KONAWE SELATAN, Panjikendari.com – Pagi itu, sinar matahari baru saja merangkak naik di langit Desa Alakaya, Kecamatan Palangga. Aroma tanah basah, suara mesin panen, dan tawa petani berpadu menjadi simfoni khas musim panen. Di tengah riuhnya suasana, sebuah pemandangan mencuri perhatian: seorang pria bertopi caping, berbaju dinas putih, celana tergulung setengah betis, mengendarai motor trail dengan karung gabah besar diboncengkan di depan setang.
Itulah Bupati Konawe Selatan, Irham Kalenggo—mantan Ketua DPRD yang kini dipercaya memimpin kabupaten dengan julukan lumbung pangan itu. Hari itu, ia tak datang dengan jas atau sepatu resmi. Ia datang sebagai ‘joki gabah’, membonceng hasil panen petani, menyusuri pematang, dan ikut mengoperasikan mesin panen.
“Kalau petani bahagia, saya pun ikut bahagia. Pemimpin itu tak boleh hanya kenal angka dan grafik panen, tapi juga harus merasakan lumpur dan peluh petaninya,” ujarnya sembari mengusap peluh.
Irham tak sekadar tampil, ia benar-benar menyatu dengan aktivitas panen raya IP 200—program pertanian intensif yang memungkinkan dua kali panen setahun. Sekitar 300 hektare sawah di Desa Alakaya dan 200 hektare di Desa Aosole digarap secara serius untuk mendukung swasembada pangan. Dengan produktivitas rata-rata lima ton per hektare, potensi panennya bisa mencapai 3.000 ton gabah.
Namun bagi Irham, angka hanyalah konsekuensi dari kerja bersama. Yang lebih penting, katanya, adalah membangun kepercayaan antara pemimpin dan rakyatnya.
“Ini bukan karena siapa di Jakarta. Ini karena hati. Kalau sawah rakyat retak, maka tanggung jawab pemimpin juga ikut patah,” tegasnya.
Di sela-sela kegiatan Temu Wicara dan Panen Raya itu, para petani muda tampak antusias. Mereka berdialog langsung, menyampaikan keluhan soal infrastruktur dan alat pertanian. Kepala Desa Alakaya, Sudirman, menyebut momen ini sebagai penyemangat baru.
“Pemimpin hadir di tengah petani, bukan sekadar seremonial. Ini jadi penguat semangat kami, apalagi bagi generasi petani milenial,” katanya.
Panen hari itu bukan hanya soal hasil, tapi tentang hadirnya pemimpin yang tak berjarak. Di tengah zaman ketika jabatan kerap membangun sekat, Irham memilih jalan berlumpur, membonceng gabah dan harapan rakyatnya. Karena kadang, lebih dari sekadar subsidi, yang paling dibutuhkan petani adalah simpati. (*)
Editor: Jumaddin