Panjikendari.com – Drummer Rolling Stones Charlie Watts meninggal dunia hari Selasa, 24 Agustus 2021 di usia 80 tahun, seperti dilansir Associated Press, Rabu, 25 Agustus 2021.
Watts adalah pilar utama the Rolling Stones, menjadi jangkar kewarasan salah satu band terbesar di dunia, dan penjaga ritme band rock terbesar, bermodalkan nafas jazz yang dicintainya sejak kecil.
Humas Charlie Watts, Bernard Doherty, mengumumkan bahwa Watts meninggal dengan damai di rumah sakit London hari ini dikelilingi oleh keluarganya. “Charlie adalah suami, ayah, dan kakek yang disayangi dan juga sebagai anggota The Rolling Stones, salah satu drummer terhebat di generasinya,” kata Doherty.
Watts adalah pribadi yang kalem dan tidak banyak bicara serta bergaya selalu elegan. Dia sering disamakan dengan Keith Moon, Ginger Baker dan beberapa tokoh legenda lain sebagai drummer rock paling ternama.
Sebagai pemain drum, Watts dihormati di seluruh dunia karena gaya bermain yang cerdik bertenaga dan membetot nyawa, mulai dari Rolling Stones berdiri dari awal yang berantakan hingga menjadi band rock terbesar dunia.
Watts bergabung dengan Stones awal tahun 1963 dan bertahan selama 60 tahun berikutnya, berada tepat di belakang Mick Jagger dan Keith Richards sebagai anggota grup yang paling bertahan lama dan paling penting.
Watts bertahan hingga akhir hayat, dan selalu mampu menjaga jarak dari penyalahgunaan narkoba, gesekan kreatif, dan perang ego yang diantaranya berujung pada kematian anggota pendiri Brian Jones, membuat pemain bas Bill Wyman dan pengganti Jones, Mick Taylor, untuk berhenti.
Charlie juga pernah mengalami penurunan dalam hidupnya. Dia terjerumus dalam narkoba dan minuman keras di tahun 80-an.
Dalam Portrait Of Charlie karya Ian McPherson, sang drummer mencatat, “Melihat ke belakang, saya pikir itu adalah krisis paruh baya. Saya benar-benar menjadi orang lain sekitar tahun 1983 dan keluar dari situasi itu sekitar tahun 1986. Saya hampir kehilangan istri dan segalanya karena perilaku saya,” kata Charlie seperti dilansir Drum Magazine.
“Pada akhir tahun kedua menggunakan LSD dan heroin,” katanya kepada The Mirror, “Saya menderita sakit parah. Putri saya dulu bilang saya mirip Drakula. Aku (saat itu merasa) benar-benar gila. Aku hampir bunuh diri,” tutur Watts.
Lalu apa yang mendorongnya untuk berhenti? Sederhana saja, “Pergelangan kaki saya patah ketika saya bermain di Ronnie Scott’s, jadi saya harus lurus. Saya berhenti begitu saja, untuk saya dan istri saya. Itu (minuman dan obat-obatan) bukanlah bagian dari (pribadi) saya, sungguh.”
Lagu klasik Stones seperti “Brown Sugar” dan “Start Me Up” dimulai dengan riff gitar keras dari Richards, dimana Watts mengikuti di belakang, dan Wyman, seperti yang sering dikatakan oleh sang pemain bas, “membuat sound jadi gemuk.”
Kecepatan, kekuatan, dan ketepatan waktu Watts selalu menjadi legenda, seperti pada film dokumenter konser, “Shine a Light,” saat sutradara Martin Scorsese memfilmkan “Jumpin’ Jack Flash” dari tempat dia bermain drum ke belakang panggung.
The Rollilng Stones dimulai, kata Watts, “sebagai (band) orang kulit putih dari Inggris yang memainkan musik Black American” tetapi dengan cepat mengembangkan suara khas mereka sendiri.
Watts adalah seorang drummer jazz di tahun-tahun awalnya bermusik dan kecintaan itu tidak pernah pupus hingga akhir hayat. Dia memimpin band jazznya sendiri dan mengambil banyak proyek musik sampingan lainnya.
Seperti anggota Rolling Stones lain, Watts juga punya sisi eksentrik tersendiri. Watts sangat hobi mengoleksi mobil meskipun dia tidak bisa mengemudi dan hanya akan duduk di dalam mobil yang tersimpan di garasinya.
Tapi Watts adalah sebuah pengaruh hebat di atas panggung dan di luar panggung dari awal Rolling Stones berdiri hingga usia 70-an, beberapa dekade lebih lama dari saingan lama mereka The Beatles.
Watts tidak peduli dengan penampilan solo di atas panggung atau perhatian dalam bentuk apa pun. Tetapi Watts bersama Wyman dan Richards bagai empu yang menghasilkan pusaka seperti “Honky Tonk Women,” “Brown Sugar” dan lagu-lagu lainnya.
Sebagai dewa drum, Watts beradaptasi dengan baik di segala lini musik, mulai dari disko “Miss You” hingga jazzy “Can’t You Hear Me Knocking” dan balada impian “Moonlight Mile.”
Jagger dan Richards selalu bertengkar tentang berbagai hal, namun untuk kekaguman mereka terhadap Watts, baik sebagai seorang pria maupun seorang musisi, Jagger dan Richards selalu akur.
Richards menyebut Watts “kuncinya” dan sering bercanda bahwa ketertarikan mereka begitu kuat sehingga di atas panggung dia kadang-kadang mencoba menggoda Watts dengan mengubah irama secara tiba-tiba, namun Watts dengan enteng mengubahnya kembali ke irama semula.
Jagger dan Richards hanya bisa iri dengan ketidakpedulian Watts terhadap ketenaran pribadi.
Watts sama senangnya saat merawat kuda-kuda di perkebunan miliknya di pedesaan Devon, Inggris, seperti saat ia berada di atas panggung konser di stadion penuh penonton.
Di luar bermain drum, Watts juga seorang pekerja seni. Dia bekerja dengan Jagger menciptakan desain panggung spektakuler untuk tur Rolling Stones.
Watts juga menggambar ilustrasi sampul belakang album 1967 yang bertajuk “Between the Buttons” dan secara tidak sengaja membuatkan judul album tersebut.
Ketika dia bertanya kepada manajer Rolling Stones saat itu, Andrew Oldham, apa judul album itu, Oldham menjawab “Di antara tombol-tombolnya,” atau “between the buttons,” yang artinya adalah ‘belum pasti’
Watts berpikir Oldham memberinya judul album yang sebenarnya, sehingga Watts melukiskan apa yang dikatakan Oldham di sampul album dengan judul yang sama; “Between the Buttons”.
Bagi dunia fana, Watts adalah bintang rock. Tetapi Watts sering mengatakan, pengalaman dirinya itu sebenarnya menguras tenaga dan tidak menyenangkan, dan bahkan menakutkan.
“Gadis-gadis mengejarmu di jalan, berteriak… mengerikan!… Aku benci itu,” katanya kepada surat kabar The Guardian dalam sebuah wawancara.
Dalam wawancara lain, dia menggambarkan kehidupan bermain drum sebagai “persilangan antara menjadi seorang atlet dan seorang yang super gugup.”
Penulis Philip Norman, yang banyak menulis tentang Rolling Stones, mengatakan Watts hidup “dengan harapan terus-menerus untuk segera pulang ke rumah menumpang pesawat tercepat berikutnya.”
Dalam tur, dia membuat tanda di setiap kamar hotel yang dia tinggali, caranya menandai waktu sampai dia bisa kembali ke keluarganya.
Charles Robert Watts adalah anak seorang ayah yang bekerja sebagai sopir truk dan ibu rumah tangga. Watts lahir di Neasden, London, pada 2 Juni 1941.
Sejak kecil Watts sangat menyukai musik, khususnya jazz. Dia jatuh cinta dengan drum setelah mendengar Chico Hamilton dan kemudian belajar sendiri dengan mendengarkan rekaman Johnny Dodds, Charlie Parker, Duke Ellington dan raksasa jazz lainnya.
Watts bekerja untuk sebuah perusahaan periklanan London usai kuliah di Harrow Art College, dan bermain drum di waktu luangnya.
London adalah rumah bagi kebangkitan blues dan jazz di awal 1960-an, dimotori Jagger, Richards dan Eric Clapton di antara para superstar lain tahun itu.
Karier Watts dimulai setelah ia bermain dengan Alexis Korner’s Blues Incorporated, dimana Jagger juga ikut. Kornerlah yang mendorong Watts untuk bergabung dengan Rolling Stones.
Watts bukan penggemar musik rock pada awalnya. Dia ingat dipandu oleh Keith Richards dan Brian Jones saat ia menyerap musik blues dan rock sampai ke sumsum, terutama musik bluesman Jimmy Reed.
“Keith Richards mengajari saya rock and roll,” kata Watts. “Kami tidak akan melakukan apa-apa sepanjang hari dan kami akan memutar rekaman ini berulang-ulang di apartemen Richards,”
Saya belajar untuk mencintai Muddy Waters. Keith menyadarkan saya betapa baiknya Elvis Presley, dan saya saat itu adalah haters Elvis.”
Watts adalah orang terakhir yang bergabung dengan Rolling Stones; band itu (Jagger dan Richards serta Jones) mencari peman drum permanen selama berbulan-bulan dan mengincar Watts, tapi khawatir Watts terlalu bagus untuk mereka.
Richards ingat Rolling Stones sangat menginginkan dia untuk bergabung sehingga anggota yang lain mengurangi pengeluaran sehingga mereka mampu membayar gaji Watt yang layak.
Watts mengatakan dia awalnya yakin, band tersebut palingan hanya akan bertahan satu tahun paling lama.
“Setiap band yang pernah saya ikuti bertahan selama seminggu,” katanya. “Saya selalu berpikir Stones akan bertahan seminggu, lalu saya perkirakan paling cuma dua minggu, dan kemudian tiba-tiba, sudah 30 tahun aja.” (**)