panjikendari.com – Setiap warga negara Indonesia yang telah berumur 17 tahun atau sudah menikah diberi jaminan kebebasan untuk menyalurkan hak pilihnya pada Pemilu 2019, tak terkecuali warga negara yang memiliki keterbatasan diri atau kaum difabel/disabilitas.
Undang-Undang telah menjamin penuh hak-hak kaum disabilitas untuk memilih dalam pemilu tanpa pengecualian, termasuk kaum disabilitas mental. Hal ini diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 5, yang berisi penyandang disabilitas yang memenuhi syarat, mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih.
Bukan saja sebagai pemilih, tetapi dalam UU tersebut juga mengatur hak kaum difabel untuk menjadi calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu.
Kendati demikian, dalam setiap perhelatan perebutan kekuasaan melalui pesta demokrasi, mereka lebih memilih untuk jadi pemilih saja. Tak jarang, mereka juga kadang tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pemilih.
Berangkat dari hal tersebut diatas, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara (Sultra) menaruh perhatian lebih kepada kaum penyandang difabel, dalam rangka mendorong partisipasi mereka dalam pemilihan nanti.
“Sosialisasi kepada kaum difabel kita juga lakukan. Dalam rangka memberikan pemahaman tentang hak dan kewajiban mereka dalam pemilihan. Suara mereka tidak ada bedanya dengan yang bukan difabel. Sama-sama berharga. Satu suara sangat menentukan masa depan bangsa kita,” kata Ketua KPU Sultra, La Ode Abdul Natsir Moethalib, kepada jurnalis panjikendari.com, usai kegiatan KPU Goes to Campus, di kampus Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK), Jumat, 12 Oktober 2018.
Ojo –sapaan La Ode Abdul Natsir Moethalib– menjelaskan, berdasarkan UU Pemilu, penyandang difabel diberi hak untuk memilih. Bahkan, mereka dibolehkan untuk didampingi saat ke bilik suara Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Kaum difabel boleh didampingi saat ke bilik suara. Baik itu didampingi oleh keluarganya atau oleh KPPS. Dengan catatan, pendamping harus menandatangani surat pernyataan. Disiapkan form C2,” kata Ojo.
Dalam surat pernyataan tersebut, kata Ojo, salah satu poinnya, pendamping dilarang untuk membocorkan pilihan pemilih difabel yang didampingi.
Apabila si pendamping melanggar surat pernyataan yang ditandatangani maka dapat dikenakan sanksi pidana pemilu. Karena itu, Ojo mengingatkan agar hal ini dapat diperhatikan dengan baik.
Saat ditanya mengenai jumlah pemilih difabel di Sultra yang akan menyalurkan hak pilihnya pada Pemilu 17 April 2019 nanti, Ojo mengaku belum mengetahui secara pasti karena meskipun sudah ditetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT), namun perbaikan terhadap DPT terus dilakukan.
“Insya Allah November 2018 kita sudah bisa ketahui data pemilih difabel ini. Yang pasti, pemilih difabel tidak mencukupi 10 orang dalam setiap TPS sehingga kita tidak perlu mencetak kertas suara yang menggunakan huruf braille,” tutup Ojo.
Penulis: Jumaddin Arif