kepada penggugat seluruhnya sebesar Rp 6 miliar, dan kemudian tergugat dalam hal ini Mr. Wang De Zhou melakukan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 46/PDT/2021/PT dinyatakan kalah lagi dan pengadilan memutuskan bahwa menguatkan putusan pengadilan negeri.
“Berdasarkan kajian kami, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana , selanjutnya disebut KUHAP, menyebutkan bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, pasal 184 ayat 1 KUHAP bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan dua alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa,” kata Jumadil.
Dalam perkara yang dilaporkan oleh Mr. Wang De Zhou, penyidik menetapakan tersangka terlapor dan menyerahkan berkas perkara di Kejaksaan Tinggi Sultra untuk ditindaklanjuti dalam hal penuntutanya, kejaksaan memberikan balasan surat kepenyidik sebanyak empat kali dengan nomor B- /P.3.4/Eoh.1/ 04/2021 disebutkan bahwa berkas perkara di kembalikan ke penyidik dikarenakan belum lengkapnya berkas perkara berupa tidak terpenuhinya dua alat bukti yang sah dan harus menunggu putusan inkrach dalam kasus perdata.
Jumadil menjelaskan, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1956 dalam pasal 1 yaitu apabila pemerikssan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata.
“Jika mengacu pada Perma Nomor 1/1956 ini penyidik seharusnya tidak boleh melanjutkan proses penyelidikan dan penyidikan dan atau penetapan tersangka sebab objek sengketa identik dengan objek laporan terkait tindak pidana penipuan dan penggelapan,” terang Jumadil.
Dari uraian tersebut, lanjut dia, oknum penyidik sangat prematur dan diduga mengkriminalisasi tersangka dalam menangani perkara ini. Sebab Berdasarkan Pasal 76 Paragraf 9 Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan tindak Pidana yaitu penghentian Penyidikan terjadi ketika tidak terdapat cukup bukti, dan peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana serta tindak Pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan tetap (nebis in idem).
Oleh karena itu, pihaknya menyatakan sikap mosi tidak percaya kepada Kepolisian Daerah Sulawasi Tenggara dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
“Kami meminta kepada Kapolri untuk mendemosi dan atau memberhentikan secara tidak hormat terhadap oknum polisi yang ketika terbukti menyalahgunakan wewenangnya. Meminta kepada Kejaksaan Timggi untuk tidak melanjutkan proses penuntutan terhadap kasus tersebut,” desak Jumadil.
Menanggapi aspirasi tersebut, Kepala Seksi Penyidikan Kejati Sultra, Sugiatno Migano, dokumen putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Sultra hanyalah salah satu bukti formil dari proses bolak baliknya perkara. “Kita belum tau dokumen-dokumen apalagi yang lain sehingga terbit yang namanya P-21, kita harus lihat secara holistik, tidak bisa secara parsial seperti ini,” kata Sugiatno.
Sugiatno menyatakan, pihaknya akan terbuka dalam penanganan perkara ini. Ia meminta kepada para pendemo untuk bersabar dan meminta waktu untuk dilakukan koreksi. “Kasih kami waktu paling lambat satu minggu lah, karena pimpinan sedang menunggu hasil pertemuan dengan Kejaksaan Agung terkait kasus ini. Kasih kami waktu, satu minggu lah, kita akan kasih jawaban,” terangnya. (ari)